Bab 1

88 20 71
                                    

Tak ada kata lagi yang terucap, negeri itu sudah indah, dengan gemerlap lampu yang menghiasi siang dan malam. Hologram-hologram kuat yang melindungi dari bahaya. Rumah-rumah modern di setiap sudutnya.

Tentu saja mereka pun bertani. Dengan teknologi canggih, yang hanya memerlukan dua hari dua malam untuk menunggu masak.

Anak-anak yang selalu ceria, memainkan layangan tanpa benang. Mengendalikannya hanya dengan remote control. Canggih.

Ibu-ibu yang tiada habisnya memasak hanya dengan menekan satu tombol, mencari resep yang pas. Ting. Beberapa menit kemudian jadi.

Para pekerja yang hilir mudik, tiada hentinya di jalan, selalu memenuhi sudut kota. Mengais rezeki.

Dengan ikan glass fish, yang sering kali lewat di atas kepala mereka. Kadang pula gurita yang lari terbirit-birit dari predator, membuatnya mengeluarkan tinta hitam, membuat setengah negeri ini tertutup kegelapan.

Kala itu negeri sudah damai, tak ada lagi pertumpahan darah macam 500 tahun yang lalu.

Tapi, siapa sangka.

"Wahai, masyarakatku yang damai sejahtera." Ratu mengangkat kedua tangannya dengan perlahan. Sepertinya keberatan dengan baju yang dipakainya.

"Hoi! hoi! hoi!" seluruh rakyat - sebenarnya tidak seluruh - yang berada di tengah kota itu ikut mengangkat lengan, yang berbeda-beda tiap warnanya. Berseru-seru.

"Masyarakatku, Saya, sebagai ratu ke-19, akan membacakan sedikit peraruran baru," tutur ratu memandang sekeliling, memasang senyuman manis.

"Hoi! hoi! hoi!"  ini sudah menjadi tradisi. Mereka kembali mengangkat tangan.

"Peraturan yang ke-1189 adalah," ratu menghela napas lekat-lekat, "Bagi setiap  warga yang tak menjalankan peraturan akan di keluarkan dari negeri ini selama lamanya." ratu berdeham, mengangguk-angguk.

"Hoi! hoi! hoi!" sama seperti sebelumnya, mereka semua melakukan tradisi, dari masa nenek moyangnya.

Baru sedetik kemudian termenung, ber-eh heran.

"Bagaimana lah, aku tidak punya tempat tinggal lagi selain di sini." seorang ibu setengah baya, berbisik pada teman sampingnya.

"Memangnya hanya kau? aku pun sama," sungut teman sebelahnya.

"T-tapi, aku tak pernah melaksanakan peraturan ke-1146." dengan takut-takut, seorang anak kecil, memeluk bonekanya. Menyembunyikan wajah pada boneka warisan neneknya.

Seorang temannya tertawa, meledek, "Nantikan kau!"

"Astaga, ratu semakin hari semakin aneh." bisik-bisik masih terdengar, sahut-sahutan.

Ratu menurunkan tangannya. Pegal, setelah lama dibiarkan di udara.

Semua bersiap ke rumah masing-masing. Tidak, tunggu dulu.

"Ratu! semua batu sihir hilang!" seru seorang penjaga, yang membawa tongkat panjang beraliran listrik.

Ratu menoleh, mengernyitkan dahi.

Saat itulah, saat semua warga dibuat bingung. Pun ratu yang bergegas menyuruh para penjaga mencati batu itu.

Sebuah guncangan kecil. Kecil. Tapi, membuat warga kelimpungan, saling dorong-mendorong, menjerit saat ada seorang yang tak sengaja menginjak kakinya.

Ratu menelan ludah, takut sekali kejadian 500 tahun lalu terulang.

***
Aku menelungkupkan kepalaku diantara dua lengan yang disilang di atas meja kayu yang kusam, membiarkan mata lentikku tertutup dengan sempurna. Walau telingaku masih bisa mendengar - samar.

Biru, hanya warna itu yang kulihat  sejauh mata memandang.

Gelembung-gelembung kecil mulai terbentuk.

Seiring berjalannya waktu, tempat ini  mulai berubah, seperti yang sudah kukenali.

Aku menengok ke bawah, bola mataku tertuju pada dasarnya, melihat dengan fokus, manusia-manusia yang berlarian tak tau arah. Aku mengernyitkan dahi heran, mengayunkan kedua tanganku untuk sampai sana, juga menggerakkan
kedua kakiku, agar lebih cepat sampai.

Aku berhenti sejenak, tertegun.

Baru saja segerombolan ikan glass fish melewatiku.

Apakah mataku salah lihat, ikan kan, hanya ada dalam laut.

Aku menggelengkan kepala cepat, mengusir pikiran tentang segerombolan ikan yang baru saja lewat, lebih tertarik dengan keributan - manusia - di bawah.

Rambut hitam legamku menghalangi pandangan, aku menyibaknya kasar.

"Ra, bangun! kita sekelompok loh." bisikan samar terdengar dari telinga kiriku.

Aku menoleh ke kiri dan juga kanan cepat, tak menemukan siapapun.

"Ra!" suara itu terdengar lagi, kali ini lebih kencang dari pada sebelumnya.

"Astaga! ternyata kamu tidur Ra!" seorang itu menggoyangkan lenganku.

"Eh-" aku terlonjak kaget, menghapus buliran air yang tak sengaja keluar dari bibir merahku, dengan seragam putih yang kupakai.

Aku melirik kesal pada Meera,yang sedang tertawa kecil.

Dasar! kau mengganggu tidurku saja!

Aku ingin menelungkupkan wajahku lagi, ingin melanjutkan bunga tidurku yang tertunda, sepertinya itu seru sekali. Dibandingkan mendengar ocehan guru panjang lebar, yang hanya berkesimpulan 1 kalimat.

Lebih dulu dicegah oleh tangan kasar Meera.

"Ra, kita sekelompok loh." Meera mendekatkan mulutnya pada telingaku, aku mengusapnya pelan.

"Oh ya?" dengan nada malas aku menjawab, menaikkan satu alis.

"Tau gak? kita sekelompok sama Kai juga loh," papar Meera, aku hanya termangu.

Menyebalkan.

Berkelompok dengan dua orang yang tak bisa membantuku dalam hal apapun. Hanya akan menjadi beban.

Sudah pasti pekerjaan itu, aku yang akan mengerjakannya.

***
Bersambung~~

Naabot mo na ang dulo ng mga na-publish na parte.

⏰ Huling update: Jan 18 ⏰

Idagdag ang kuwentong ito sa iyong Library para ma-notify tungkol sa mga bagong parte!

AtlantisTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon