“Dari sekian banyak asa yang mengudara, tak satu pun yang terjamah oleh tangan-Nya. Senista itukah aku hingga Ia terus saja memalingkan wajah?” Memejamkan mata, Ziya—dalam posisi tidur menyamping—bertanya pada Ila yang sibuk mengelap wajah, turun ke leher, dan kemudian lengannya menggunakan sapu tangan basah. “Berdosakah aku jika kecewa pada Sang Pencipta? Salahkah aku jika marah atas takdir yang tidak pernah menghadirkan bahagia dalam guratan kisah?”
Tak berani bicara, Ila takut jawabannya hanya akan membuat emosi Ziya menjadi tak terkendali seperti sebelumnya. Ia sendiri lupa berapa kali sang nona meraung dengan penuh luka; meminta dibawa menuju alam baka. Begitu sering hingga kadang dalam lelap tidur pun suara itu menggema. Membuat ia terus terjaga, takut jikalau hal-hal buruk terjadi secara tak terduga.
“Dia pernah mengatakan jangan pernah menyalahkan Tuhan. Karena Tuhan tidak pernah menetapkan sesuatu secara sembarangan. Di balik setiap kepedihan, terdapat pelangi yang menanti mendekap kebahagiaan.” Kepingan luka meluncur bebas dari sudut mata. Ziya menggigit bawah bibirnya dengan bergetar. “Tapi bagaimana aku tidak menyalahkan Tuhan, ketika yang tersaji dalam hidupku hanyalah kepedihan?”
Ziya mencoba membangun harapan, seperti yang Ansa inginkan. Ia ingin memercayai bahwa kebahagiaan untuknya benar-benar ada. Akan tiba sebuah masa di mana pelangi tiba. Namun, semakin ia mencoba mensugesti diri, semakin lara berkuasa. Tawa kian berjarak dan perlahan saru dalam kepala. Lantas bagaimana bisa ia tetap bisa menanti dalam tabah, jika waktu selalu memaksa sadrah?
Ila menggeleng pelan. Dari sekian banyak rentetan kata, ia hanya sanggup mengatakan, “Nona.” Dengan tulus ia menggenggam tangan Ziya lantas mengusapnya—mencoba memberi kehangatan pada hati yang telanjur kedinginan.
“Ila, aku tidak ingin membawa jiwa lain lahir dan merasakan luka yang sama.” Melepaskan genggaman tangan Ila, Ziya mengusap pelan perutnya. “Sebagai seorang ibu, aku berusaha mempertahankannya. Namun, sebagai seorang manusia yang telah puas mereguk nestapa semesta, aku rasa membiarkan dia tidak pernah terlahir ke dunia adalah keputusan terbaik.”
***
Selaksa cinta runtuh saat setia telah digadaikan demi nafsu semata. Hanum memandang Rangga yang bersimbah darah setelah dihabisi Respati dengan wajah datar. Iba telah lenyap dari dada, yang ada hanyalah kebencian hingga ke tulang-tulang.
Pria itu dengan sekuat tenaga menyeret tubuhnya demi menjamah kaki si wanita. Mengabaikan semua kesakitan, ia mencoba memohon pengampunan. Namun, belum sempat kata-kata diutarakan, Hanum sudah lebih dulu berbicara. “Kau baru saja mengatakan pada Respati bahwa Ashwa bukanlah anaknya. Melainkan hasil hubungan gelapmu dan Ratna.”
Sebuah fakta yang lagi dan lagi melempar kedua kakak beradik itu dalam kubangan lara. Rahasia perselingkuhan Rangga dan Ratna saja sangat sulit untuk diterima. Dan, kali ini gadis kecil yang Respati anggap sebagai buah hatinya ternyata adalah hasil hubungan penuh dosa.
Mendadak kekacauan menyerang dengan gila. Menjungkirbalikkan keadaan damai menjadi penuh galabah. Mereka tak pernah menduga, kebenaran akan tiba dalam cara yang paling tak terduga.
“A-ku ....” Perkataan Rangga berhenti kala batuk menyerang. Darah memenuhi seluruh mulutnya. Serangan Respati benar-benar kejam dan mematikan. Andai tidak mempertimbangkan Hanum—yang dalam hal ini juga memiliki kuasa untuk menentukan hukuman—mungkin ia sudah menjadi bangkai yang terombang-ambing di lautan.
“Kalian luar biasa.” Bangkit dari posisi duduk, Hanum menjauhkan diri dari Rangga. Bahkan ia tak sudi untuk sekedar menundukkan kepala; melihat seonggok daging yang antara hidup dan tiada. “Sangat luar biasa! Sampai-sampai aku sendiri tidak tahu harus berkata apa.”
“Ma-af.”
“Bisakah maaf menyembuhkan hati yang patah? Tidak! Tidak akan pernah! Kata maafmu tidak lagi berguna, Rangga. Kepercayaanku sudah hancur. Mimpiku telah lebur. Kau telah membunuhku, kau membunuh jiwa yang selama ini dengan percaya menggantung harap padamu.” Hanum meremas bajunya saat air mata berdesakan meminta diluahkan. “Aku memang melakukan kesalahan. Aku mengabaikanmu dan sibuk dengan kesedihan. Namun, tidak berarti kau bisa menjadikan perselingkuhan sebagai cara memecahkan permasalahan.”
Hanum mengerjap-ngerjapkan mata. “Aku salah saat berpikir kau tidak akan pernah menjadi bagian dari salah satu bajingan menjijikan.” Ada banyak umpatan yang meminta diutarakan, sayangnya hanya berakhir di tenggorokan. Ia terlalu muak menjelaskan. Karena pada kenyataannya semua itu tidak akan bisa mengubah kenyataan. “Tidak ada alasan untuk bertahan. Secepatnya aku akan mengurus surat perceraian kita.”
***
Mata Bibi Yoli tampak berkaca-kaca kala memandang Ashwa. Gadis kecil itu tampak asyik bermain dengan boneka kesukaannya. Sesekali ia melihat ke arah sang pengasuh sembari mengulurkan tangan jika membutuhkan hiasan kepala atau baju untuk bonekanya.
Menundukkan kepala, Bibi Yoli meremas erat ujung kemeja. Sewaktu ia mengembuskan napas panjang, suara langkah kaki tergesa-gesa terdengar dari luar. Membalikkan badan, sosok Respati yang berantakan dan penuh bercak darah membuat wanita paruh baya itu bergetar.
Respati melewati Bibi Yoli begitu saja dan menghampiri Ashwa. Gadis kecil itu berpaling dari mainannya kala melihat Respati tiba. Segera Ashwa merentangkan tangan. Senyum lugu terkembang di bibir mungilnya. Seperti biasa, Respati hendak memberikan hangatnya sebuah dekapan. Namun, tiba-tiba niatan itu terhenti.
Memandang wajah Ashwa membangkitkan ingatan akan Ratna dan kebenaran penuh luka tentang siapa anak di depannya. Berjongkok, ia mengepalkan tangan sekuat tenaga. Mencoba menghapus rasa benci yang telanjur membalur raga. Mengendalikan diri ternyata tidak semudah kira. Ia lepas kendali dan mencengkeram bahu Ashwa hingga isak tangisnya memenuhi ruangan.
“Tuan!” Pengasuh Ashwa dan Bibi Yoli kompak berteriak.
Terang saja hal tersebut membuat Respati tersadar dan mengendurkan cengkeraman. Menundukkan kepala sebentar dan kemudian kembali memandang Ashwa yang tergugu dalam tangisan, hatinya remuk redam. “Apa yang telah aku lakukan?” Bergumam dengan penuh penyesalan, air mata meluncur bebas di wajah pualamnya.
Bagaimanapun, Respati adalah orang yang membesarkan Ashwa. Ia menyaksikan gadis kecil itu bertumbuh dalam dekapnya. Saat dokter menyatakan Ashwa tidak akan bertahan karena keadaan hatinya, ia rela menjungkirbalikkan dunia demi membuat sang anak bisa sehat seperti sediakala. Rasa cinta telah melekat kuat dalam dada. Saat kebencian menyergap dan memaksa untuk berkuasa, secara alami jiwa menolaknya.
Ia menatap tangan yang baru saja dengan berani mencengkeram Ashwa. “Maafkan Ayah, maafkan Ayah, Sayang.” Ketidakberdayaan terpancar dari nada suara. Respati terus mengulang kata yang sama. Sementara Ashwa kian tenggelam dalam tangisnya.
Bibi Yoli tak kuasa menahan air mata. Menghampiri pengasuh Ashwa ia berkata, “Bawalah Nona Ashwa keluar. Saya ingin berbicara dengan tuan.”
“Baik, Bibi Yoli.”
Setelah si pengasuh meninggalkan ruangan, Bibi Yoli mengumpulkan segenap kekuatan untuk turut bersuara dalam kebenaran. Beberapa detik berlalu dalam keheningan, hingga akhirnya ia bersimbuh di depan Respati. “Tuan, tolong jangan sakiti Nona Ashwa. Nona tidak tahu apa-apa. Sayalah yang harusnya dipersalahkan atas ini semua. Sejak lama saya tahu perselingkuhan nyonya. Saya tahu bahwa anak yang dikandung nyonya bukanlah darah daging Tuan. Namun, karena alasan balas budi atas kebaikan nyonya yang telah membiayai operasi suami saya, saya membantu menyimpan semua rahasia ini serapat mungkin. Bahkan, saat nyonya berpikir melarikan diri dari Tuan, saya ikut terlibat di dalamnya.”
“Apa katamu?” Respati mendelikkan mata ketika mendengar pengakuan wanita paruh baya yang sangat ia percaya.
“Saya tahu Ila adalah suruhan Nona Hanum. Karena itu saya mendekatinya. Sehingga semua hal bisa saya manipulasi dengan sempurna, dan perselingkuhan nyonya tidak akan terbongkar. Saya tahu kematian nyonya bukanlah kesalahan Nona Ziya. Semua itu telah menjadi bagian dari rencana nyonya. Itulah alasan mengapa saya tidak pernah menyalahkan Nona Ziya dan terus mendukungnya.” Bibi Yoli tak berani mengangkat kepala, untuk sekadar menatap lawan bicara. “Saya salah, Tuan. Saya tahu semua kebenaran, tapi memilih diam. Saya telah menyebabkan kehidupan seseorang kacau balau.”
Respati bergeming. Kepalanya seperti dihantam ribuan bongkah batu. “Ziya?” Tawa pedar mengiringi pilu di dasar kalbu. “Dia tidak bersalah dan aku telah menghancurkan hidupnya?”
***
Hai, annyeong😘
Hihi ... maaf up-nya lama. Harusnya ini up kemarin malam, tapi ya begitu😂kadangkala kesibukan dunia nyata mengalihkan segalanya.Bagaimana dengan bab kali ini?
Author pas nulis sambil mewek🥺🤧
Kebawa perasaan huhu ....
Nyeseknya ampe ke ulu ginjal🥺🥺🥺
KAMU SEDANG MEMBACA
Renjana yang Ternoda [TELAH DITERBITKAN]
Romance[TELAT DITERBITKAN] "Cara terbaik membalaskan dendam bukan dengan menusukkan belati ke jantung korban. Itu hanya akan meninggalkan rasa sakit sementara yang kemudian hilang ketika keabadian menyapa. Cara terbaik membalaskan dendam ialah dengan membu...