3

13.3K 1.2K 34
                                    

"Mas, bulan depan aku ada karyawisata ke Bali." Feby menghampiri Tama yang sedang sibuk dengan laptopnya.

"Berapa hari, Dek?" Tama bertanya dengan pandangan fokus ke laptopnya.

"Empat hari."

"Lama amat, Dek?"

"Cuma empat hari aja, nggak sampai seminggu." Feby merajuk, ia sudah menduga dari gelagatanya sepertinya Tama tak akan mengijinkannya.

"Apa wajib ikut?"

"Nggak, sih."

"Kamu nggak usah ikut aja, Dek. Besok aja nunggu aku cuti."

Feby memasang duck face mendengar jawaban kakaknya. Ia kesal karena Tama selalu over protective kepadanya.

"Ah, Mas nggak asyik. Aku pingin ikut, Mas. Aku pingin bareng sama temen-temenku."

"Tapi kalau asma kamu tiba-tiba kambuh gimana, Dek? Aku 'kan nggak bisa langsung datengin kamu." Tama menutup laptopnya. Ia merasa harus fokus membujuk adiknya.

"Asmaku udah jarang kambuh, Mas. Lagian aku janji nggak bakal kecapean kok." Feby mecoba membujuk Tama dengan poppy eyes andalannya.

"Tetep nggak aku ijinin."

"Ah, Mas jahat!" Feby merajuk, ia melipat tangan di depan dada, mukanya di tekuk.

"Tunggu minggu depan, aku mau ngajuin cuti. Kita ke sana berdua." Tama memegang bahu Feby, mencoba meyakinkan.

"Berdua?"

Feby merasa janggal dengan sikap abangnya yang seolah tak pernah melibatkan kekasihnya dalam setiap urusannya. Tama seperti meletakkan kekasihnya di posisi yang diluar jangkauan hubungan mereka sebagai kakak adik.

"Em, maksud aku bertiga. Sama Silvia." Tama meralat perkataannya.

"Ih, nggak mau. Maunya sama temen sekelas. Aku udah gede, Mas. Masak dikawal melulu?" Feby masih saja merajuk. Bujukan Tama tak mempan untuknya.

"Aku nggak tenang biarin kamu pergi jauh, Dek." Tama dengan sabar menjelaskan.

Sejujurnya sejak tadi ia merasa gemas dengan sikap Feby yang merajuk, apalagi duck facenya itu. Adiknya itu memang sangat keras kepala, ini salahnya juga karena terlalu memanjakannya.

"Kan ada guru, ada temen-temen juga."

"Tetep aja nggak aku ijinin. Sama aku aja."

Tama khawatir membiarkan Feby pergi seorang diri jauh dari jangkauannya. Gadis itu begitu rapuh dan sangat bergantung padanya, sejak kecil ia sudah sakit-sakitan.

"Mas, aku nggak bisa selamanya tergantung sama kamu. Nantinya kamu bakal punya keluarga sendiri, terus nggak ada waktu buat ngurusin aku. Makanya aku mau terbiasa mandiri, Mas."

Tama tertegun mendengar celoteh Feby. Ia tak pernah berpikir sampai ke sana. Berpikir untuk menikah pun tidak. Dipikirannya hanyalah menjaga Feby.

"Dek, aku janji. Walupun aku udah berkeluarga kamu akan tetap jadi prioritas aku. Nggak akan ada yang berubah. Kamu tenang aja."

***

"Sil, gimana kalau minggu depan kita pergi ke Bali?"

Silvia sangat senang mendengar usul Tama. Jarang-jarang Tama berlaku manis seperti ini. Biasanya laki-laki itu selalu saja pasrah.  

"Serius? Kamu mau ngajak aku ke Bali?"

"Iya, kamu urus cuti, ya?"

"Oke, aku juga akan pesan tiket untuk kita berdua." Silvia dengan antusias segera memesan tiket secara online.

"Em, Sil. Bukan berdua, tapi bertiga."

Mendengar perkataan Tama seketika Silvia menghentikan kegiatannya. Ia menutup laptopnya.

"Maksud kamu?"

"Kita pergi sama Feby. Sebenarnya kemarin 'tuh dia ngambek karena nggak aku ijinin ikut karyawisata."

Feby lagi! Silvia memaki dalam hatinya. Jadi tujuan Tama mengajaknya hanya untuk menyenangkan adik kesayangannya itu? Lama-lama Tama sudah seperti budak Feby, bocah itu sudah bertingkah layaknya tuan putri.

"Oh, ya udah.  Aku pesenin tiket untuk kita bertiga."

Silvia akhirnya mengalah, tak ada gunanya ia membantah Tama saat ini. Hubungan mereka baru berlangsung selama beberapa bulan. Akan bahaya sekali kalau Tama terganggu dengan sikap posessifnya.

"Makasih, ya."

Tama merasa bersyukur karena Silvia sangat pengertian padanya. Sedang dalam hati, Silvia sudah mengatur rencana untuk menjauhkan Feby dari Tama. Ia tak mau kalah dari adik tiri Tama itu. Ia tak rela membagi perhatian Tama dengannya.

My Abang, My Crush (Complete)Where stories live. Discover now