“Terkejut?” Respati bersedekap dada, menatap intens lawan bicara. Senyum beraura angkara mekar di wajah. Untuk sejenak, keheningan menyelimuti keduanya. Hingga ia tergelak kencang sembari menepuk-nepukkan tangan. “Kau pikir bisa membodohiku? Kau pikir aku tidak akan tahu bahwa salah satu mata-mataku sudah menjadi bawahanmu? Kau membuat skenario yang luar biasa. Menuntunku pada kebingungan. Namun, sebingung-bingungnya aku masih bisa keluar dari jebakanmu.”
Lebih dari sebulan telah berlalu. Segala macam kecurigaan terus saja menemui jalan buntu. Mau tak mau Respati meragu, mungkinkah ia telah terjebak dalam permainan musuh?
Mata-matanya selalu mengatakan tak ada yang mencurigakan. Pada awalnya ia percaya saja. Hingga suatu ketika keanehan tergambar di depan netra, tetapi mata-matanya tak memberikan informasi sedikit pun.
Hari itu Respati pergi ke butik untuk membeli beberapa setel jas. Ia melihat pelayan sibuk mengemaskan semua pakaian wanita dan tak sengaja mendengar mereka menyebutkan nama Leoren Freysa dengan gamblangnya. Terang saja rasa penasaran menyapa dan ia menyelidiki sendiri ke mana pakaian itu bermuara. Tak disangka, semua dikirim ke sebuah vila di pinggiran ibu kota yang ternyata milik Leo, tetapi tak pernah dilaporkan sang mata-mata. Sungguh sebuah kejutan luar biasa. Namun, ia tak bisa bertindak tergesa-gesa. Meninjau vila tersebut menerapkan pengamanan yang ketat.
Sementara berpura-pura terjebak dalam skenario lawan, ia menyiapkan siasat yang mengejutkan. Membuat Leo sama sekali tak menyangka pria itu akan menemukan keberadaannya. Tentunya, ia juga sudah melumpuhkan semua petugas keamanan sehingga sangat tidak mungkin untuk meminta bantuan.
“Di mana Ziya?” Leo menatap nanar Respati. Cepat ia berlari menuju kamar, tetapi hasilnya nihil. Ziya tidak ada di sana.
Respati tergelak kencang. “Kenapa kau menanyakan di mana Ziya padaku? Bukankah aku yang harusnya bertanya, di mana kau sembunyikan istriku?”
Mengepalkan tangan kuat-kuat, Leo bersiap melayangkan tinjuan ke arah lawan. “Berengsek!”
Namun, Respati dengan sigap mencekal. Menepikan tangan Leo dari hadapannya, ia mendekat dan berbisik, “Coba saja sentuh tubuhku, akan kubuat Ziya membayarnya untukmu.” Aura membunuh terpancar dari kedua netra. Salah satu sudut bibirnya terangkat membentuk seringai. “Tidak percaya? Mau melihat bagaimana aku bisa membuat dia menderita?”
Selepas Respati bertepuk tangan tiga kali, Ziya—dengan diseret oleh dua orang berbadan kekar dan sangar—masuk ke ruangan. Mencoba melepaskan diri dari tawanan, Ziya melakukan perlawanan dengan penuh perjuangan. Akan tetapi, ia mendadak bergeming kala melihat Leo berdiri dengan wajah kuyu tak jauh dari tempatnya berada. Seketika tangis pecah, ia berseru, “Leo, tolong aku. Tolong lepaskan aku.”
“Jangan main-main denganku, Respati!” Kemarahan membakar sekujur raga. Leo tidak pernah bisa menahan diri jika yang menjadi target penyiksaan adalah Ziya. “Lepaskan dia!”
“Kenapa aku harus melepaskannya?” Respati menaikkan kedua alisnya. Berjalan mendekati Ziya, ia menyipitkan mata. Menyentuh wajah wanita yang lebih dari sebulan ini telah membuatnya sibuk ke sana ke mari melakukan pencarian, rasa kesal menyerang perasaan. “Ziya adalah istriku, sudah seharusnya dia di sisiku. Sementara kau, hei, apa hakmu memintaku melepaskannya? Sadarlah, kau bukan siapa-siapa, Leo! Akulah suaminya.”
“Hanya karena kau memiliki gelar suami, bukan berarti kau memiliki hak atas Ziya!” Teriakan Leo membungkam Respati. “Kau tidak memperlakukannya dengan layak. Tidak hanya menyiksa Ziya, kau juga berpikir menggugurkan anak di kandungnya. Menurutmu, pantaskah suami biadab membicarakan perihal hak?”
Leo berhasil membuat senyum Respati pudar. “Suami biadab?” Mengulang dua kata itu dengan penuh penekanan, ia menundukkan kepala. Bukan untuk merenungi kesalahan. Melainkan untuk mengumpulkan kekuatan. Tanpa peringatan, tangan itu melayangkan tamparan ke wajah Ziya. “Ya, aku memang suami biadab.” Tidak ada rasa bersalah baik dari nada suara. Justru aroma jemawa menguar dengan kentara.
“Respati!”
Suasana semakin tegang. Jantung Leo serasa diremas-remas menyaksikan Ziya tersungkur dengan pipi lebam dan sudut bibir berdarah. Api amarah membakar habis sisi tabah. Apa gunanya diam dan menjadi sabar, ketika lawan terus saja menyuarakan perang? Ia bukanlah seorang bijak dan berhati besar yang menerima wanitanya diperlakukan seperti binatang.
Mengabaikan bahwa ia berada dalam posisi tidak menguntungkan, Leo memulai pertarungan. Kedua pengawal Respati dengan cepat memasang badan. Dua lawan satu. Pertarungan yang tidak sepadan. Walau begitu, Leo dapat dengan mudah melumpuhkan lawan. Kekuatan dan ketangkasan menjadi kunci keberhasilan.
Melihat pengawal terakhirnya rebah di lantai, alih-alih marah Respati justru kembali tertawa. Dengan tanpa iba ia menjambak rambut Ziya. “Kau ingin melihat bagaimana besok aku membuat wanita ini hanyalah tinggal nama?”
Ringisan Ziya menghentikan pergerakan Leo. Kedua netra itu memerah. Melepaskan pengawal Respati, ia mencoba bernegosiasi. “Jangan sakiti dia dan aku akan melepaskan mereka.”
“Siapa yang peduli aku mau melepaskan mereka atau tidak.”
“Apa yang kau mau?”
“Bayar nyawanya dengan nyawamu. Pilih, kau atau dia yang tiada.”
Ziya menggeleng-gelengkan kepala sewaktu mendengar ide gila suaminya. Menatap Leo yang diam saja, ia meronta. Seluruh dunia tahu, jika diminta harus mengorbankan salah satu dari mereka, maka tentu Leo akan menyerahkan nyawanya. Cinta semacam itu membuat ngilu hati Ziya. Cinta yang tidak pernah bertanya apa dan mengapa, tetapi siap berkorban kapan saja.
Menarik napas panjang, Respati memasang ekspresi kasihan. Sebentar saja, karena sedetik kemudian tampang iblis kembali menguasai muka. “Sudah membuat pilihan rupanya. Secepat itu?”
“Leo, pergi dari sini! Jangan pernah berpikir untuk menukar nyawamu dengan nyawaku. Aku mohon. Kau sudah terlalu banyak berkorban.” Ziya terisak kencang. Lara merayapi luka pada segumpal merah di dada. Membuatnya bernanah dan kian parah. “Kau ingat, sedari awal akulah yang berharap tiada. Jika bukan karena kau selamatkan, sudah lama aku menghuni alam baka. Jadi, biarkan aku mendapatkan apa yang aku inginkan.”
“Janjiku adalah memberikanmu bahagia. Aku tidak pernah menjanjikanmu kematian. Karena itu, aku tidak bisa memenuhi apa yang kau inginkan.” Menatap langsung iris seindah langit senja, ketenangan menyapa hati yang dilanda gemuruh kekhawatiran.
Muak menyaksikan kemesraan Leo dan Ziya, Respati mengeluarkan gawainya dari saku celana. Cukup melakukan satu panggilan pada nomor teratas di kontak, beberapa dari pengawal yang bertugas berjaga mengitari vila—memastikan lawan benar-benar dalam genggaman—segera datang dan bersiap melaksanakan perintah.
Sekitar lima orang pengawal berdiri di depan Respati. Tiga di antaranya datang dengan tangan kosong, sedangkan sisanya membawa tongkat bisbol. Berdiri di belakang Ziya, Respati mengaitkan tangannya di leher si wanita. “Haruskah aku memulai penyiksaan?” Berbisik tepat di telinga Ziya.
“Jangan, Respati.” Parau, sejejak ketidakberdayaan menguar. Ziya menoleh ke arah kanan, berusaha menatap langsung sang suami. “Jangan.”
“Apa? Jangan? Oh, ya, jangan ditunda-tunda lagi. Sekarang saja aku habisi mantan kekasihmu.” Gerakan mata Respati menjadi kode untuk para algojo melaksanakan proses eksekusi. “Habisi dia!”
“Jangan!” Ziya meraung sekencang-kencangnya, sewaktu melihat pengawal Respati melancarkan serangan brutal. Setali tiga uang dengan sang tuan, hati mereka telah dipenuhi kegelapan; busuk dan dihuni tungau kejahatan. Saat siksaan mengudara, tak ada kata ampun di sana.
Layaknya sebuah samsak, Leo diam tanpa perlawanan; membiarkan tubuhnya diberondong serangan. Wajah pualam itu dalam beberapa detik dipenuhi lebam. Darah menyucur dari hidung dan sudut bibir. Ia terhuyung-huyung sebelum akhirnya jatuh dalam posisi bersimpuh. Tidak puas menendang dan meninju, salah seorang dari mereka maju selagi mengayun-ayunkan tongkat bisbol.
“Respati, jangan!” Teriakan Ziya memudar. Seluruh tubuhnya menegang. Sembilu menikam jantung tanpa peringatan. Waktu seolah berhenti berputar. Ia terjebak dalam keheningan, sementara galabah diam-diam merasuk pada tulang. Tongkat bisbol menghantam kepala Leo, keras. Pria itu terbujur kaku di atas lantai dengan kepala dipenuhi darah segar.
“Leo,” ucap Ziya, lirih, sebelum jatuh tak sadarkan diri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Renjana yang Ternoda [TELAH DITERBITKAN]
Romance[TELAT DITERBITKAN] "Cara terbaik membalaskan dendam bukan dengan menusukkan belati ke jantung korban. Itu hanya akan meninggalkan rasa sakit sementara yang kemudian hilang ketika keabadian menyapa. Cara terbaik membalaskan dendam ialah dengan membu...