"Not The Last Pain" Flashback Chapter

2.5K 193 0
                                    

Still Flashback Chapter 🤍

***

Elena berharap pagi harinya akan menjadi lebih baik lagi, dengan menemukan misi tersembunyinya. Ini sudah hari kedua Elena berada di Manhattan, dan ia belum menemukan warisan ibunya.
Pukul sembilan pagi, dan Elena sudah harus bergerak kembali, menyelidiki setiap sudut apartemennya. Adiknya sedang pergi ke luar untuk membeli sarapan mereka. Elena bergegas untuk tetap mencari lagi. Kemarin dia dan Alena sudah mencari ke setiap sudut apartemen mereka. Namun, tetap tak menemukan apa pun. Elena bahkan tak tahu, seperti apa wujud yang dikatakan warisan itu.
Perempuan itu jadi meragukan perkataan bibi Halsey, apa dia benar-benar meyakini, di apartemen kumuh yang terletak di Harlem St. Nicholas ini ada sebuah harta karun tersembunyi?
Bagaimana kalau memang ternyata ibunya bukan orang yang dipikirkan oleh bibi Halsey? Mungkin saja, ibunya tidak kaya raya dan juga tidak meninggalkan warisan sama sekali. Oh, betapa Elena berharap itu benar!
Bunyi gedoran pintu apartemen yang dipukul berkali-kali terasa seperti gangguan, jika Elena tak segera membuka pintunya. Itu mungkin adiknya yang sedang membawa beberapa kardus sayuran murah yang dijual di pasar dengan harga beberapa sen.
Elena mulai menggerutu ketika gedoran itu semakin tak sabaran. "Sabar Al, aku sedang dalam perjalananku menuju..." Suara Elena menghilang ketika ia tak menemukan sosok adiknya saat membuka pintu, melainkan sosok lain. "Glen."
"Maaf, membuatmu kecewa, karena tampaknya kau mengharapkan kedatangan orang lain."
Elena diam. Matanya menatap sosok di depannya dengan sorot terkejut sekaligus kagum. Glen memakai pakaian mewah dan bersih yang tampaknya khusus dirajut untuk laki-laki itu. Glen tampak semakin tinggi dan terlihat dewasa. Membuat Elena merasa seperti anak kecil dengan pakaian kotor yang tersesat jika bersanding dengan laki-laki itu.
"Ada apa?" tanya Elena.
"Aku ingin meminta maaf padamu soal rencana adopsi itu...."
"Ya, dimaafkan."
Glen menatap terkejut pada Elena, ketika perempuan itu memaafkannya dengan sangat cepat. Kemudian, ia menghela napasnya gusar.
"Kau sulit ditemui selama dua minggu terakhir seakan itu belum cukup untuk membuatku bingung. Kau memutuskan untuk keluar dari sekolah, kemarin."
"Kau tidak mengerti. Aku harus melakukannya." Elena ikut menjawab dengan nada gusar.
"Kau hanya perlu mengatakannya padaku! Kau pikir, seorang anak perempuan berusia lima belas tahun tanpa orang tua, dapat berjuang sendiri demi hidupmu dan adikmu?" Kali ini, Glen tak bisa untuk tidak berteriak untuk menyadarkan Elena.
"Aku tidak perlu dikasihani!"
"Lalu menurutmu, dengan keluar dari sekolah, kau tidak akan dikasihani, huh?
Elena menggeleng keras. "Bukan seperti itu, aku memang tak mau berhenti dari sana. Hanya saja..."
Ucapannya terhenti ketika dari sudut matanya ia melihat Logan yang tengah menatap curiga pada Elena di depan apartemen pria itu.
"Hanya apa, El?"
Elena kembali menatap Glen, dan kini ia merasa bingung untuk melanjutkan perkataannya. Bagaimana Logan bisa mempunyai intuisi yang kuat, bahwa tadi Elena memang akan mengatakan yang sejujurnya pada Glen.
Dan Elena merasakan sekujur tubuhnya ketakutan ketika melihat Logan menyuruhnya tutup mulut dari pandangan tajam itu.
"Elena, ada apa? Kau terlihat aneh, sekarang."
Perempuan itu menggeleng pelan, kemudian membuang pandangannya pada Glen. Ia berkata sembari menahan isakannya. "Kumohon, jangan pernah datang ke sini lagi. Aku tak mau menemuimu selamanya!"
Elena tak memberi kesempatan pada laki-laki itu untuk bertanya alasannya. Dia menutup pintu dengan cepat, dan tubuhnya langsung luruh di belakang pintu dengan gedoran Glen yang seakan musik dari kehidupan buruk yang menyambutnya.

***

Malamnya, Elena kembali mencari benda tersebut ketika Alena mendatangi kakaknya dengan raut serius.
"Ada apa?"
Alena terdiam sejenak. Memainkan kancing piyamanya dengan gugup, sebelum akhirnya membuka mulut.
"Sebenarnya aku telah menemukan warisannya. Sejak kau pergi ke Brooklyn."
Elena menatap adiknya dengan tatapan tak percaya. Dengan cepat ia langsung menghampiri Alena. "Di mana kau menyimpannya? Berikan padaku sekarang!"
Alena menggeleng. "Aku akan memberikannya padamu, jika kau mengatakan dengan jelas apa tujuanmu dengan itu?"
Elena mengerang kesal, kenapa adiknya sekarang juga ingin menyulitkannya?
"Membuat hidup kita lebih baik lagi!"
"Aku tidak puas dengan jawabanmu."
"Baiklah. Apa yang ingin kau lakukan dengan itu memangnya, Al?" Elena balas pertanyaan lain pada adiknya.
"Aku ingin kita pindah dari sini, dan melanjutkan sekolah tanpa bekerja lagi. Kau harus tahu betapa besar yang diberikan Ibu pada kita."
Elena mengernyit. Ia sama sekali tak peduli pada nominal di dalamnya, ketika ia tak akan pernah memiliki itu pada akhirnya juga. Namun, ia membalas dengan acuh. "Berapa?"
"Empat juta dolar."
Mata Elena membesar ketika mendengar angka yang tak pernah diimpikannya. Ibunya memang benar-benar wanita kaya yang meninggalkan warisan sebanyak itu pada mereka. Pantas saja bibi Halsey begitu menginginkannya.
"Kak, kita bisa melakukan apa pun dengan uang tersebut, dan kau bisa melanjutkan sekolahmu."
Elena terdiam seketika. Perasaan kagum pada ibunya tadi digantikan perasaan kecewa yang menelusup di hatinya. Elena seharusnya tidak mencari bibinya untuk hak asuh mereka, dia malahan mendapatkan malapetaka lain karena bibinya. Andai dia dengan bodohnya tak melemparkan diri pada bibi Halsey, sudah pasti Alena dan dirinya dapat melakukan apa pun dengan harta sebanyak itu.
Elena menghela napas pelan. "Kita akan melakukannya. Sekarang di mana kau menaruhnya?"
"Di bawah ranjangku. Besok kau harus membatalkan pengeluaran dirimu dari sekolah, Kak. Kita tak perlu memikirkan biaya sekolah lagi."

Trapped In His ArrogantWhere stories live. Discover now