Beringsut ke sisi kanan ranjang, Respati mengerjap-ngerjapkan mata dan kemudian menguap lebar. Memandang sekeliling ruangan, ia tampak sedikit kebingungan. Bangkit dari posisi tidur, Respati merentangkan kedua tangan. Merenggangkan otot-otot yang kaku.
Segelas susu dan dua keping roti berselai cokelat tersaji di atas meja. Alih-alih menyantapnya, Respati justru mematung untuk beberapa saat. Mengurut pelipisnya, ia mencoba mengingat kejadian kemarin malam.
"Astaga!" Kenangan buruk berkejaran di kepala. Bagaimana ia dengan gila berniat tiada. Belum lagi pertengkaran dengan Daren yang berhasil membuatnya tersulut amarah, hingga tanpa berpikir panjang melayangkan tinjuan.
"Masih pusing?" Ziya-memakai terusan hitam lengan panjang-berdiri di ambang pintu. Membawa nampan berukuran sedang yang berisi semangkuk bubur dan segelas air putih, ia meletakkannya di meja dekat jendela. "Kau pingsan tadi malam. Daren yang membawamu pulang."
"Apa dia mengatakan sesuatu padamu?" Menatap Zita dengan pandangan tidak suka, Respati mengerutkan dahinya.
Memegang mangkuk bubur dengan hati-hati, Ziya lalu duduk tepat di samping Respati. Mengambil sesendok bubur bersama suwiran ayam, ia mengembus-embusnya sebentar, kemudian menyuap itu ke mulut Respati. "Tidak. Dia langsung pulang setelah mengantarmu," bohongnya.
"Aku bisa makan sendiri." Respati mencoba menepis tangan Ziya. Namun, wanita itu tetap bersikeras menyuapnya. Membuang napas panjang, ia akhirnya membuka mulut dan menelan sesendok bubur dari Ziya. "Jangan bersikap sok peduli. Simpan simpatimu untuk diri sendiri. Aku tidak memerlukannya."
"Kenapa aku harus bersimpati?" Kembali menyuap Respati, Ziya menatap langsung kedua telaga seindah guguran daun di antara bias senja.
Respati terkekeh sinis. "Kau pikir aku orang yang sangat bodoh? Si mulut besar seperti Daren tidak mungkin diam saja. Dia pasti mengatakan bahwa tadi malam aku berniat bunuh diri. Bahkan mungkin, dia menceritakan kegilaan demi kegilaan yang kulakukan untuk-"
"Ansa?" Ziya menyela. Mengaduk-aduk bubur sembari tersenyum hampa, ia berkata, "Ya, aku berbohong. Daren mengatakan begitu banyak hal dan aku memilih mendengar, lalu melupakannya. Kenapa aku harus peduli tentangmu dan wanita itu? Masalah hidupku sudah terlalu rumit untuk dipahami. Bagaimana bisa aku punya waktu untuk memahami dan peduli pada masalah orang lain?"
Respati mengarahkan telunjuk tangannya ke pintu sembari menatap nyalang Ziya. "Kalau begitu, keluar dari kamarku sekarang!"
"Aku di sini bukan untuk menunjukkan rasa simpati. Aku merawatmu sebagai seorang pelayan. Apa kau lupa bahwa aku adalah wanita yang nikahi untuk dijadikan budak dan diperas emosinya?" Tenang, Ziya memilih tetap duduk tanpa mengiakan perintah Respati. "Aku akan keluar. Tapi, setelah kau menghabiskan bubur ini. Kau bisa keras kepala. Bukan berarti aku juga tidak bisa melakukan hal yang sama. Jadi, patuh dan bukalah mulutmu."
Kata-kata Ziya terdengar seperti bantahan yang harusnya bisa menyulut amarah. Akan tetapi, Respati justru tersugesti untuk melakukan seperti apa yang sang istri inginkan. Ia dengan patuh membuka mulut setiap kali Ziya menyuapkan bubur.
"Siapa yang mengganti pakaianku tadi malam?" Melihat pakaian yang dikenakan telah berubah dari kemeja menjadi piama, seketika Respati diserang curiga. Selama ini setiap kali ia mabuk, tidak seorang pun pelayan berani menyentuhnya. Mereka akan membiarkan sang tuan tidak sadarkan diri masih dengan memakai pakaian yang terakhir kali dipakai. "Kau?" Menyipitkan mata, Respati mencengkeram tangan Ziya.
Menganggukkan kepala, Ziya memandang tangan Respati dengan sorot mata beraroma galabah. "Aku tidak berniat mengambil kesempatan dalam kesempitan. Aku hanya mengganti pakaianmu dengan piama yang lebih nyaman."
KAMU SEDANG MEMBACA
Renjana yang Ternoda [TELAH DITERBITKAN]
Romance[TELAT DITERBITKAN] "Cara terbaik membalaskan dendam bukan dengan menusukkan belati ke jantung korban. Itu hanya akan meninggalkan rasa sakit sementara yang kemudian hilang ketika keabadian menyapa. Cara terbaik membalaskan dendam ialah dengan membu...