❗T i g a b e l a s❗

93.3K 10.3K 1.2K
                                    

"Saya minta pengertian dari Bapak. Saya sudah menceritakan tentang bagaimana kondisi saya saat ini. Semoga Bapak paham," ucapku setelah memberitahukan tentang pekerjaanku dan waktu bimbingan yang akan kami buat nanti.

Pak Aarav berdeham sebentar lantas netra tajamnya menatapku lekat. "Kerjanya dari senin sampai jumat? Pulangnya jam tujuh malam?" tanyanya yang langsung aku angguki.

"Semoga kita bisa samakan jadwal bimbingan kita, Pak."

Pak Aarav berdeham lagi. "Kamu mau bimbingannya pada hari apa?" tanyanya.

Aku berpikir sejenak. Aku inginnya pada hari libur, tetapi takutnya menganggu waktu libur Pak Aarav. "Senin, Rabu, Jumat," ucapku setelah berpikir beberapa menit.

Pak Aarav menyeruput jus mangganya lantas mengangguk. "Baik, kita bimbingan pada tiga hari itu setelah kamu pulang kerja ya?" Aku mengangguk pelan, "kirim alamat kerjamu, nanti saya jemput."

Tuh, kan. Mulai lagi anehnya.

Kenapa harus dijemput-jemput sih. Aku jadi penasaran, apa semua mahasiswi yang dibimbing olehnya mendapatkan perlakuan yang serupa. Demi menjawab rasa penasaranku, lebih baik aku menanyakannya langsung.

"Bapak," aku menegakkan tubuhku, "apa semua mahasiswa perempuan yang Bapak bimbing, mendapatkan perlakuan yang serupa?" tanyaku cepat.

Kedua mata Pak Aarav membulat sempurna. Tampaknya dia terlalu kaget dengan pertanyaanku. Namun, tidak lama kemudian wajahnya kembali datar dan tajam. "Enggak. Enggak ada mahasiswa perempuan yang saya bimbing. Kecuali kamu."

"Oh, karena saya perempuan jadi Bapak baik seperti ini?"

"Bukan. Karena kamu Dhara."

Aku enggak paham.

"Ke—"

"Jangan banyak bertanya hal-hal yang tidak berhubungan dengan perkuliahan," dia menggeser gelas beling ke sampingnya, "mana kerangka penelitian kamu? Ada yang masih perlu dibahas?" tanyanya.

"Oh, iya. Ada, Pak." Aku buru-buru mengambil kerangka penelitianku lalu diskusi kami berjalan beberapa menit selanjutnya.

"Aarav!" Panggil seseorang dari arah belakang. Aku menoleh ke arah sumber suara dan terlihatlah seorang perempuan yang aku tebak umurnya hampir sama dengan Pak Aarav, perempuan itu menghampiri kami dan langsung duduk begitu saja di kursi sebelahku.

"Siapa?" tanya perempuan itu sambil melirik ke arahku.

"Mahasiswi gue. Kita lagi bimbingan."

"Oh, tumben banget lo mau ngasih bimbingan sama mahasiswi. Biasanya dekat-dekat aja ga mau," ucap perempuan itu. Dia sebenarnya siapa sih. Datang-datang aneh begitu. Aku jadi penasaran.

Seakan bisa membaca pikiran, perempuan itu menoleh lalu mengulurkan tangannya kepadaku. Aku tersenyum tipis lantas membalas uluran tangannya. "Gue Selina. Sepupunya Aarav," dia menunjukkan minumannya, "habis beli ini, kebetulan ketemu Aarav."

"Oh, iya. Aku Dhara. Mahasiswi bimbingannya Pak Aarav."

Selina dan Pak Aarav seketika langsung berpandangan. Beberapa detik kemudian Selina tersenyum lebar dan dia bangun dari duduknya. "Gue duluan ya. Maaf menganggu. Aarav, semoga sukses," ucapnya lalu berlenggang pergi begitu saja.

Pak Aarav menoleh ke arah jam dinding, aku juga mengikuti arah matanya. Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. "Kita sudahi bimbingan hari ini." Aku mengangguk lalu memasukan seluruh barang-barangku.

Setelah itu kami berdua bergegas pergi dari cafe ini. Aku mengantar Pak Aarav sampai parkiran mobil. "Dhara," ucapnya saat kami sudah berada di depan mobilnya, "saya mau tambahan bimbingan di hari Sabtu malam," ucapnya tiba-tiba.

"Malam minggu?"

"Iya."

"Setiap malam Minggu kita bimbingan, Pak?" Pak Aarav mengangguk cepat.

Aku terkekeh seketika. Dia ada-ada saja. Emangnya dirinya tidak punya pasangan apa ya, sampai malam minggunya selalu ingin dia habiskan denganku. Walaupun seram, Pak Aarav adalah pria yang tampan dan ditambah lagi dengan otaknya yang cemerlang, masa iya tidak punya pasangan.

"Jangan bercanda, Pak. Enggak cocok."

"Apa saya terlihat seperti orang yang sedang bercanda, Dhara?" tanyanya. Aku menatap kedua matanya secara bergantian. Benar, aku menemukan keseriusan di sana.

"Tapi masa iya. Malam mingguan ngurusin skripsi saya terus. Emangnya Bapak enggak punya istri apa? Atau pacar gitu? Biasanya kan malam minggu dihabiskan oleh pasangan."

"Kamu mau ga?"

Aku mengerutkan kening. "Mau apa?" tanyaku tidak paham.

"Jadi istri saya? Atau pacar dulu gapapa," ucapnya dengan santai.

Eh? Apaan sih.

Aneh banget.

Tapi bikin deg-deg an.




Bersambung

Mr. Scary and MeDonde viven las historias. Descúbrelo ahora