31. Death

253 42 12
                                    

Katanya, malaikat maut memperhatikan wajah manusia di muka bumi ini setiap 70 kali sehari. Lebih banyak daripada jumlah chatmu dengan gebetan. Ketika mengetahuinya, salting dan ketakutan bercampur aduk. Yang kebanyakan salting, pasti jomblo.

Lain dengan Jeno, ia malah merasa terenyuh. Ia terharu ternyata masih ada yang memperhatikannya bahkan setiap hari. Hatinya sungguh tersentuh, lantaran kedua orang tua sudah tidak lagi memedulikan dia.

Ketika orang-orang bergidik ngeri, ia menangis. Ia menutupi wajahnya, tak ingin dipandang lemah oleh orang-orang.

Jeno bersyukur, meskipun makhluk yang memedulikannya berasal dari alam lain. Namun, kini bayang-bayangnya tentang alam lain melintas. Apakah sekarang alamnya telah sama dengan malaikat maut? Sisi lain ternyata berkabut sekali, banyak asap yang mengelilingi.

Kepalanya berdenyut, tetapi suasana di sini lumayan menenangkan, sebelum seseorang menampar pipinya keras-keras. "Woy! Jenong! Bangun woy!"

Suara malaikat maut?

"Jen! Sat!"

Owalah, bukan.

"Hemm, janc*k." lirih Jeno kala melihat Jaemin menyondongkan kepala ke wajahnya.

"Jen, bertahan. Lo gak kenapa-kenapa, tenang aja. Lo diam aja di sini, jangan panik." berondong Jaemin yang nyatanya, dia lah yang kelihatan panik.

"Jaem, tinggalin gue."

"Hah? Gila lo! Gak!" kilahnya.

"Kejar mereka, Jaem."

"Gak! Diem lo, bangsat! Gue tetep di sini sampe bantuan datang!"

"Jaem-"

"Gak!"

"GUA KAGAK KENA TEMBAK, JAMET!!!" bentak Jeno sambil merobek kemejanya dan memperlihatkan sebuah rompi anti peluru yang dikenakan.

Jaemin melongo, agak malu.

"Sana cepet kejar mereka!" teriak Jeno lagi menyadarkan Jaemin dari lamunannya.

"Oh iya-iya! Gue tinggal, ya!" Jaemin lekas berlari meninggalkan Jeno yang masih terbaring.

Jeno belum ada niatan untuk bangkit, dia pengen rebahan sebentar aja. Namun, bunyi tembakan tiada henti, menyebabkan ia sontak terbangun. Soalnya, rompi itu hanya melekat di badan, tidak dengan kepala. Bisa is dead beneran dia kalau tetap bersikukuh untuk rebahan di sana.

Waktu berdiri, kepala dia masih terasa sakit. Resiko pengidap darah rendah, habis bangun dari tiduran dengan waktu yang singkat, mampu membuat pening tujuh keliling kayak lagi nge-fly. Padahal kan asepnya, asap gas granat, bukan asap ganja.

"Sialan, markonah."

Jeno berulah lagi, ia mau melangkah tertatih-tatih supaya mendramatisir. Namun, bunyi bising ledakan membuat ia mengurungkan niatnya. Dahlah, ngacir aja. Ketika sampai di luar, Jeno menolak tawaran tumpangan oleh salah satu polisi.

Lantaran dirinya masih ingat jika ia meninggalkan motor Renjun terparkir di sembarang tempat. Beruntung, motor tersebut masih utuh di tempatnya. Padahal di dalam hati Jeno sudah jedag-jedug disko.

Jeno bergegas duduk di jok dan men-starter motornya, akan tetapi ia termenung sejenak. Setelah melakukan hal gila-gilaan, apa dia sanggup mendengar ocehan Renjun nantinya?

Jika memang tidak ingin pulang terlebih dahulu, ia harus ke mana? Menemui Mira? Jujur saja, Jeno agak takut melakukannya. Dia tidak tahu mesti bilang apa kelak ketika berjumpa dengan gadis tersebut.

Rahasia sekaligus aibnya telah terbongkar, barusan dibongkar oleh mantan ketua gengnya. Bahwa dia lah si penculik sesungguhnya, si pelaku pemukulan hingga Mira tidak sadarkan diri. Penjahat sejati yang rela berbuat apapun demi uang.

Selain malu, dia merasa bersalah dan enggan menunjukkan diri karena merasa tidak pantas. Jeno tidak tahu malu, jika tiba-tiba menampakkan diri di hadapan Mira.

Puk.

Seseorang dari belakang, menepuk bahunya. Jeno menoleh dengan cekatan. "Apa?"

"Target sudah diamankan." ucap orang itu.

"Ngapain laporan ke gue." gumam Jeno agak segan dan tersipu bangga.

Dia yang nyatanya bukan siapa-siapa,  hanya mantan anggota gangster dan juga mantan narapidana, didatangi seorang polisi yang menyampaikan laporan jalannya operasi kepadanya. Jeno sedikit tersanjung.

"Oh, iya. Makasih." lontar Jeno.

"Korban juga sudah dibawa ke tempat yang aman. Anda bisa menemuinya." ungkap polisi itu lagi.

"Di mana?"

"Silakan ikuti mobil di depan, kami akan menuju ke sana."

Saat polisi itu melangkah pergi, Jeno segera menutup kaca helmnya dan mengekor mobil polisi di depan. Ia kesampingkan rasa malunya dan memilih untuk menemui Mira. Lagipula, tadi cewek itu telah melihatnya kok.

Mereka tiba di parkiran kantor polisi. Sebenarnya Jeno sudah muak duluan, namun apa yang bisa dia lakukan tanpa mereka?

Jeno bergegas turun dari motor setelah memarkirkannya. Sebelum masuk ke dalam gedung, ia menghela napas guna menyiapkan diri. Kemudian, menoleh ke sana kemari mencari-cari keberadaan Mira.

"Silakan ikut saya, pak." kata seseorang yang secara tiba-tiba muncul di hadapannya.

Sebelum orang itu sempat melangkah, Jeno mencengkram lengannya pelan. "Panggil saya 'kak' aja."

Seriuosly?

"I—iya, kak." gugupnya, lalu kembali berjalan.

Mereka sampai di sebuah ruangan persegi dan benar saja, seorang gadis telah duduk di salah satu kursi. Jeno terpatung saat Mira menengok dan perlahan-lahan mendekatinya. Kaki Jeno gemetaran, kayak masuk ruang sidang.

"Jen?" panggilnya.

"Lo... lo gak apa-apa kan?" tanya Jeno terbata-bata.

"Jeno sendiri gimana? Kok itu darah? Jeno luka?" Mira balik bertanya semrawutan.

Jeno lantas menoleh ke arah yang dimaksud Mira. "Oh, ini darah orang lain."

"Jeno bunuh orang?"

"Astaga, enggak lagi kok." ujar lelaki tersebut tak terima.

Semua polisi serta pegawai sontak menoleh kepada Jeno. Ia langsung gelagapan, bingung harus mengeluarkan reaksi apa. Tuhan tutup aibmu, tapi mulut temen licin banget. Lagian sih, Mira mancing-mancing. Mana mancingnya di kantor polisi, bukan tempat Dono biasa mancing.

Siapa Dono? Itu, orang di warung sebelah.
(Sedang mencoba S3 Marketing, guys)

"Yang penting Jeno gak luka apa-apa kan?" sela Mira di tengah-tengah keheningan yang sangat awkward.

"A... i—iya."






TBC


yey agu udh bangun xixixi ngakak abieszz

Secuestro [✔]Where stories live. Discover now