CLIR | 8

7.5K 701 8
                                    

Sebuah cup berisi kopi mendarat di meja hadapanku, mengalihkan fokus yang sebelumnya hanya tertuju pada ponsel. Aku langsung membalik HP lalu tersenyum pada Zia yang tanpa aba-aba langsung duduk di sampingku.

"Mau telpon siapa itu?" tanya Zia dengan mata melotot mengarah ke smartphone milikku.

"Bukan siapa-siapa," jawabku ragu. Sejak setengah jam tadi, aku mau menelpon Mas Satya. Menanyakan apa yang dia lakukan sekarang. Bukan untuk membatasi, mengekang atau semacamnya, apalagi over Possessive. Hanya ingin menjalankan kesepakatan tadi pagi—sama-sama terbuka. Namun, aku ragu, takut mengganggu, meski sebelumnya Mas Satya memberitahukan jadwalnya tadi pagi.

"Satria?" tebak Zia.

Aku menggeram kecil. "Bukan ih! Jangan bahas—"

"Assalamualaikum."

Aku langsung berdiri saat mendengar pelanggan datang. Namun, senyum ramah yang aku persiapkan berubah menjadi kaku saat mendapati Amiralah pengucap salam tadi.

"Wa alaikumussalam, Mbak." Aku mengembalikan sikap ramah yang semula hilang karena terkejut tadi. Agak grogi juga karena Zia sempat sebut-sebut nama Satria tadi, semoga Amira tidak dengar.

"Kamu kenal, Din?" Zia ikut berdiri, berbisik padaku.

"Oh, ini istrinya Mas Satria, Amira. Mbak, ini temen aku, Zia." Aku memaksa menambahkan embel-embel 'mas' agar terkesan lebih ramah pada iparku ini.

"Halo ...." Amira mengulurkan tangan dengan senyum hangatnya. Wanita ini memang benar-benar baik. Satria sangat beruntung memilikinya.

Melirik Zia, gadis itu tampak kikuk seraya membalas jabat tangan Amira.

"Ken-Zia." Zia menjawab gugup.

"Istrinya Satria?" bisik Zia setelah acara perkenalan selesai. "Kamu kenapa nggak bilang kalau Satria udah nikah?"

"Kamu nggak nanya." Aku balas mencibir. Beralih pada Amira, aku bingung dengan kehadirannya siang ini. "Mbak butuh apa? Bunga? Buat Mas Satria?"

"Kamu belum masuk jam istirahat?" tanya Amira.

"Selama nggak ada pembeli, itu jam istirahat kita, Mbak," jawabku.

"Aku mau ngobrol dikit sama kamu, bisa?" Rautnya mulai berubah sedikit serius, membuatku ikut gugup. "Berdua. Bisa?"

Zia langsung membulatkan mulutnya. "Oh ... aku juga tadi harusnya urus bunga di belakang. Permisi ya." Dia langsung menghilang dari pandangan.

Aku memberikan kursi yang ditempati Zia tadi. Amira mengucapkan terimakasih dengan nada lirih.

"Mbak mau minum apa? Aku beliin? Di depan jualan banyak macam minuman," kataku seraya menunjuk kios kecil tepat di depan toko bunga.

"Nggak usah. Aku cuman bentar kok." Amira mengusap perutnya yang mulai terlihat besar. Aku turut bahagia dengan perkembangan pernikahan mereka yang lebih baik dari aku dan Mas Satya.

"Mbak ada apa datang ke sini? Kalau perlu apa-apa kan, bisa telpon aku, biar aku yang datang ke Mbak Amira. Mbak lagi hamil loh, nggak boleh kecapean," tuturku khawatir. Ngilu aja gitu kalau lihat perempuan hamil melakukan sesuatu yang terbilang berat.

"Kamu mirip Mas Satria khawatirnya." Amira tertawa ringan, berbeda denganku yang langsung kaku. Kenapa harus disamakan dengan pria itu? Yakin dan percaya, semua orang juga akan mengkhawatirkan perempuan hamil yang bepergian jauh.

"Kalau kamu istirahat, bisa bantu aku, nggak?" Amira melanjutkan, dengan pertanyaan.

"Bantu apa, Mbak?" Perasaan, aku tidak berguna amat.

Catatan Luka Istri RahasiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang