❗L i m a❗

109K 11K 275
                                    

"Saya rasa kamu bisa merevisi kesalahan-kesalahan yang sudah kita diskusikan tadi selama tiga hari," ucap Pak Aarav sambil menatapku dengan penuh keyakinan.

Aku tersenyum miris. Tiga hari dia bilang. Kalau revisi hanya sedikit, aku mampu, tapi ini dia meminta aku merevisi lebih dari setengahnya. Mau aku mengerjakannya sampai begadang pun tidak akan cukup hanya dengan waktu tiga hari.

"Saya minta penambahan waktu, Pak. Saya enggak sanggup kalau cuma diberikan waktu tiga hari," ucapku berterus terang. Lebih baik aku bilang tidak sanggup dari awal daripada nanti saat kami kembali bimbingan revisian kerangka penelitianku belum selesai.

"Katanya kamu ingin lulus pada semester ini," ucapnya mengulang kata-kataku tempo lalu. Aku menahan napas sebentar, bisa-bisanya dia membalikkan ucapanku, "kalau ingin cepat-cepat lulus, ya usahanya juga harus maksimal."

"Kasih saya penambahan waktu sedikit lagi," ucapku bernegosiasi.

Pak Aarav berdeham lalu dia memainkan pulpen di tangannya. "Empat hari ya? Bisa kan?" tanyanya.

Tolong. Ini dosen sungguh menguji kesabaranku. Masa penambahan waktu hanya diberikan satu hari.

"Baik, Pak. Saya usahakan ya."

"Iya. Ya sudah. Kamu boleh keluar."

Aku mengangguk, memasukan seluruh barangku ke dalam tas lalu bangun dari dudukku. "Kalau begitu saya pamit, Pak. Terima kasih."

"Iya. Lain kali tidak perlu lari-larian dari rumah sampai ke kampus."

Aku berpura-pura tidak mendengar. Dasar aneh. Dia kan tadi katanya baru bangun, masa dia tahu aku lari-larian dari rumah ke sini.

Aneh. Seram. Menyebalkan. Tidak tepat waktu.

Baru seminggu aku mengenalnya, tapi aku sudah mampu menjabarkan sifat-sifat buruknya. Kalau aku tidak membutuhkannya, sudah pasti aku akan menjaga jarak dengan manusia seperti ini.

Sayangnya, aku membutuhkan pria menyeramkan ini.

Aku menyeret langkahku keluar dari gedung kampus. Aku tidak ada niat ke mana-mana lagi selain pulang ke rumah. Teman-temanku pada hari Minggu tidak mungkin ada yang ke kampus sehingga aku tidak bisa berkumpul dengan mereka.

Langkahku tiba-tiba terhenti begitu suara klakson mobil mengagetkanku. Aku menoleh ke belakang dan terbukalah kaca mobil yang langsung menampilkan wajah Pak Aarav di sana. "Langsung pulang?" tanyanya yang aku jawab dengan anggukan kepala.

"Rumahnya dekat mana?" tanyanya lagi.

"Jalan Sirsak blok B, Pak."

Dia mengangguk pelan. "Kebetulan saya lewat situ. Masuk. Saya antarkan," ucapnya datar, tapi mampu membuat kedua bola mataku membulat sempurna.

Pertama kalinya loh ada dosen mau mengantar mahasiswinya pulang.

Lagi baik atau lagi modus?

Tapi pria modelan Pak Aarav mana mungkin dia modus, apalagi aku yang menjadi sasarannya. Rasanya tidak mungkin. Mungkin saja saat ini dia sedang baik hati karena merasa bersalah atas keterlambatannya tadi pagi.

"Masuk. Kamu dengar tidak?"

"Eh, sebentar, Pak. Saya takut merepotkan. Saya jalan kaki aja bisa kok."

"Kamu menolak niat baik saya?" tanyanya.

Aku tidak kuat dengan tatapan tajam yang dia berikan. Duh. Menerima ajakkannya aku merasa tidak enak, menolak pun rasanya tidak enak juga. Jadi serba salah.

"Masuk, Dhara."

Dan akhirnya aku menuruti perintahnya.

Satu mobil dengan dosen yang menyeramkan cukup membuat tubuhku panas dingin.

Aku takut, tapi merasa aneh juga.





Bersambung

Mr. Scary and MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang