4. Luka Masih Menganga

13.1K 1.4K 39
                                    

"Nur ...."

Seperti ada sayatan di hatiku saat dia memanggilku tanpa beban. Bukankah dia harus menjadi orang asing saja? Tak perlu memanggil nama kecilku yang tak di kenal di perusahaan ini. Aku membencinya, sangat. Kebencian yang mengalir di dalam darahku, kebencian yang selalu membuatku ingin membalas semua perlakuannya di masa lalu. Ayah, nyawa Ayah terlalu berharga untuk pria seperti Anggara.

"Maaf? Apa kepentingan Anda ke sini? Rasanya kita tak membuat janji." Aku berusaha menetralkan suaraku agar tak mengeluarkan sumpah serapah padanya. 

Anggara tersenyum tipis, senyum yang bagiku sangat memuakkan.

"Aku ke sini, datang secara pribadi."

"Maaf, aku sibuk." Aku langsung dan tertarik dengan alasan Anggara. Bagaimana bisa bawahanku teledor membiarkan orang yang memiliki kepentingan pribadi untuk masuk ke ruanganku.

Aku berniat bangkit, akan tetapi pria itu bergerak cepat mencekal lenganku.

"Nur, dengarkan aku!"

Kusentakkan pegangan Anggara, seakan dia adalah benda haram yang tak boleh bersentuhan denganku. Kutatap pria itu dingin.

"Aku tak mengenalmu."

"Jangan berpura-pura, aku ke sini hanya ingin meminta maaf dan meluruskan beberapa hal. Aku mengakui, bahwa dulu aku sangat jahat."

"Dan sekarang masih terlihat jahat, bagaimana bisa kau hadir di sini, membicarakan hal yang tak penting. Bukankah kau dulu mengatakan padaku? Aku ini gadis desa yang terbelakang yang tak layak dijodohkan denganmu. Sekarang aku adalah wanita kota yang menjabat direktur di perusahaan asing. Bagian mana lagi yang ingin kau caci, ha?"

"Nur, aku ingin kita bicara, tapi bukan di sini." 

"Aku takkan pernah membuang waktuku untukmu, Tuan Sombong. Pergilah! Karena kantorku hanya untuk membicarakan bisnis, bukan masa lalu. Kita sudah selesai, aku sudah mencoret dirimu sebagai orang yang pernah kukenal. Menjauhlah! Jangan membuatku kehilangan kesabaran dan membalaskan dendam."

"Nuraini."

Aku bosan dengan pria ini, tanpa banyak pikir, kupencet intercom. "Suruh security ke sini!"

"Nur, aku belum selesai bicara."

"Aku sudah. Keluar, sebelum kau diseret paksa."

***

"Bagaimana bisa dia masuk?" tanyaku pada Viona, gadis itu menunduk merasa bersalah. 

"Maafkan saya, dia memaksa saya, Bu. Saya tak berkutik saat dia mengatakan bahwa dia adalah suami Ibu."

Aku kaget bukan main, kutatap tegas Viona. Informasi ini jelas tidak benar. Semua orang tahu, aku wanita lajang yang belum menikah, bagaimana bisa seenaknya Anggara mengatakan aku adalah istrinya. Laki-laki gila.

"Itu tidak benar, aku juga tak ingin informasi sampah ini sampai terdengar oleh orang lain, kau mengerti?"

"Baik, Bu." Viona menunduk. Dia pamit meninggalkanku sendiri.

"Dia suamiku? Ya, cuma beberapa menit, suami yang paling jahat dan menghabisi mertuanya sendiri dengan perbuatannya." Aku berbicara sendiri. Aku tau, hidupku tak lagi tenang.

NURAINIWhere stories live. Discover now