9. Anak Mushola

12.3K 2.2K 61
                                    

Absen vote dulu, sebelum membaca.
Apakabar semua? Semoga selalu sehat ya. Aamiin.
Kangen nggak sama Rara?

----------------

Perlahan ia menjauh. 
Perlahan ia tak acuh. 
Perlahan ia mengembalikan segalanya ke awal. 
Ia membuat segalanya berubah menjadi terasa lebih ... candu? Rindu? 

"Aku nggak mau temenan sama Rara. Dia itu aneh."

Tante Liana menghela nafas panjang kala bocah 11 tahun dengan botol minum bertali yang ia kalungkan di dada, merajuk. Aku hanya berdiri dengan tatapan memelas di depan pintu mobil, menunggu Pak Wilman -sopir keluarga Om Pram- membukakan pintu untuk sang tuan muda. Kala itu, Mama dan Papa sedang menitipkanku dan Kak Cantika sementara di rumah Tante Liana selama beliau berdua menghadiri seminar di Amsterdam. 1 minggu. 7 hari pendek yang terasa menyiksa. Mereka adalah orang-orang baik, kecuali Baron. Anak itu malu berteman denganku. 

"Pokoknya nggak mau, Ma! Radit, Citra, Putri itu suka ngeledekin Baron pacaran sama Rara. Pokoknya semuanya yang ada di kelas! Apalagi sekarang satu mobil. Dia suruh naik bajaj aja. Atau angkot. Atau Mama pesanin taksi aja! Baron pokoknya nggak mau bareng!!"

Aku maju dengan beraninya. Statusku memang hanya anak titipan di rumah tuan muda. Mengalah. Itu yang diajarkan kedua orang tuaku. Kutarik-tarik baju terusan Tante Liana. 

"Tante, Rara naik taksi aja. Tapi Rara takut kasih ongkosnya. Jadi tolong nanti Tante yang bilang sama pak sopirnya ya?"

"Nah, bagus. Cepetan Ma. Pesenin!" balasnya dengan ekspresi mirip seorang saudara tiri jahat yang tersenyum penuh kemenangan.

"Aduh, Rara. Nggak! Pokoknya harus semobil. Baron! Kalo kamu nggak mau semobil, mending kamu yang naik taksi aja!"

"Mama ... !" rengeknya lagi yang akhirnya terpaksa masuk ke bangku depan penumpangLantas membanting pintu mobil. Keras sekali ... hingga membuat semua berjenggit. 

Baron memang nggak suka denganku sejak awal. Bukan lantaran ada dendam di antara kami. Ia hanya terpengaruh teman lain. Teman yang menjauh ketika aku mengajak mereka bermain. Selain mereka nggak mempunyai minat bermain catur denganku, mereka selalu memarahi jika ternyata aku menjadi pemenang dalam segala permainan lain yang kami mainkan. Monopoli, teka-teki silang, petak umpet, tebak kata, dan banyak lagi permainan yang telah kupelajari taktiknya. 

Baron takut jika dekat-dekat denganku akan merusak eksistensinya sebagai anak lelaki dengan segudang aura kedewasaannya. Ia nggak tahan dengan celoteh bocah 4 SD yang terus meledek menjodohkan kami. Haha ... dewasa? Aku mendadak tertawa sendiri memikirkannya. Sebentar saja, lantas kututup wajahku dengan kain mukena jika nggak ingin orang menganggapku gila di mushola ini. 

Perlahan namun pasti, bocah lelaki itu menjadi baik. Mungkin kedewasaannya telah mencapai tingkat yang lebih matang, atau karena lama-lama ia makin jengah dengan ketidakadilan yang terjadi di depan mata. Orang-orang mengerumuniku di saat akan menyontek PR, tetapi menjauh kala nggak ada lagi yang bisa mereka manfaatkan dariku. 

Perlahan namun pasti pula, ia berubah menjadi seorang superhero dimana aku yang selalu berperan menjadi korban.

Hingga bulan lalu.

Mungkin, hanya sampai bulan lalu. 

------

"Daftar anggota Rohis di sini juga ya? Gue sering liat lo sholat dan duduk di sini lama-lama dengerin Kak Hafiz?" sapaku pada salah seorang teman baru bernama Mentari.

Mentari ini teman sekelas bernomor absen awal-awal, jadi aku jarang bercengkrama karena jam praktikum kami jelas beda. Juga ruang grup diskusi kami yang pastinya berjauhan. Kami hanya bertemu saat kuliah umum digelar.

Selama sebulan terakhir sejak Baron cuek denganku, aku mulai hafal aktivitas di mushola ini. Menjadi anak mushola lantaran nggak ada lagi aktivitas yang bisa kukerjakan selain tadi sudah makan, dan sekarang menunggu jam kuliah selanjutnya dimulai.

Sebuah program baru Rohis FK angkatan BEM sekarang, mengadakan tausiyah singkat selama 30 menit usai sholat Dzuhur. Slogan mereka adalah 'anak FK nggak boleh hanya unggul di otak, tapi juga unggul di iman'.

Siapapun boleh mengikuti kegiatan ini. Termasuk aku, gadis nggak berhijab yang penasaran dengan keilmuan agama sendiri. 

"Bukan. Gue cuma ikut majelis aja. Nggak ikut jadi anggota. Lo?"

Aku tersenyum membalasnya. "Sama. Sambil nungguin jam masuk aja ya ini kita."

Ia mengangguk. Pandangannya beralih ke depan lagi. Ke arah kain hijau yang terbentang di depan sebagai pembatas shaf laki-laki dan perempuan.

Pertanyaan singkat itu memulai pertemanan kami. Hanya teman, karena selama berminggu-minggu kemudian Mentari ini sepertinya nggak terlalu welcome padaku. Saat kelas berakhir dan aku mengajaknya untuk makan sebelum sholat, ia selalu menolak dengan alasan puasa atau sudah makan. Jika kuhitung intervalnya, anak itu seperti sedang menjalankan puasa Daud.

Kuhargai penolakan Mentari. Mungkin ia sejenis denganku. Kami sama-sama lebih senang melakukan segalanya 'sendirian'. 

-------

Waktu terasa begitu cepat berjalan. 

Hari ... bulan ... tahun ... terus berjalan. 

Semua menjalani rutinitas biasa. Termasuk aku dan Baron. Kami masih satu kelompok. Percayalah, takdir masih belum memisahkan kami dari kelompok yang baru akan bubar saat wisuda digelar.

Sikapnya biasa saja. Pun sikapku.  

Kami akan saling tersenyum sopan jika beberapa teman lama masih meledek hubungan kami dulu. Waktu mengalir membuat kebanyakan orang melupa. Hanya 3 orang di circle Baron, Lany, juga Bunga saja yang masih mengingat 'sejarah' kami dulu. 

Ya, sejarah. Sesuatu yang hanya bisa dikenang. 

Ia juga nggak berubah ketika keluarga kami bertemu. Kami saling sapa, ikut menertawakan jokes Om Pram dan Papa, bersatu menjawab pertanyaan orang tua seputar progress kuliah. Hanya satu hal yang nggak pernah lagi dibahas dalam pertemuan dua keluarga, yaitu hubungan kami. Sepertinya mereka sedang menjaga hati masing-masing dari kami. 

Selama 2 tahun kujalani, aku masih nggak berubah. Hanya mahasiswi biasa beruntung, merangkap status anak mushola dan anak perpustakaan. 

Lain halnya dengan Baron. Ia ... banyak ... sekali ... berubah. 

1. Penggemar wanita Baron bertambah kian banyak, terutama dari kalangan adik kelas. 

2. Ia punya teman mengobrol asik baru dan masih bertahan lama bernama Uci Windy Evgenia. Mereka asyik sekali membicarakan banyak hal dari sependengaran runguku. Aku nggak tahu hubungan mereka sudah sejauh mana, dan akan sampai mana. Namun, Tante Liana sama sekali belum pernah bertanya tentang perangai perempuan yang sedang dekat dengan anak semata wayangnya, padaku.

3. Nilai Baron kian hari, kian merosot. Entah penyebabnya adalah aktivitas yang semakin banyak, atau ia menjadi malas belajar. Kubaca di papan pengumuman, ia sempat harus mengikuti remidi di beberapa mata kuliah. Masih beruntung, belum sampai pada tahap mengulang di lain semester. 

4. Belakangan santer terdengar, dalam satu bulan ke depan Baron akan dilantik sebagai Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa UNI 2014, pangkat tertinggi lembaga legislastif seluruh mahasiswa Universitas Negeri Indonesia. Ia tak ada habis-habisnya menforsir dirinya demi kejayaan umat manusia UNI. 

5. Aku curiga ia juga rajin mengikuti taklim yang diadakan seusai Dzuhur, dua tahun ini. Meski pintu masuk pria dan wanita berlawanan arah, kami tertutup kain pembatas, juga meski samar, aku seperti mengenal suaranya ketika beberapa kali bertanya pada Kak Hafiz. 

Entahlah.

Mungkin karena mendadak aku rindu Baron.

Meski sikapku terlihat lurus-lurus saja, tetapi kumpulan neuron terdalam di sistem limbik Amigdala pada lobus temporalisku, masih memikirkan sahabatku satu itu ... hingga kini.  

------

🌼🌼🌼🌼🌼😘

Kebanyakan narasi nggak sih ya? 
Karena Rara ini kan pendiem, pemikir, ga punya temen ngobrol, jadi dia lebih banyak mikir daripada ngomong. #Authorngeles. 😜

Untuk Apa Jatuh Cinta? (Dokter - Dokter) TAMATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang