4. PULANG

11.1K 850 43
                                    


Mobil sedan hitam Bima sudah tiba di sebuah halaman yang cukup luas dihiasi pot bunga warna warni dan tanaman hijau nan rindang. Gurat jingga di langit senja menyambut kedatangan pasangan yang telah merajut kasih sejak di bangku kuliah itu.

Kirana tersenyum melihat dedaunan yang menjuntai di sekeliling pelataran rumah orang tuanya. Perempuan cantik itu menuruni hobi ibunya yang suka berkebun sejak kecil. Tak heran jika halaman rumah bergaya minimalis modern yang dibeli pasangan muda itu terlihat lebih asri dibanding rumah sekitar. Tapi, kini ia harus meninggalkan istana kecilnya untuk sementara, atau bahkan selamanya.

Bima gegas membukakan pintu untuk sang istri. Kirana menuruni mobil tanpa menoleh dan menepis tangan suaminya yang ingin membantunya turun. Lelaki jangkung itu hanya bisa pasrah karena masih diabaikan oleh ibu dari calon anaknya.

"Loh, Kirana, kok pulang nggak ngabarin dulu?"

Suara khas perempuan yang amat Kirana rindukan terdengar dari sudut halaman, “Mama ….”

Bungsu dari tiga bersaudara itu segera menghambur ke dalam pelukan sang ibu yang baru saja mematikan keran air.

“Kiran kangen Mama,” istri Bima itu tak kuasa menahan tangis.

Ibu paruh baya yang masih terlihat cantik itu tersenyum dan mengelus lembut surai hitam lurus dalam dekapannya. Setelah pelukan meregang, Bima maju dan menyalami ibu mertuanya.

“Kamu kok pucet, Kirana?”

Bima dan Kirana sempat saling melirik, sebelum Bima menjawab, “ Kirana baru pulang dari rumah sakit, Ma. Katanya kangen sama Mama sama Papa, makanya minta kesini.” Bima tersenyum, Kirana masih terdiam.

“Rumah sakit? Kamu sakit apa, Kirana?”

“Kirana hamil, Ma.” Lagi-lagi Bima yang menjawab.

“Hamil? Kamu hamil, Kirana?” Tanya Ibu Aini dengan berbinar. Kirana hanya mengangguk lemah.

“Alhamdulillah … Yaa Allah Gusti …” kembali Ibu Aini memeluk putri bungsunya.

Kirana membalas pelukan dengan lebih erat, seolah meminta kekuatan. Lelehan air mata kembali membanjiri pipi perempuan berusia 29 tahun itu. Rasanya ia ingin meluapkan segala rasa sesak di dada dan mengadu pada sang ibu atas derita yang ia alami kini.

Bima masih berdiri mematung tak berniat merusak momen haru ibu dan putrinya. Sampai suara deru mesin kian mendekati pelataran rumah. Disusul mobil SUV hitam memasuki halaman dan parkir di samping sedan hitam.

“Papa … Kirana hamil, Pa!” seru Ibu Aini pada suaminya yang baru turun dari mobil.

“Kirana? Bima? Datang dari jam berapa kalian?”

“Barusan, Pa,” jawab Bima sembari mencium takzim tangan ayah mertuanya.

“Papa … denger nggak tadi Mama bilang apa?” cerocos Ibu Aini setelah menyalami suaminya, disusul Kirana yang segera masuk dalam dekapan sang ayah. Pak Hamid mengernyit.

“Kirana hamil, Pa.”

“Apa? Beneran kamu hamil, Kiran?”
Kirana hanya mengangguk masih dalam pelukan. Kembali kalimat hamdalah menggema. Hanya Kirana yang masih membisu. Lidahnya terasa kelu meski untuk sekadar berbagi berita bahagia ini. Kehadiran calon cucu keempat yang sudah bertahun-tahun dinantikan keluarga besar Bapak Anggota Dewan Legislatif itu.

Perempuan berlesung pipi itu tak menyangka jika kehadiran calon anaknya justru menjadi titik awal kehancuran rumah tangganya. Tak pernah terbayangkan di benak Kirana, jika ia akan menyandang status janda beranak satu.

“Ayo, masuk dulu semua, udah mau maghrib. Pamali orang hamil maghrib masih di luar rumah. Ayo, Kirana, Bima, Papa, masuk.”

Keempatnya memasuki rumah mewah berdesain klasik dengan sudut ruangan yang dihiasi aneka keramik. Keluarga Kirana memang berasal dari kalangan terpandang. Pak Hamid adalah seorang pejabat, dan Ibunya adalah seorang dokter gigi. Anak pertamanya adalah seorang perwira TNI yang kini bertugas di wilayah Indonesia Timur. Sedangkan Karina, kembaran Kirana juga seorang dokter gigi, mengikuti jejak ibunya.

Kehadiran keturunan dari Kirana dan Bima memang sudah dinantikan keluarga besar itu. Segala ikhtiar sudah dijalani oleh keduanya demi mendapatkan sang buah hati. Serangkaian tes dan terapi sudah dilakukan oleh pasangan yang sudah menikah empat tahun lalu itu agar membuahkan keturunan.

Namun, kini Kirana harus menelan pil pahit yang disodorkan oleh suaminya sendiri di kala ia sedang butuh vitamin booster untuk kehamilan pertamanya. Bayangan akan suka cita dan gegap gempita menyambut kehadiran sang buah hatinya justru berganti luka yang membawa duka.

“Kalian nginep disini kan? Udah mau malem, pasti capek kalau balik lagi.” Ibu Aini datang membawa satu baki berisi empat cangkir teh hangat.

“Kiran aja yang nginep, Ma. Mas Bima pulang, besok dia kerja,” ucap Kirana setelah sekian lama bungkam.
Bima melirik istrinya kemudian menghembus napas perlahan setelah mendengar kalimat pengusiran secara halus dari Kirana. Padahal Bima berharap ia bisa ikut menginap dan menemani istri serta jabang bayinya.

“Memangnya besok kamu nggak kerja, Kiran?” Tanya Pak Hamid usai menyeruput teh dari cangkir kristal.

“Kiran masih disuruh bedrest sama dokter, Pa. Kemungkinan nanti sekalian ambil cuti besar, biar bisa istirahat lama, DISINI,” Kirana sengaja menekankan kata ‘disini’ agar suaminya mengerti dan paham.

“Memangnya kamu udah ijin sama suami kamu, Kiran? Perempuan kalau sudah menikah nggak bisa sembarangan nginep lama di luar rumah walaupun rumah orang tuanya sendiri, kalau suami nggak ngijinin,” Ibu Aini menasihati.

Belum sempat menjawab, Bima harus kembali menutup mulutnya yang sempat terbuka saat Kirana berucap, “Mas Bima udah ngijinin kok, iya kan, Mas? Lagian Mas Bima mau ada training di Bandung.”

Kalimat Kirana seolah sebuah sindiran bagi Bima, lelaki berjambang tipis itu masih terdiam merasa tak ada gunanya jika ia mendebat setiap jawaban Kirana. Calon ayah itu memilih untuk mengalah saat ini, agar istri tercintanya bisa memenangkan diri terlebih dahulu. Karena ia ingat pesan dokter bahwa ibu hamil tak boleh banyak beban pikiran.
Bima yakin, jika nanti suasana hati Kirana sudah membaik, ia bisa kembali membujuk istrinya pulang. Maka kali ini, lelaki berjambang tipis itu terpaksa menuruti permintaan Kirana.

Usai makan malam bersama, Kirana sibuk merapikan baju di lemari kamarnya semasa masih gadis. Tiba-tiba, perempuan berambut panjang lurus itu merasakan belitan di perutnya. Ia berusaha melepaskan tangan kekar yang melingkar, tapi kekuatannya tak sebanding dengan laki-laki yang sudah menempelkan dagu di pundaknya.

“Lepas, Mas!” Kirana meronta. Bima tetap bergeming.

“Mas! lepasin!”

Bima tak mengindahkan permintaan istrinya, jemerinya kini turun mengelus lembut perut bagian bawah istrinya, rumah bagi jabang bayinya selama sembilan bulan ke depan.

“Jangan sentuh anakku!”

Kirana masih berusaha melepaskan belitan tangan kekar itu, tapi nihil. Suaminya semakin memeluknya erat. Bahkan, bibir Bima kini mulai mengecup lembut leher dan tengkuk Kirana.

“Pulang yah, sama aku,” ucap Bima lirih dengan suara yang mulai serak tepat di telinga Kirana.

Sekuat tenaga perempuan berbulu mata lentik itu menahan sesuatu yang menjalar di seluruh tubunya. Bagaimana pun ia merindukan sentuhan suaminya. Tanpa Kirana sadari, kini Bima sudah berada tepat di depannya. Hembusan napas hangat sudah menerpa wajah oval nan cerah itu.

Kirana pun mendadak lengah dan lemah kala pagutan lembut membasahi bibirnya. Keduanya pun larut dalam adu mulut yang membuat hanyut. Bahkan perempuan berselung pipi itu mencengkram kuat kaus suaminya sebagai penopang agar kakinya yang mulai melemas tak membuatnya terjatuh.

Hingga akhirnya Kirana tersadar, otaknya memberi sinyal berupa potongan-potangan kata mesra suaminya bersama perempuan berrambut cokelat. Bayangan Bima yang melakukan adegan ini bersama Rani membuat Kirana mendadak mual.

Dengan sisa tenaga, Kirana mendorong suaminya agar menjauh. Penyatuan bibir pun terurai, napas keduanya terengah dan seketika tangan kanan Kirana mendarat di pipi kiri Bima.

PLAAK!

BEKU ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang