❗L i m a p u l u h s a t u❗

53.8K 4.7K 138
                                    

"Siapa namamu?" tanyanya dengan suara yang menusuk.

Aku meneguk ludah sebelum membalasnya. "Dhara, Bu," jawabku pelan.

Pak Aarav mengeratkan genggamannya di tanganku lantas membawaku untuk duduk di hadapan Maminya, sedangkan pria itu duduk tepat di sampingku.

Perempuan paruh baya itu berbincang singkat dengan pria di sampingnya setelah itu pria paruh baya itu pergi dari ruangan ini. Menyisakan aku, Pak Aarav, dan Maminya.

Maminya Pak Aarav duduk dihadapanku dengan mata tajamnya tidak teralihkan dariku. Cukup lama tatapan intens dia berikan, sampai akhirnya tatapan mata itu bergantian memandang Pak Aarav. "Kamu mau menikah dengan anak di bawah umur seperti ini?" tanyanya.

Anak di bawah umur? Umurku sudah 22 tahun.

Apa penampilanku malam ini mencerminkan kalau aku masih anak-anak?

Aku harus tanya Caca nanti.

"Dia mahasiswi Aarav, Mih. Umurnya sudah 22 tahun," jawab Pak Aarav sambil menatap lurus ke Maminya.

Maminya berdeham kemudian kembali menatapku. "Ayahmu bekerja di mana?" tanyanya.

"Ayah saya sudah meninggal, Bu."

"Oh. Kalau Ibumu bekerja di mana?"

Aku memandang Pak Aarav yang juga sedang memandangku. Sedetik kemudian aku kembali menatap perempuan paruh baya di hadapanku. "Ibu saya bekerja sebagai guru, tetapi sudah beberapa bulan ini dia sakit sehingga dia sudah tidak bisa bekerja lagi," ucapku jujur.

Senyum miring terbentuk di bibirnya. "Kamu punya kakak?" tanyanya lagi.

Aku menggeleng. "Saya enggak punya kakak. Saya punya dua adik."

"Oh, tulang punggung keluarga," ucapnya menyimpulkan. Aku mengangguk membenarkan.

"Sebanyak apa Aarav membantu keluargamu?" pertanyaan yang samasekali tidak aku sangka. Dengan pertanyaan itu aku merasa direndahkan.

Aku terdiam sambil menunduk. Berusaha menguatkan diriku dan juga mencari jawaban yang tepat. Seakan mengerti dengan perubahan suasana hatiku, Pak Aarav mengelus tanganku pelan.

"Mami. Enggak seharusnya nanya begitu," ucap pria itu membelaku.

"Kenapa? Mami cuma ingin tahu perempuan pilihanmu perempuan yang matre atau tidak." Suaranya meninggi. Aku semakin menundukkan kepalaku.

Mentang-mentang latar belakang keluargaku bukan keluarga yang berada, dia langsung mencurigaiku sebagai perempuan yang matre.

Aku tidak menampik, selama ini memang banyak sekali bantuan berupa uang, tenaga, dan waktu yang dicurahkan Pak Aarav untuk keluargaku. Aku sebenarnya tidak enak dan beberapa kali menolaknya, tetapi Pak Aarav memaksaku untuk menerima pemberiannya.

"Kamu saat ini sudah bekerja atau belum?" tanya perempuan paruh baya itu.

Aku bingung ingin menjawab apa. Tidak mungkin juga aku bilang, pekerjaanku sebagai asisten pribadi Pak Aarav. Bisa-bisanya dia tidak percaya dan semakin mencemoohku.

"Belum, Bu. Saya sedang berfokus dengan skripsi saya," aku menatapnya sambil berusaha tersenyum tipis, "nanti setelah saya lulus kuliah, baru saya akan mencari pekerjaan."

"Ya, memang seharusnya begitu. Habis kuliah jangan langsung menikah, cari kerja dulu. Masa iya kamu dan keluargamu mau menumpang hidup dengan anak saya."

Mendengar itu rasanya ribuan pisau langsung menusuk tepat di hatiku.

Sakit sekali.

Aku merasa benar-benar direndahkan.

Bersambung ....

Mr. Scary and MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang