CLIR | 5

8.4K 764 31
                                    

Kosong lagi. Hanya itu yang aku dapat saat membuka mata dan sebagian tempat tidur tiada yang menempati.

Aku bangun dan duduk di pinggir ranjang mengembalikan semua kesadaran. Kebingungan mencari protes apalagi agar Mas Satya mau mendengar saranku, tetapi dia tetap kekeuh dengan pendiriannya itu.

Sekarang, aku memberi diri sendiri pilihan: diam lalu pergi; atau menunjukkan status pernikahan kami ke publik sendiri—tanpa persetujuan Mas Satya.

Aku menuju kamar mandi. Mencuci wajah agar kembali segar. Saat mengamati bayangan di cermin, aku terfokus pada tiga jerawat di kening. Tiga gangguan ini harus segera disingkirkan agar—ah, ya, kalau aku mau pergi, kenapa harus memikirkan pendapat Mas Satya mengenai penampilanku?

Tapi, kalau aku pergi, rasanya agak segan. Pria itu terlalu baik. Aku bahkan merasa belum bisa membalas kebaikannya dulu yang menyelamatkan keluargaku dari rasa malu saat Satria pergi di hari pernikahan. Apalagi, aku juga sudah sangat mencintainya.

Mengenai pilihan kedua, sejujurnya aku sedikit takut jika yang dikhawatirkan Mas Satya benar-benar terjadi. Bagaimana jika memang benar ada sejumlah fans yang akan menyakitiku jika tahu bahwa Mas Satya sudah menikah?

Wajah kubilas lagi dengan air dingin. Lalu mandi untuk menenangkan pikiran. Setelah itu, keluar untuk bersiap berangkat kerja.

***

Sebelum keluar kamar, sekali lagi aku melirik wajah di cermin. Siap.

Saat menuruni anakan tangga, perutku bergemuruh. Sangat lapar. Sementara sekarang aku terlalu malas membuat sarapan, meski waktu masih terlalu pagi. Mungkin, cari makan saja di jalan nanti.

Melewati ruang tamu, kakiku secara refleks berhenti ketika melihat kain warna hitam di salah satu sofa panjang. Mendekat dengan ragu, aku mendapati Mas Satya tidur pulas di atasnya.

Tidak perlu peduli, pikirku. Toh selama ini dia juga tidak acuh padaku. Dengan mantap, aku menegaskan langkah keluar rumah.

Tapi ... aku tidak bisa meninggalkan dia begitu saja. Kakiku sulit bergerak di depan pintu utama karena terlalu kasihan pada Mas Satya.

Dari semalam, dia lapar. Maag-nya bisa kambuh. Apa dia tidak pegal saat bangun nanti, karena tidur di tempat sempit begitu? Tapi, dia sendiri yang memilih tidur di sofa. Aku tidak pernah melarangnya ke kamar.

Aish! Suara-suara itu mengacaukan fokus. Seharusnya, aku tetap ke garasi mengambil motor, tetapi kaki berkhianat dan malah berbelok ke dapur.

Tas aku letakkan secara asal. Long cardigan warna hitam aku lepaskan sehingga menyisakan kaus khas karyawan toko. Pertama, memasak nasi. Karena yang semalam tidak bisa aku sodorkan pada Mas Satya lagi. Sambil menunggu nasi matang, aku membuat sayur kuah bening, dan juga ayam kecap manis.

"Kamu udah mau berangkat kerja?"

Suara bariton itu membekukan pergerakan tanganku. Setelah menenangkan diri, aku tersenyum tipis beberapa detik tanpa berbalik.

"He'em."

Sayur sudah masak. Aku pindahkan ke mangkok, lalu membawanya ke meja makan. Itu harus melalui Mas Satya, jadi aku terus menatap pada mangkuk agar tidak melirik sedikitpun padanya.

Beruntung, aku bisa melaluinya tanpa halangan. Namun, saat akan mengambil piring, dia mencekal lenganku. Aku terus menghindari kontak mata dengannya.

"Masih marah sama kejadian semalam?"

Aku bungkam, sembari mencoba melepaskan tangan dari cengkeramannya. Berhasil, tetapi saat akan pergi, dia memegang kedua pipiku dengan kuat. Tidak merasa bersalah sama sekali, Mas Satya malah menaik-turunkan pipiku seenaknya. Kemudian mengecup puncak hidungku sekilas.

Catatan Luka Istri RahasiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang