19 -- Rendezvous

50.1K 2.7K 74
  • इन्हें समर्पित: XeyaAxazela
                                    

VELYNN

Empat tahun. Bukan waktu yang sebentar. Tapi pangeranku tak sedikitpun berusaha mencari kabarku. Menyedihkan. Sangat menyedihkan. Apa dia sama sekali tidak merindukanku? Apa dia serius dengan ucapannya waktu itu? Kalau aku cuma beban...

Beban yah? Berarti aku sangat mengesalkan untuknya. Pasti. Berbicara tentang beban, entah kenapa aku merasa kalau aku sedang disamakan dengan kotoran yang menimbun di perut manusia yang menyebabkan sembelit. Itu juga disebut beban, bukan? Berarti aku sama dengan kotoran itu dong? Tega... Kak Mario tega banget kalau iya.

4 tahun itu 48 bulan, 1.461 hari--termasuk Tahun Kabisat, 35.064 jam, 2.103.840 menit, 126.230.400 detik. Banyak yang mungkin terjadi dalam rentang waktu selama itu. Tadinya, aku pikir aku tidak akan mampu melupakan cintaku padanya. Aku pikir aku akan selalu gagal move on darinya, tapi ternyata...

"Lynn, tungguin aku!" panggil sebuah suara yang kukenal. Aku berbalik dan menatapnya. Seulas senyum terkembang di bibirku.

...Aku salah...

Dia berlari menghampiriku dan berhenti tepat di hadapanku. Senyum manis terkembang di wajahnya yang manis. Menampakkan sepasang lesung pipi di wajahnya.

"Kamu kemana dari tadi? Acaranya udah mau mulai, tuh!" tunjukku ke gedung auditorium universitasku.

Ia tersenyum lalu mengambil posisi di sebelahku dan merangkul pundakku akrab seperti biasanya.

"Aku dipanggil sama Pak Puji, dosen Phonology. Katanya sih, aku mau ditawarin sebuah lowongan pekerjaan gitu di perusahaan asing, jadi translator. Lumayanlah." Aku manggut-manggut mengerti.

"Oh, ya!" Ia teringat sesuatu. "Dari kabar yang kudengar, kamu mau di-booking loh sama sebuah perusahaan penerbitan terkenal di Indonesia gitu," lanjutnya lagi.

Aku mengendikkan bahu tak acuh.

"Aku sih nggak peduli mau ditawarin pekerjaan atau nggak."

"Ya iyalah. Kamu kan cum laude Sastra Indonesia," balasnya sambil mengacak rambutku gemas.

Aku terkekeh.

"Nggak ada hubungannya lagi. Indeks prestasi nggak menentukan masa depan. Yang penting, kesadaran kita sebagai manusia. Kalau kamu nggak bisa dapat pekerjaan, gunakan akalmu. Ciptain aja lapangan kerja baru. Jadi entrepreneur muda. Keren nggak tuh?" sahutku.

Ia mengacak rambutku lagi.

"Iya-iya. Dasar Miss Positive Thinking. Yuk, udah mau diwisuda kita. Jadi SS nih bentar lagi. Nggak sabar," ujar Stanley yang segera kuangguki.

Ya, dia adalah Stanley. Moses Stanley Gibran. Satu-satunya pria yang dekat denganku sekarang. Inisial yang sama dengan dia. Aku tau kalian tau siapa yang kumaksud. M.S.G. Mario Stevan Geovanni.

Mataku tanpa sengaja berhenti pada sesosok yang tampak familiar untukku. Berdiri di sisi pintu auditorium, tengah berbicara dengan anggota rektorat juga pengurus yayasan universitasku. Apakah itu dia?

Kerinduan seketika membuncah di dadaku. Aku tak akan mungkin bisa melupakan sosoknya. Melupakan tubuh atletis yang kokoh itu. Melupakan wajah yang terpahat sempurna itu. Melupakan rambut cokelat yang selalu tampak menawan itu. Melupakan bola mata cokelat seumpama kayu pohon cedar yang selalu menawarkan kesejukan. Itu jelas adalah rupanya. Tapi, apakah ia nyata? Tak mungkin ia bisa di sini. Di Bandung. Bukankah ia tengah sibuk mengurus perusahaannya di Jakarta?

"Lynn... Velynn..." panggilan Stanley menyadarkanku, menyentakkanku pada kenyataan. Mataku mengerjap dan seketika sosoknya hilang dari pandangan.

Your Princeजहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें