CLIR | 1

16.6K 1.2K 31
                                    

“Sayang ....”

Embusan napas hangat menyentuh leher tatkala seruan lembut itu menyapa telinga. Aku memaksakan tersenyum pada sosok yang belum terlihat wujudnya karena mata ini belum terbuka.

“Sholat subuh, yuk!”

Tubuhku terasa berat untuk mengikuti ajakan Mas Satya. Aku memutar posisi berbaring menjadi berhadapan dengan Mas Satya, lalu menyembunyikan wajah di dada bidangnya yang telanjang.

“Sayang ....”

Aku terkekeh mendengar panggilan Mas Satya diiringi dengan cekikikan geli. Memang, aku sengaja menggesek dadanya dengan hidung, lalu tertawa.

“Sudah main-mainnya. Sholat subuh dulu, yuk?” pinta Mas Satya yang ke sekian kalinya.

“Bentar, Mas. Capek ....” Aku mengiba, dan memeluk punggungnya. Menghirup aroma khas dari Mas Satya.

“Maaf ....”

Ucapan memelas Mas Satya yang entah ke berapa kalinya sungguh menggelitik telinga. Aku sampai bosan mendengarnya.

“Aku capek dengerin ucapan ‘maaf', Mas. Enek dengernya tau, nggak?” Aku mengangkat wajah dan membuka mata, menemukan senyuman manis Mas Satya yang selalu menjadi candu. Aku mengecupnya ringan.

“Kamu kan capek gara-gara Mas juga. Mas sudah bikin kamu nunggu, eh malah bikin kamu capek juga di ranjang.” Mas Satya membalas perlakuanku tadi dengan hal lebih. Jika aku hanya mengecup, dia malah melumat. Lembut, menghanyutkan. “Setelah sholat subuh nanti. Kalau kamu mau tidur, silakan. Kalau perlu, nggak usah kerja dulu. Cuti sekali-kali nggak papa, Sayang.”

Aku menggeleng. Lalu menelusupkan wajah di dada Mas Satya lagi.

“Nggak. Aku suka kerja.”

Karena dengan bekerja, aku bisa lupa dengan semua sakit di dalam hati.

“Okey. Tapi jangan dipaksakan. Kesehatan kamu jauh lebih penting!”

Mas Satya memegang wajahku, menengadahkannya. Mengecup lagi. Sekali ... dua kali ... berkali-kali ...  sampai aku kegelian. Apalagi saat bibirnya sudah menyentuh pipi, turun ke dagu, sampai ke leher.

“Udah, Mas. Udah ....” Aku terkikik geli, sembari mencoba menahan kepalanya.

“Yaudah bangun, sholat!” pintanya, dengan nada tegas.

Dengan malas, aku bangun, mengambil posisi duduk. Selimut juga aku tarik hingga dada agar tidak terlalu mengekspos bagian tubuh.

“Mandi duluan, atau bareng, Sayang?”
Mas Satya ikut bangun, lalu mencium puncak kepalaku.

“Duluan aja, Mas. Kan Mas mau ke masjid.”

“Istri Mas ini perhatian banget ....” Mas Satya menarik hidung minimalis milikku, sampai aku meringis sakit. Dia tertawa, lalu mengecup bekas tarikannya.

Mas Satya bergerak cepat. Mengambil celana pendeknya, dan berjalan ke kamar mandi sambil bersenandung ringan. Sepertinya sangat bahagia, berbanding terbalik dengan apa yang kurasa.

Gelisah.

Jujur, rasa takut kehilangan sering menghantui. Apalagi setelah salat subuh nantinya, Mas Satya akan langsung ke tempatnya bekerja. Pulang, entah jam berapa.

Mas Satya selalu mengatakan, bahwa ini demi kebaikanku. Ada banyak fans Mas Satya, tetapi tidak bisa dijamin bahwa semuanya baik. Jika hubungan kami disebarkan, keadaanku katanya akan berada dalam bahaya.

Sampai sekarang, aku mencoba bertahan. Entah sampai kapan. Tapi aku tetap selalu berharap, nantinya, Mas Satya akan menjadi milikku. Seutuhnya.

***

Catatan Luka Istri RahasiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang