"Aku mencintaimu..."

23 10 21
                                    

“Kita akan berbelanja keperluan musim dingin untukmu, seperti pakaian dan beberapa bahan makanan. Dan aku juga ingin mengatakan sesuatu padamu besok.”

“Kenapa tidak kau katakan sekarang saja?”

“Besok saja. Itu akan lebih menyenangkan.” Stevan mengedipkan salah satu matanya pada Audie dan meninggalkannya sendirian di balkon.

“Haahhh?!?! Dia sudah berani mengedipkan matanya padaku!” batin Audie.

Wajah memang bisa munafik, tetapi tidak dengan hati. Wajahnya mengekspresikan kekesalan, tetapi jauh di dalam lubuk hatinya, dia begitu bahagia. Stevan mengantar Audie pulang ke apartemennya malam itu. Sesuai kesepakatan, besoknya  Stevan menjemput Audie pukul 4 sore dan mereka berangkat bersama ke sebuah pusat perbelanjaan terbesar di London.

“Bagaimana dengan ini?” Stevan menunjukkan sebuah sweater berwarna pink kepada Audie.

“Tidak, Stevan. Aku tidak suka warnanya. Bagaimana dengan yang ini? Modelnya bagus.” Audie memperlihatkan sebuah baju hangat berwarna merah yang baru saja ia ambil dari gantungan.

“Tidak bagus, Audie. Kau terlihat lebih gemuk,” jawab Stevan terkekeh.

“Bagaimana dengan yang satu ini, Audie?” tanya Stevan.

“Merah Maroon!! SEMPURNA! Aku ambil yang itu.”

Mereka ke kasir untuk membayar semua hasil belanja mereka dan bergegas turun ke mobil.

“Tunggu, Audie.” Stevan menghentikan langkah Audie yang ingin segera pulang.

“Ada apa?” tanya Audie dengan raut wajah yang heran.

“Kau ingat, aku akan mengatakan sesuatu padamu.”

“Oh iyaa aku lupa. Apa yang ingin kau katakan?”

“Audie aku ingin mengatakan...”

“Katakan saja”

“Aku ingin mengatakan kalau aku...”

“Ayo, Stevan, katakan saja!” ujar Audie yang sudah tidak sabar menunggu Stevan.

“Aku ingin mengatakan kalau aku.... ingin mengajakmu makan setelah berbelanja. Iya, aku ingin makan bersamamu setelah berbelanja. Kau mau kan?” tanya Stevan gugup.

“Baiklah ayo.”

Stevan tidak bisa mengungkapkan perasaannya. Dia memiliki keberanian di belakang Audie. Namun saat berhadapan langsung dengannya, ia menjadi bungkam, seperti anak kecil yang sedang diancam. Ibu Stevan menyuruhnya makan atau berbelanja bersama Audie untuk mengungkapkan perasaannya pada gadis itu. Ia sudah melakukan keduanya, tetapi ia tidak berhasil mengatakan perasaannya pada Audie. Ini seperti dia sudah menyelesaikan dua adegan pendukung, tetapi tidak bisa menyelesaikan satu adegan pentingnya. Setelah makan bersama, mereka pulang dan beristirahat untuk persiapan syuting esok hari.
✨✨✨

Hari demi hari terus berlalu. Setiap peristiwa terus bergulir mengikuti alurnya, termasuk peristiwa dimana Stevan mengucapkan dua kalimat syahadat untuk pertama kalinya di salah satu masjid besar yang ada di London, dengan dipimpin oleh seorang ulama dan ditemani oleh keluarga dan temannya yang special, Audie. Sejak berbagai peristiwa saat itu, orang tua Stevan sering mengajak Audie makan malam bersama di rumahnya. Bahkan Audie pernah disuruh menginap di sana beberapa hari karena salju turun begitu deras. Satu tahun berlalu sangat cepat dengan berbagai drama kehidupan yang berhasil dilampaui. Pembuatan film selesai tepat pada waktu yang sudah ditentukan dan direncanakan akan rilis minggu depan. Apakah ini akan menjadi akhir perjalanan Audie di Inggris?

Tok... Tok... Tok...

“Siapa??” teriak Audie dari dalam kamar.

“Ini aku. Stevan.”

Permainan Tuhan dalam Mengukir Sebuah Kisah Cinta (END)Where stories live. Discover now