❗T i g a p u l u h s a t u❗

66.6K 6.5K 72
                                    

"Jangan datang," ucap Pak Aarav saat kami berdua sudah berada di dalam mobil, "reuni SMP, enggak penting."

Aku membuang pandanganku ke arah luar jendela. "Enggak penting gimana? Saya kan mau ketemu sama teman-teman SMP," ucapku sebal.

"Enggak usah ketemu. Video call aja sama anggota grup kamu itu, udah masuk kan ke grupnya. Daripada kamu membuang-buang waktu untuk ketemuan, mendingan kamu persiapkan diri kamu untuk sidang proposal nanti."

Aku menarik napasku berkali-kali. Aku tidak menyangka kalau berhubungan dengannya ruang gerakku jadi terbatas begini. "Bilang aja Bapak enggak mau saya ketemu sama teman-teman cowok SMP. Bilang aja kalau Bapak cemburu," ucapku dengan berani. Emosiku sudah tidak bisa tertahan lagi, mendingan langsung keluarin aja kata-kata itu.

"Iya, saya cemburu."

"Kita udah sepakat untuk saling menjaga perasaan satu sama lain. Seharusnya Bapak percaya sama saya," ucapku lagi.

"Saya percaya sama kamu, tapi saya enggak percaya dengan teman-temanmu," ucapnya.

Aku mengigit bibir dalamku pelan. Ingin rasanya menangis. Ibuku saja tidak pernah melarang-larangku untuk bertemu dengan teman. Aku selalu dibebaskan selama yang aku lakukan kegiatan yang positif.

Tanpa aku sadari sebuah isak tangisku terdengar pelan. Kedua bahuku bergetar. Aku tidak bisa menahan tangisku.

Pak Aarav tiba-tiba memberhentikan mobilnya. Dia mengambil tissue lalu menarikku tanganku pelan. Aku sudah berusaha tidak memerdulikannya sampai akhirnya pria itu mengusap kepalaku dengan lembut.

Aku menoleh ke arahnya dan seketika air mataku terjatuh begitu saja. Tangan Pak Aarav bergerak untuk mengusapnya. "Kaya anak kecil kamu. Dilarang main langsung nangis," ucapnya datar.

Aku mengerucutkan bibirku lalu menatapnya dengan sebal. "Saya kan udah bertahun-tahun enggak ketemuan sama sahabat saya. Baru kali ini dapat kesempatan untuk ketemu lagi. Masa enggak boleh datang."

Pak Aarav tersenyum kecil lantas dia mencubit hidungku pelan. "Kamu lebih suka ke pantai atau ke gunung?" tanyanya tiba-tiba. Aku memandangnya tanpa merespons apapun. Pertanyaannya aneh, masa tiba-tiba nanya begitu.

"Saya lagi nanya kamu, Dhara."

Iya, tahu. Di dalam mobil ini kan memang cuma ada aku. Hanya saja, aku lagi malas untuk meresponsnya. Aku lagi kesal.

"Jawab," ucapnya lagi.

"Kenapa sih malah nanya-nanya begitu. Kita kan lagi bahas saya yang mau ke acara reuni SMP, kegiatannya juga ada di sekolah SMP saya dulu. Kegiatannya enggak dilaksanain di gunung atau di pantai," ucapku panjang lebar.

"Jawab aja."

Aku menghembuskan napas kasar. "Gunung," jawabku cepat.

"Sukanya di atas gunung atau di air terjun gitu?" tanyanya lagi.

Aku berpikir sebentar sebelum menjawab. "Saya suka suasananya. Dingin gitu. Di atas gunung atau di bagian air terjunnya juga suka."

Pak Aarav tersenyum tipis lantas dia kembali mengendarai mobilnya. "Besok ya," ucapnya ditengah-tengah perjalanan.

"Besok?"

"Kita ke Curug Bogor. Nanti malam saya izin sama Ibu kamu. Besok kan juga hari Minggu, adik-adik kamu libur. Jadinya saya bisa jemput kamu pagi-pagi."

Eh, aneh-aneh aja emang dosen satu ini.

"Mau ngapain? Kan enggak penting jalan-jalan begitu. Lebih baik saya persiapkan diri aja buat sidang proposal nanti. Mempelajari teori-teori yang berhubungan dengan penelitian saya. Dipenelitian saya kan enggak ada riset yang harus dilakukan di Curug," ucapku membalikkan ucapannya.

"Penting. Refreshing sebelum sidang."

Aku tersenyum kecut. Emang dia hebat sekali ya untuk mencari alasan.

"Saya kan ketemu teman juga refreshing, Pak." Pak Aarav hanya terdiam, tidak menanggapi ucapanku. Dia sepertinya pura-pura tidak mendengar.






Bersambung

Mr. Scary and MeOnde histórias criam vida. Descubra agora