49. Amerika dan Sekolah

125 18 4
                                    

Jam 00.00 yang mengatakan hari sudah berganti, namun suara petir terus menggelegar, tidak mengenal kata akhir, ingatan-ingatan lama kembali bermunculan seperti kaset rusak, suara-suara yang menandakan ketakutan terdengar bersamaan dengan suara petir yang menggelegar, kilatan-kilatan terang itu memberikan cahaya yang sedikit membuat wajahnya terlihat di gelapnya malam.

Wajah penuh luka batin itu semakin mendekati sandera, tangisan ketakutan, mohon ampun tidak didengar lagi, ia menulikan kupingnya membiarkan sura itu menjadi lagu yang tidak kompak, pisau berhias darah yang masih menetes itu menjadi aksesoris terbaiknya yang menarik perhatian para sandera.

"Apa salah kami?!" Teriak salah seorang sandera membuat ia tertawa keras, dan sebuah tawa hambar. Ia melepas tudung yang menempel di kepalanya, membuat para sandera itu terkejut bukan main.

"Tu-tuan... Ka-kami tidak sengaja mendorongmu waktu itu ke jurang! To-tolong ampuni kami..." Ucap seorang sandera lainnya, ia tertawa keras lalu mengambil sebuah plastik berisi sesuatu sebesar kepala orang, bukan hanya sebesar kepala orang, itu memang kepala seorang gadis yang membuat para sandera teriak semakin takut.

"Ia menangis darah, bahkan hingga akhir hidupnya yang kalian tebas kepalanya, wajah cantiknya jadi terasa kesakitan, ia terus menangis darah dalam mimpiku, ingin membalas dendam pada orang-orang yang membuatnya mati terpenggal." Ucapnya, ia melihat ke arah kalender yang menunjukkan tanggal 17 Januari, tahun ini, hari ini, 'mereka' berusia 20 tahun.

"Hei, sudah hari ulang tahunnya, kalian tidak mengucapkan selamat?" Tanya pria itu kemudian, menempelkan keningnya pada kening orang yang kini tinggal kepala saja. Wajah gadis itu tampak seperti tertidur, dengan mulut sedikit terbuka serta darah yang mengalir dari matanya yang sudah kering.

"Aku tidak bisa membiarkan wajah ini terkubur, jadi aku hanya mengubur tubuhnya, dengan wajah yang sudah ku awetkan ini. Mana kata-kata selamat ulang tahun kalian untuknya? Untuk kami."

Tergagap, orang-orang itu mengucapkan serempak.

"Se-Selamat ulang tahun!" Ucap mereka bersamaan, wajah pria itu kemudian tampak menyeramkan, lalu tertawa hambar.

"Kalian mengucapkan selamat ulang tahun pada orang yang kalian bunuh? Kalian juga merusak kehidupan ku, kehidupan kami kini hanya berisi warna hitam, gelap. Kalian orang gila, ingin sekali kucabik-cabik." Ucapnya kemudian dengan tangan kanan yang memegang kepala itu, serta tangan kiri yang bersiap membunuh dengan pisau yang ia putar-putar.

"Ini hadiah untukmu yang ada di sana."

Ucapnya kemudian. Meneteskan air mata setelah selesai menumpuk mayat sandera-sandera nya dan mendudukinya, kedua tangannya ia gunakan untuk memegang pipi dari kepala itu, kepala seorang gadis yang kini berusia 20 tahun. Ia kembali menyatukan kening mereka berdua, lalu tersenyum dalam tangisnya.

"Selamat ulang tahun untuk kita berdua, Ariella."

Namun kemudian mata itu terbuka dengan napas terengah-engah, ia keringat dingin, menatap ke arah jendela, hujan lebat disertai petir dan guntur, ia berusaha menetralkan napas dan detak jantungnya. Hanya mimpi.

Suara ponsel tanda telpon masuk mengagetkannya, kemudian ia mengambil ponsel layar sentuh itu dan melihat siapa yang menelponnya, kemudian tersenyum kecil. Ia lalu menjawab telpon itu, mendengarkan perkataan tanpa henti dari sang adik.

"Mimpi buruk? Katakan padaku, mimpi apa hm?" Tanya Aidan kemudian, Ariella menjelaskannya, sama seperti mimpi Aidan, namun bedanya kepala dan pembunuh itu terbalik dengan Aidan, tapi mereka mengatakan hal yang sama.

["Apa Aidan juga memimpikannya?"] Tanya Ariella yang masih terdengar takut, Aidan hanya tersenyum kecil, lalu menjawab 'ya'.

"Sekarang tidak apa-apa, tidurlah." Ucap Aidan yang mengeratkan kepalannya. Ariella menjawab mengerti, telpon berakhir, dan Aidan menghela napas kasar.

"Menyebalkan."

~~Twin~~

Pagi itu, Aidan pergi menuju Bandara untuk ke Amerika, trauma? Aidan tidak merasakan apa-apa, kini Ere yang mengantarnya tampak tidak rela ditinggal oleh orang yang sudah dianggapnya sebagai adik sendiri, atau mungkin anaknya.

Suara operator terdengar, menginterupsi yang ke Amerika. Ere menatap pria 14 tahun itu dengan sedikit cemberut, membuat Aidan harus turun tangan. Ia berkata pada Ere dengan nada angkuh.

"Adikmu ini akan kembali, tunggu saja, heh!" Ucapnya dengan senyum miring, Ere kemudian tertawa kecil mendengar kata 'adik'.

"Baiklah, pergilah, beritahu kalau sudah sampai."

Aidan mengangguk dan masuk ke pesawat, sementara Ere melambaikan tangannya sebagai perpisahan.

Pesawat pun mulai terbang menuju Amerika selama 1 hari 2 jam, dengan sekali transit.

Sampai di Amerika, Aidan tidak lupa mengabari Ere dan adiknya, lalu ia langsung memilih sekolah yang ada asramanya, dan memulai dari kelas 1 SMP, berusaha untuk loncat kelas.

~~Twin~~

"Anak-anak, perkenalkan ia adalah Aidan Knightley. Sebenarnya ia harusnya masuk dari tahun lalu, namun karena sebuah insiden ia baru bisa masuk semester ini. Aidan, perkenalkan dirimu."

"Baik. Saya Aidan Knightley, saya tinggal di Singapura sampai usia 5 tahun, lalu tinggal di indonesia hingga saat sebelum saya ke Amerika. Tolong maklumi jika saya berbuat hal yang salah atau tidak wajar." Ucapnya menunduk kecil, lalu tersenyum membuat siapapun merasa panah imajiner menusuk dadanya.

Kelas dimulai, Aidan duduk paling belakang dekat jendela, jendela yang terbuka itu menghempaskan gorden putih yang cukup tembus pandang, bukan hanya gorden, angin itu menghempaskan rambut Aidan yang jadi seperti menari-nari tanpa gerakan pasti.

Beberapa orang yang memandanginya terkagum-kagum, ia terlalu tampan untuk bocah berusia 14 tahun yang biasanya masih labil. Ia tampak sangat tenang. Bahkan saat jam istirahat ia tetap memandangi langit dengan menggunakan headset berwarna hitam yang menyatu dengan seragam.

Terus-menerus begitu hingga jam pulang. Ia dipanggil oleh pak Kepsek untuk memilih asrama. Karena itu adalah SMP yang terkenal akan kekayaannya, bahkan asrama pun terbagi dua. Ada yang satu kamar diisi sendiri, ada yang satu kamar diisi 2-4 orang.

"Aku mau kamar asrama paling ujung lantai 3 yang ada jendela dan hanya diisi olehku." Ucapnya dengan nada yang berbeda dengan sebelumnya yang hangat.

"Kamar di gedung A ya, baiklah, lagi pula masih ada satu kamar lagi yang kosong di ujung lantai tiga. Tapi kau harus mengerti. Di gedung A, hanya diisi oleh orang-orang yang seperti bangsawan zaman dulu. Ada aturan tersendiri untuk gedung A. Ini buku mengenai peraturan yang harus ditaati di gedung para bangsawan itu. Paham?"

"Ya, pak."




....?

Author-2021

TwinsWhere stories live. Discover now