3. Go Public

4.2K 710 96
                                    

Happy reading wahai saudaraku setanah air. Selamat hari Ibu Kartini, semoga hari besok Ibu kita besanan, heheh.

Sinyalku jelek jd castnya kapan kapan ajalah.

Love, Pulpenabu.

...

Jika saja saat ini Adel dan Gaven tidak sedang berada di tempat umum, pastilah mereka akan tertawa dengan Adel yang meloncat ke pelukan Gaven sembari berteriak "Gav, kita bakal nikah!"

Sayangnya, ia harus menahan keinginan itu karena masih ingin menjaga nama baik dua pasang orang tua yang sedang mendiskusikan tanggal pernikahan mereka.

Adel sendiri sedang mesem-mesem tidak jelas, begitu pun Gaven. Keduanya seperti orang sinting yang saling menahan tawa, karena masih tidak percaya bahwa mereka akan menikah dan hidup bersama. Setelah kesepakatan malam itu, ia memang langsung menghubungi Gaven dan membahasnya lewat telepon hingga tengah malam. Keduanya tidak berhenti tertawa—lebih menertawakan diri sendiri dan membayangkan bagaimana keadaan rumah tangga yang akan keduanya lalui nanti.

Terlebih Gaven dan Adel tidak pernah akur, bahkan untuk hal sesederhana rainbow cake. Bagaimana mungkin mereka akan hidup berdua dengan keadaan yang tidak pernah kondusif seperti itu? Atau mulai sekarang, ia harus melakukan gencatan senjata saja? Setidaknya hidup akan lebih tentram jika keduanya mau berkompromi.

"Gav, ini beneran lo bakal jadi suami gue? Kayaknya kita perlu diskusi lagi, deh." Adel bertanya sembari mencubit lengan Gaven, tak lupa ekspresi kurang percaya yang sejak tadi ia berikan setiap kali melihat sang sahabat.

Gaven meringis, berusaha melepaskan cubitan Adel yang benar-benar menyakitkan. "Lo nggak mau punya suami ganteng dan kaya raya seperti gue, Del?"

"Bukan kayak gitu! Tapi ini kan serius. Emang lo siap, berbagi segala hal yang lo punya sama gue? Rainbow cake, almari, kasur, kamar mandi, sabun mandi, shower, sofa dan televisi kesayangan lo itu sama gue?"

"Lah? Bukannya dari dulu juga udah berbagi? Bahkan kaus yang baru gue pakai satu kali juga lo ambil, kan? Apa lagi? Televisi, almari, sabun mandi? Ya kali nggak boleh. Dan yang paling enggak keberatan, berbagi kasur. Lumayan juga gue punya bantal tambahan," ujar Gaven sembari menatap Adel jahil. "Meski gue sedikit ragu kalau lo ada dagingnya di bagian-bagian tertentu."

"Bangs—"

"Jangan bicara sembarangan! Lo pengin ditolak jadi mantu? Terus ntar dijodohin sama aki-aki temen bapak lo?"

"Ya lagian elo, bisa-bisanya—"

"Oke, tanggal sudah ditentukan. Kalian akan menikah sebulan lagi, dengan persiapan yang semoga saja cukup dan matang. Akad dan resepsi akan diselenggarakan secara sederhana, dengan mengundang tamu tertentu yang lumayan dekat dengan kedua belah pihak keluarga. Kalian ada permintaan?" Pak Jashid berbicara sembari menatap calon pengantin yang sibuk dengan  pembahasannya masing-masing dan tidak mengusulkan apa pun sejak tadi.

"Maaf, sederhana?" Gaven angkat bicara.

"Ya? Kamu keberatan dengan itu?"

"Ya jelas, Om. Saya ingin pernikahan yang megah seperti punya selebriti walau nggak sampai ditayangkan di televisi. Setidaknya gedung yang dipakai untuk resepsi sama dengan milik kami."

"Kayak kamu punya budget aja, Gav, pengin menikah besar-besaran kayak gitu." Bunda Gaven yang duduk tepat di samping anaknya itu memukul pelan.

"Lah, namanya juga dijodohin, Bun. Harusnya sih aku sama Adel nggak perlu mikirin budget. Ya nggak, Del?" Gaven menyeringai jahil pada calon istri, yang nampaknya punya pemikiran yang sama.

Just Let's Do ItWhere stories live. Discover now