8. KAU PIKIR KAU SEGALANYA?

10.6K 917 153
                                    


Kali kedua Bima merasakan tamparan keras di pipinya. Tak berniat untuk menghindar atau pun membalas, suami Kirana itu hanya diam menunggu reaksi Kirana berikutnya.

Bima akui ia sudah sangat berdosa pada calon anak dan istrinya. Laki-laki tampan itu siap menerima hukuman apa pun dari istrinya.

Kini mata Kirana menyorot tajam perempuan yang berdiri mematung di dapur. Dengan langkah menghentak, dan tangan yang mengepal Kirana berjalan ke arah perempuan yang kini menunduk ketakutan.

“Puas lo semalem! Dasar lonte!” Kirana menjambak rambut berwarna kecokelatan itu, Rani menjerit kesakitan.

“Kiran!” Bima mencoba melepaskan cengkeraman kuat tangan Kirana di rambut Rani.

“Kiran, cukup, Sayang. Kasian dia kesakitan.”

Ibu hamil muda itu melepaskan jambakannya, tetapi sejurus kemudian sebuah tamparan Kirana layangkan di pipi mulus Rani. Bima syok melihat Kirana yang berubah menjadi ganas.

“Lo pikir lo siapa bisa masuk rumah gue dan seenaknya pake baju gue, hah?” Kirana menarik paksa piyama pink yang dikenakan Rani menyebabkan beberapa kancing teratasnya terlepas.

Rani yang sudah terdesak tak bisa berbuat apa-apa selain menangis, berharap Bima akan membelanya.

“Sayang … udah yah, please ….” Bima mencoba menenangkan Kirana dan menahan tangan istrinya yang sudah akan mencekik Rani.

“LEPAS!” Kirana meronta, Bima masih memeluk istrinya dari belakang dan membawanya menjauh dari Rani.

“Lepasin, Mas!” Kirana berhasil melepaskan diri dari kungkungan suaminya. Kali ini ia berbalik dan memukul dada Bima, meski pukulannya tak berasa apa pun bagi laki-laki bertubuh atletis itu.

“Kenapa kamu tega banget sama aku, Mas, kenapa?!” Kirana menatap nyalang.

“Aku minta maaf, Sayang. Aku khilaf.”

“Hh! khilaf tapi keterusan!”

Kirana menyilangkan kedua tangannya di dada. Bima menunduk karena mati kutu dan merasa tertampar oleh kata-kata istrinya.

“Sekarang … kamu pilih aku atau pelacur itu?”

“Ya aku pilih kamu, Sayang,” wajah Bima terihat serius.

“Aku sayangnya sama kamu, aku cinta sama kamu, sama anak kita. Kirana ….”
Bima memeluk Kirana erat melepaskan segala rindu, kali ini tak ada penolakan, pun tak ada pelukan balasan. Justru ibu hamil  muda itu tersenyum menyeringai sambil menatap Rani yang masih menunduk.

“Kalau kamu sayang aku, buktikan! Usir jalang itu sekarang!” titah Kirana setelah melepaskan diri dari pelukan suaminya.

“Kenapa? Kok diem? Nggak tega?” Kirana menaikkan satu alisnya.

“Apa perlu aku panggil satpam komplek buat ngusir dia? Huh?”

Bima menghela napas, ia memang berniat mengusir Rani sejak semalam, tetapi malah ia hilang kendali akibat sentuhan ayam kampus itu.

Kirana menggeleng melihat reaksi suaminya yang lambat, maka ibu hamil itu kembali berjalan cepat menuju dapur dan menyeret paksa Rani menuju pintu. Bima yang masih terkejut dengan respon Kirana yang begitu meledak-ledak hanya bisa diam tak berniat menahan istrinya.

“Lepas, Kak. Sakit!” rintih perempuan malam itu sambil meringis karena kuku Kirana menusuk tajam di pergelangan tangan Rani.

Namun, Kirana tak gentar, masih diseretnya Rani meski sempat terseok-seok karena perempuan berambut cokelat itu mencoba menahan langkah dan meminta tolong pada Bima.
Kirana mendorong Rani dengan kasar di depan pintu hingga perempuan itu terjatuh di teras. Pak Jamal yang sedang menunggu di mobil tak kalah terkejut melihat adegan pengusiran yang dilakukan anak majikannya.

“Gue minta lo pergi sekarang atau gue panggil satpam dan warga biar lo digrebek!”

Ibu hamil muda itu lalu mengeluarkan lembaran uang kertas berwarna pink dari tasnya dan melempar kasar ke wajah Rani.

“Ini bayaran lo semalam, sekarang lo pergi selamanya dari hidup suami gue. Karena dia lebih milih gue daripada lo! Paham, bitch?! Lo pikir lo siapa? Lo itu cuma perempuan kotor, sampah masyarakat!” Kirana menjambak Rani sekali lagi. Lagi-lagi Bima hanya terdiam saat Rani mengerang kesakitan.

Tak ada pilihan lain, akhirnya Rani pergi dengan langkah gontai dan menunduk malu. Satu tangannya sibuk menutupi dada akibat kancing baju yang terlepas, satu tangan lagi menggenggam lembaran uang. Bagaimana pun Rani tetap membutuhkan uang tersebut.

Usai adegan pengusiran yang sempat menghebohkan tetangga rumah Kirana, kini ibu hamil muda justru tersenyum puas penuh kemenangan melihat Rani yang  sedang berjalan menunduk dan dihujani hujatan oleh beberapa tetangganya. Sementara Bima mencoba menahan malu dan menutup wajahnya dengan satu tangan.

Kirana kemudian masuk ke dalam rumah dan berjalan menuju kamar. Bima mengekor masih dalam diam sambil hatinya menebak apa lagi yang akan dilakukan oleh istrinya.

Bima mengernyit saat melihat Kirana justru sibuk memasukkan beberapa potong baju dan alat make up yang tersedia di meja rias ke dalam koper hitam yang besar. Tak lupa Kirana memasukkan kotak brankas yang berisi perhiasan, emas batangan, dan dokumen berharga lainnya. Tangan lentiknya terhenti saat melihat kotak tisu yang berisi testpack kehamilan, tetapi kemudian ia memasukannya ke dalam koper.

“Sayang, kamu mau ke mana?” tanya Bima beranikan diri. Kirana masih membisu dengan tangan yang masih sibuk memasukkan segala sesuatu yang ia butuhkan selama tinggal di rumah orang tuanya.

“Sayang,  please jangan diem aja. Aku minta maaf, tolong katakan sesuatu.”
Bima masih mondar-mandir mengikuti gerakan istrinya yang masih diam seribu bahasa.

Usai menutup kopernya, Kirana menelepon Pak Jamal untuk membawakan kopernya ke dalam mobil. Bima semakin dibuat bingung. Setelah melihat sekeliling kamar sejenak dan mengambil napas dalam, Kirana lalu berjalan ke luar kamar.

Namun, langkahnya terhenti karena lengannya sudah dicekal oleh Bima. “Kirana,  please don’t go …,” bisik Bima dengan suara serak.

Bima mencoba melakukan jurus yang sama seperti saat mereka di rumah orang tua Kirana. Laki-laki berjambang tipis itu kemudian melumat lembut bibir tipis istrinya yang terasa begitu dingin, tanpa reaksi, tanpa balasan.

Suami Kirana ini merasa seperti sedang mencium mayat, hambar, kaku tak ada gairah. Bima lalu melepaskan pagutannya dan mendapati Kirana yang masih setia dalam diamnya.

Tanpa sepatah kata, Kirana lalu menuruni tangga meninggalkan Bima yang mulai frustrasi. Setelah menggusar rambutnya kasar, laki-laki tinggi itu kemudian mengejar istrinya yang sudah berada di ambang pintu.

“Kiran Sayang … please jangan pergi lagi! Aku janji akan perbaiki semua, aku nggak akan ulangi kesalahan aku lagi.”
Kirana melepaskan cekalan Bima dengan kasar lalu menatap suaminya dengan tatapan yang tak bisa diartikan. 

“Besok pengacara Papa akan mulai urus perceraian kita.”

Bima menggeleng mendengar kata perceraian, bagaimanapun ia tak mau berpisah dengan Kirana dan calon anaknya.

“Dan aku minta setelah putusan pengadilan keluar, kamu kosongkan rumah ini karena mau kujual.”
Kirana mengatakannya tanpa beban, meski sorot matanya mengandung banyak rasa dan luka.

“Kiran, tolong jangan begini, please … aku nggak mau pisah sama kamu.”

Bima masih mengejar Kirana yang sudah masuk ke mobil sedan putih. Suami Kirana itu mencoba menahan pintu mobil akan tetap terbuka, tetapi kali ini kekuatannya kalah. Karena istrinya sudah menutup pintu dengan kasar.

Kirana lalu membuka jendela. “Kamu pikir kamu segalanya buat aku, Mas? Hh! kamu salah besar, Mas Bima. Selamat tinggal!”

Jendela kaca kembali tertutup, bersamaan dengan mobil yang mulai berjalan menjauh meninggalkan Bima yang masih diam terpaku.

BEKU ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang