5. Masa Lalu

12.2K 1.1K 15
                                    

Sepuluh tahun yang lalu

"Dengan Nuraini? Anak penjual gorengan? Apa tak ada wanita selain itu, Ayah? Ya ampun, dia bahkan lebih cocok dikatakan laki-laki. Dekil, jelek dan kampungan, bagaimana bisa Ayah berpikir menjodohkanku dengan dia?"

Pemuda tampan dengan hidung mancung itu menyerang Ayahnya dengan banyak pertanyaan. Dia memang curiga, Ayahnya memanggil secara khusus ke ruangannya setelah subuh, ternyata ini yang akan disampaikan Ayahnya.

"Usiamu sudah cukup, kan? Saatnya menikah."

"Aku bahkan tak pernah berpikir akan menikah, apalagi dengan wanita seperti Nuraini. Apa Ayah tak memikirkan perasaanku?"

"Anggara, Ayah mohon! Untuk kali ini patuhi Ayah! Ayah Nur adalah orang yang baik, dia juga teman Ayah. Dengan menikahnya kau dengan Nur, maka hubungan kekeluargaan kita akan makin dekat."

"Aku tidak mau, aku ingin wanita kota dan terpelajar."

"Dia lulusan sarjana, Anggara. Jangan lupa."

"Dan terus saja jadi orang kampung? Buat apa sarjana kalau masih menjual gorengan? Ya ampun, aku tidak mau."

"Kalau begitu, jangan harap Ayah akan memberikan warisan padamu, Anggara. Anak durhaka!"

Pria tua yang merupakan Ayah Anggara itu bangkit, meninggalkan anak semata wayangnya yang kesal luar biasa.

Anggara meninju meja Ayahnya.

"Sial, sial! Pelet apa yang diberikan Ayah wanita jelek itu pada ayahku, hingga Ayah sekeras ini. Awas kau, Nur!" Anggara menatap dinding dengan pandangan penuh kebencian.

Dia pemuda tersohor di kampung ini, berasal dari keluarga terpandang dan memiliki harta yang banyak. Tak jarang Anggara mendengar, Ayah Nur sering meminjam uang atau malah menggadaikan tanah pada ayahnya. Menurut Anggara, dengan perjodohan ini, Ayah Nur berusaha masuk dan menguasai harta milik keluarganya. Anggara benci dimanfaatkan.

"Baik, mereka pantas diberi pelajaran," katanya sambil tersenyum licik.

***
"Apa kubilang, di mana pun aku berada, aku akan menang. Bahkan di pihak orang yang lumpuh sekali pun," kata Anggara dengan senyum pongah, mereka baru saja selesai bermain futsal.

"Ya, kami tahu, kau memiliki keberuntungan."

Anggara tersenyum bangga, dia menyalakan motornya meninggalkan teman-temannya yang belum berniat untuk pergi dari sana.

Jalan kampung yang dijalani begitu becek, apalagi semalam hujan mengguyur, sehingga lubang pun digenangi air.

Seorang wanita tengah mengendarai sepedanya menjadi korban cipratan lumpur yang diinjak oleh roda motor Anggara. Sepedanya sempat oleng, sehingga kantong plastik yang berada di dalam keranjangnya itu jatuh ke tanah.

"Heh, tunggu!" Dia bangkit, berteriak pada Anggara yang merasa tak bersalah.

Anggara mau tak mau menepikan motornya. Lihat siapa dia, wanita yang kelihatan lucu sekaligus mengerikan, rambutnya dipenuhi lumpur. Dia berusaha mengusap wajahnya yang kotor sambil menatap Anggara nyalang.

"Tidak minta maaf?"

Anggara menatap malas, wanita inilah yang namanya Nur, dengan celana trainning bewarna hijau lumut. Kemeja kotak-kotak yang sama sekali tak cocok dipadukan dengan celananya. Belum lagi rambutnya yang dipotong pendek sebahu tak beraturan. Dia sama sekali tak populer, tak pernah dilirik oleh para pemuda di kampung ini.

Wanita inikah yang akan dijodohkan dengannya? Dia layak menjadi babu di rumahnya dari pada menantu.

"Minta maaf? Aku salah apa?" Anggara membuka kaca helm-nya. Wanita di depannya, dilihat dari sisi mana pun, tak ada cantiknya.

"Kamu telah mencipratkan lumpur ke wajah dan baju saya."

"Saya berada di jalan saya, salahkan saja jalannya berlumpur. Jangan protes!"

"Memang manusia tak ada akhlak," sahut wanita yang tak lain adalah Nur itu sambil meninggalkan Anggara lebih dulu.

"Hei, jaga mulut kamu!" balas Anggara.

Anggara menatap punggung Nur yang menjauh, demi apa pun, dia tak menyukai wanita itu. Apalagi Ayah Nur yang dianggap memanfaatkan Ayahnya.

***

"Apa, Anggara?" tanya Nur tak percaya, dia ingat, pemuda sok tampan dan sok kaya yang terkenal pongah di desa ini, sayangnya Ayahnya begitu dihormati. Sehingga tak ada yang berani mencari masalah dengannya.

"Tidak mungkin, Ayah. Aku tak mau."

Pria tua di depannya, menatap anaknya dengan memelas.

"Ayah mohon, ini demi kehormatan keluarga kita, Ayah ingin kamu hidup enak, Nur. Kamu tak perlu jualan gorengan lagi jika sudah jadi menantu Pak Sapto."

"Ini tidak benar, Ayah. Aku tidak mau." Masih terbayang di ingatan Nur, bagaimana menyebalkannya sosok Anggara. Namun, sekeras apa pun mereka menolak, baik Nur atau Anggara, perjodohan terjadi juga. Jika Anggara diancam dengan warisan, maka Nur diberi ujian dengan sakitnya sang Ayah karena dia tak menurut. Setelah dia mengiyakan, pria itu berangsur pulih dan bersemangat kembali.

NURAINIWhere stories live. Discover now