2. Yakali Nggak Kuy

4.6K 764 71
                                    

Hai, jangan lupa tersenyum dan selamat membaca yaa..

Btw aku ada cast nih, mau lihat nggak? Apa kusimpan untuk diriku sendiri sadjah?

Love, Pulpenabu.

...

Banyak yang bilang, Adel terlihat seperti perempuan manja. Tidak pernah melakukan kegiatan berat, paling anti berkeringat, dan yang parah adalah Adel dikira tidak pernah terkena sinar matahari karena kulitnya yang putih. Menyebalkan! Mereka tidak tahu saja kalau saat ini ia bahkan sedang menyapu halaman dengan kaus kedodoran dan celana pendek di jam 8 pagi.

Oh jangan lupakan juga dengan suara musik yang semakin menghidupkan suasana. Adel bahkan sesekali memutar tubuh dan ikut bernyanyi, lalu menyapa beberapa tetangga yang sedang lari pagi.

Satu hal yang ia syukuri. Orang tuanya lebih memilih tinggal di kompleks perumahan sederhana, dengan halaman luas dan tetangga yang ramah. Rumahnya juga tidak terlalu besar, tidak seperti rumah kakek yang sudah seperti istana negara saja.

"I want you to the booooooooooneeeeee." Adel bernyanyi dengan suara sumbang, sembari terus menyapu. Ia sudah lelah, tetapi dedaunan kering di halamannya ini tidak ada habisnya. Lagian, kenapa pula papanya harus menanam banyak sekali pohon buah-buahan di halaman, sih? Seperti tidak bisa beli saja.

"Take me home, I'm fallin' ... love me long I'm rollin' ... losing control—"

"Suara sumbang nggak boleh nyanyi."

Mendengar teguran menyebalkan itu, Adel hanya mendengus lalu lanjut bernyanyi. Ia mencoba abai dengan keberadaan Gaven yang tiba-tiba berada di kompleks rumahnya, padahal di weekend seperti ini, Gaven akan selalu setia di kamar yang berantakan hingga siang nanti. Lelaki itu pasti tidak akan keluar dari sarang jika tidak ada maksud tertentu.

Seakan sadar sesuatu, ia menghentikan gerakan tangannya lalu menatap Gaven siaga. "Ngapain lo ke sini? Ini weekend, dan gue lagi nggak mau ke mana-mana."

"Gue juga nggak bakal ngajakin lo ke mana-mana kali, Del. Meskipun jam segini gue udah ganteng dan rapi." Lelaki itu menyugar rambutnya yang masih setengah basah, lalu mengayuh sepedanya untuk kemudian disandarkan pada pohon mangga.

"Terus ngapain lo ke sini? Kayak biasanya udah bangun aja lo dari kasur buluk lo itu."

"Del, lo emang yang paling mengerti gue, deh. Jadi pingin gue ketekin." Dengan gesit Gaven berlari menuju di mana Adel berada, berniat memiting perempuan—yang hanya setinggi bahunya itu—untuk membuat Adel kesal. Terbukti dengan tabokan sapu yang didapatinya, dan pekikan yang memekakkan telinga. "Gue cuma mau main aja. Oma lagi datang, dan gue males banget denger pertanyaan kapan nikah mulu. Sebagai sohib yang baik, lo harus nemenin gue. Sepedaan yuk, Del. Ntar gue traktir es krim."

"OGAH! Es krim doang nggak cukup."

"Ramen?"

"Kurang."

"Apa lagi?"

"Bantu gue nyapu!"

"Fine. Tapi abis ini langsung berangkat, nggak pake mandi." Gaven melepaskan pitingannya, lalu menyambar sapu yang Adel pegang. Sepasang mata itu megerling jahil, senang sekali bisa membuat Adel tidak percaya diri—yang saat ini sedang mencak-mencak tidak terima—dengan tidak mandi.

Hal itu tidak luput dari pengelihatan kedua orang tua Adel yang baru saja sampai di teras, berniat untuk menghabiskan waktu dengan meminum teh dan memandangi anaknya yang sedang menyapu. Tatapan sepasang suami istri itu saling bertemu. Seakan bisa berkomunikasi lewat telepati, dan berdiskusi bagaimana caranya membuat mereka berpisah, atau malah harus bersatu.

Just Let's Do ItWhere stories live. Discover now