CLIR | 3

12.1K 1K 54
                                    

Dengan menggunakan alasan 'Mas Satya membutuhkanku segera', Bunda dan Amira mengizinkan aku pulang lebih dahulu. Mereka sempat menanyakan keberadaan Satria, tetapi aku enggan menjawab.

Perasaan dongkol memenuhi hatiku karena sikap Satria barusan. Seakan-akan, aku wanita murahan yang dengan mudah menerima lelaki brengsek seperti Satria. Tidak akan!

Sedetik setelah aku menginjak area depan mall, sebuah mobil yang sangat aku hapal berhenti. Tidak perlu membuang banyak waktu, aku segera naik sambil menghentakkan flat shoes berulang kali di aspal.

"Kan Mas udah bilang, kamu nggak usah pergi," ucap Mas Satya sesaat setelah menjalankan mobil ini.

"Aku kan mau menghargai Bunda! Emang kamu, nggak mau ketemu Bunda?" Aku balas sengit.

Astaga, nyeri di perut mulai terasa kuat. Aku meremasnya dengan kuat, mencoba mengalihkan rasa sakit.

"Kok balas sewot sih, Din?"

"Terus apa?"

"Kamu kenapa juga bisa sama Satria tanpa Bunda atau Amira? Mau berduaan?"

"Itu bukan keinginan aku! Aku cuman ke toilet, mau telpon kamu! Kamu lama banget angkatnya!" Dengkusan kesal aku keluarkan. "Oh iya, ya. Kan lagi sama si jamu datang bulan itu! Pastinya nggak ingat sama istri sendiri!"

"Medina ...." Mas Satya menggeram. Lalu aku terdiam. Kesal.

***

Putar kanan, nyeri. Putar kiri, sakit. Telentang atau tengkurap pun sama saja. Aku sangat menderita saat tamu bulanan ini datang. Sementara tidak ada yang bisa dimintai tolong. Setelah Mas Satya mengantarku ke rumah, dia kembali lagi ke tempat kerja.

Aku menggigit bibir kuat-kuat, mengurangi rasa sakit di perut dengan menciptakan sakit yang baru. Sulit. Astaga .... Meski terus merintih, tidak ada juga gunanya.

Derit pintu terdengar. Aku memaksa untuk melirik, dan menemukan Mas Satya berlutut di lantai dekat aku berbaring.

"Kok di sini, Sayang? Naik ke tempat tidur, yuk?" ajak Mas Satya.

"Nggak mau!" tolakku, tegas.

"Kenapa? Di sini dingin."

"Nggak mau!"

"Sayang ...."

Aku tetap tidak peduli dengan panggilan Mas Satya. Tubuh kembali diputar menghadap ke kiri untuk menghindari Mas Satya.

"Mas antar ke kamar mandi?"

Aku terpekik. Tanpa disangka, Mas Satya menggendongku dalam sekali gerakan.

"Mas!"

Mas Satya tidak acuh, mantap membawaku ke kamar mandi. Dia mendudukkanku, lalu menyerahkan sebuah kantong plastik berwarna putih dengan logo salah satu minimarket dekat sini.

Tanganku yang gemetar karena rasa sakit mulai membukanya, menemukan beberapa pak pembalut juga jamu datang bulan.

"Mau Mas gantiin?" Kali ini, Mas Satya berbicara dengan nada menggoda.

Aku mendesis. Dengan tenaga lemah, aku mendorong Mas Satya keluar. Dia pasrah.

Hanya butuh beberapa menit aku di kamar mandi, kemudian keluar dari sana dengan menggunakan bathrobe. Lantai tempatku berbaring tampak basah, mengkilap. Sepertinya, noda datang bulan tembus ke lantai dan Mas Satya mengepelnya. Opiniku semakin kuat saat menemukan gagang pel dekat pintu.

"Istirahat sini, Sayang," panggil Mas Satya yang berbaring telentang di atas ranjang seraya menepuk sisi kosong di dekatnya. Saat mengucapkan itu, dia tersenyum tipis, aku balas dengan hal sama.

Catatan Luka Istri RahasiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang