45

7.2K 620 0
                                    

Setelah Tama pergi, Feby baru berani keluar kamar. Selama beberapa hari ini ia memang lebih banyak berada di dalam kamar, untuk menghindari interaksi dengan Tama.

Feby membersihkan kamar Tama, seperti yang diperintahkan. Sebenarnya kamar abangnya itu tak terlalu berantakan.  Ia hanya mengelap nakas dan merapikan meja kerja abangnya yang diatasnya hanya ada laptop, ponsel, dan deodorant.

Tama lupa membawa ponselnya! Feby melirik cemas ke arah ponsel itu. Ia penasaran sekali akan isi ponsel abangnya akhir-akhir ini.

Saat dulu mereka tinggal bersama, ia dengan leluasa memeriksa ponsel abangnya, dengan dalih meminjam untuk bermain game saat ponselnya di charge.

Tama mengijinkannya, ia merasa tak terganggu jika Feby mengacak-acak privasinya. Kadang Feby tertawa sendiri saat membaca chat Tama dengan cewek yang mengejar-ngejar dirinya.

Abangnya itu akan membalas pesan dengan singkat padat dan jelas, juga dengan bahasa yang formal.

Ia mendekati meja, sedetik kemudian tanganya terjulur mengambil ponsel Tama. Apa kodenya tak berubah? Feby mencobanya. Yes! Masih sama.

Tangannya dengan lincah meluncur ke aplikasi WhatsApp, mencari kontak bernama Andin. Tapi yang ditemuinya adalah kontak dengan nama, mbak Andin bos Feby.

Alih-alih menamai kontak Feby dengan nama Andin My Love, Tama malah menamai kontak Andin seperti itu, dalam hati ia merasa lega.

Feby membaca isi pesan Andin untuk Tama satu per satu, sebagian pesan itu hanya berjalan satu arah, karena Tama jarang membalasnya.

Pesan berisi, mas Tama udah makan? Mas Tama udah tidur? Mas Tama jalan, yuk? Mas Tama semalam aku mimpi kamu, seringkali hanya di-read  tapi tidak dibalas. Mengenaskan sekali nasib Andin.

Tapi pesan Tama yang ditujukan untuk Andin pada tanggal 14 Februari membuat hatinya galau. Pesan itu berisi 'mbak Andin, bisa bertemu?'

Untuk apa Tama mengajak Andin bertemu saat malam valentine? Apa jangan-jangan mereka sudah jadian? Memikirkannya membuat Feby uring-uringan. Ia meletakkan ponsel itu kembali ke atas meja.

Ia membaringkan tubuhnya di kasur Tama, berguling-guling dengan kesal, kakinya menendang-nendang ke segala arah. Membuat selimut dan guling berjatuhan.

"Ish, aku kenapa, sih? Bukannya beresin malah bikin berantakan."

Feby memunguti barang yang berjatuhan karena ulahnya. Setelah semuanya beres ia menyapu dan juga mengepel lantainya.

Sebelum beranjak pergi ia mengamati pintu lemari Tama yang tidak tertutup sempurna, ada sebuah lengan kemeja yang tersangkut. Feby membuka lemari yang ternyata tidak dikunci itu. Ia merapikan lengan kemeja yang berada di gantungan baju. Seperti biasa lemari baju Tama selalu rapi dan lipatannya presisi.

Saat hendak menutup lemari ia melihat tumpukan album foto di rak paling bawah. Pasti foto masa kecil mereka, pikir Feby. Entah mengapa ia tiba-tiba kangen ingin melihatnya.

Ia mengambil dua buah album foto dan membawanya duduk di ranjang Tama. Ia membukanya satu per satu. Sesekali ia tersenyum saat melihat foto masa kecilnya bersama Tama juga ayahnya.

Sampai ia melihat sepucuk surat yang tampak usang. Feby membuatnya, membacanya sekilas. Nampak seperti tulisan tangan ayahnya.

Feby mengerutkan dahi, berusaha mengingat surat apa ini, mengapa ia tak pernah melihatnya.

Feby membaca baris demi baris, tiba-tiba matanya terbelalak, wajahnya memucat. Ia membaca surat itu hingga dua kali, berharap ia salah baca.

Tanpa ia sadari Tama baru saja kembali dari kontrol. Ia heran karena melihat rumah dalam keadaan sepi, di mana Feby?

Ia segera masuk ke dalam kamarnya, dan ia kaget melihat Feby duduk di atas ranjangnya dengan memegang sepucuk surat.

"Kamu masih di sini, Dek?"

Feby mengangkat wajahnya, melihat datar ke arah Tama yang sedang berdiri di depan pintu.

"Apa maksudnya ini, Mas?"

My Abang, My Crush (Complete)Where stories live. Discover now