7. TAK INGIN PISAH

9.9K 787 137
                                    

"RANI?!"

Bima segera melepas belitan tangan bercat kuku merah dari pinggangnya.

"Ngapain kamu kesini?"

"Mas Bima, Rani ka-," perempuan berambut cokelat itu akan memeluk Bima lagi tapi segera dicegah.

Bima menggeleng, "kamu nggak boleh kesini, Ran! Sebaiknya kamu pulang."

"Mas Bima ... tolong Rani, Mas. Rani lagi dikejar sama Mami dipaksa layanin tamu yang kasar, Rani nggak mau dan nggak bisa kalau nggak sama Mas Bima."

"Permainan kita udah selesai, Ran. Tolong kamu ngerti!"

Kini giliran Rani yang menggeleng, "Rani nggak bisa Mas, Rani lebih baik kabur dari karaoke daripada harus pisah sama Mas Bima."

"Kamu udah gila, Ran! Inget, Ran! yang kita lakuin itu hanya sebatas have fun. Jadi nggak usah kamu pake perasaan!"

Mahasiswi itu kini malah terisak, membuat Bima kebingungan. Terpaksa ia membawa masuk Rani ke dalam rumah, agar tak mengundang curiga para tatangga jika mereka sedang cekcok di ambang pintu.

"Denger ya, Ran. Aku udah nikah dan istriku lagi hamil. Aku nggak bisa lanjutin permainan kita. Silahkan kamu cari lagi yang baru."

Rani menggeleng, perempuan muda itu benar-benar sudah jatuh cinta pada suami orang. Meski bukan lelaki pertama yang menyentuhnya, tapi pesona dan kenyamanan yang Bima tawarkan berhasil menyentuh hatinya. Dan kini mahasiswi tingkat akhir itu justru tak mau pisah dengan Bima, bahkan ia rela kabur dari tempatnya biasa mencari nafkah di kota perantauan demi lelaki pujaannya.

"Aku mau kok kalau Mas Bima jadiin aku istri kedua, asal jangan tinggalin aku, Mas."

Wajah Rani memelas seperti kucing yang meminta makan. Bima memijat kening, otaknya sedang bekerja mencari cara agar bisa mengusir Rani.

"Kosan kamu dimana? Biar aku anterin kamu pulang malam ini." Bima belum mengetahi tempat tinggal Rani, karena selama ini mereka selalu bertemu di hotel.

"Aku nggak mau pulang ke kosan, itu kosan Mami. Dia pasti lagi marah besar nungguin aku pulang."

"Aku pengen tinggal sama Mas Bima ..." Rani sudah memeluk Bima, erat.

Sekuat tenaga Bima ingin melepaskan pelukan Rani, tapi perempuan yang memakai sepatu wedges itu sudah mengendus leher Bima dan meniupkan hembusan nafas hangat di belakang telinga lelaki tinggi itu.

"Rani kangen banget sama Mas Bima," bisik Rani tepat di telinga Bima yang justru membangkitkan sesuatu dari dalam tubuhnya.

Kesempatan ini tak ingin disiakan oleh perempuan malam itu untuk meraup lagi kenikmatan yang membuatnya ketagihan. Dan Bima sudah kehilangan akal karena tengah di mabuk kepayang. Penatnya urusan kantor dan rumitnya hubungannya dengan dua wanita, membuat lelaki berjambang tipis itu membutuhkan pelepasan untuk melemaskan otot-ototnya yang menegang dan kaku.

Maka sofa ruang tamu menjadi saksi bisu bertemunya dua peluh. Bahkan Bima lupa ada potret sepasang pengantin di dinding yang tengah memperhatikan mereka memadu kasih yang telarang.

*****

"Ini vitaminnya, Non." Bi Nur meletakkan satu pisin berisi butiran vitamin di meja.

"Makasih, Bi."

Kirana tersenyum lalu menjejalkan tiga butir kapsul berbagai warna ke dalam mulut sesuai resep dekter.

"Kamu jadi pulang dulu, Kiran?" tanya Pak Hamid di sela-sela mengunyah nasi goreng. Kirana hanya mengangguk.

"Kalau gitu kamu pakai mobil Mama aja, nanti Mama suruh Pak Jamal buat anterin kamu."

Kirana menangguk mendengar titah ibunya yang sudah memakai setelan sneli dan bersiap berangkat ke rumah sakit. Aktifitas pagi di rumah Kirana tak beda jauh sejak dahulu. Keluarga Pak Hamid akan sarapan bersama dan saling menyapa, untuk selanjutnnya berpencar ke tempat aktifitas masing-masing.

Pagi ini, Kirana berencana untuk pulang ke rumahnya di tengah kota. Selain akan mengambil barang keperluan pribadinya, ia juga ingin memastikan kondisi suaminya pasca ia tinggal beberapa hari.

"Doain Kiran ya, Bi, biar aku sama Mas Bima kuat ngadepin ini semua."
Kirana menghampiri Bi Nur yang sedang mencuci piring.

"Mesti, Non. Semua mesti tek dongakno. Yo Bapak, Ibu, Mas Kevin, Non Kirana, Non Karina."

"Makasih ya, Bi. Kiran nggak tahu kalau nggak ada Bibi. Mungkin Kiran udah bunuh diri kali."

"Hush! Nggak boleh ngomong gitu, Non! Jangan berbuat sesuatu yang bikin Allah murka, ngeriii azabe kayak film di tv ikan terbang." Keduanya terkekeh di dapur. Ayah dan Ibu Kirana sudah berangkat beraktifitas yang selalu terlihat sangat sibuk.

Meski hatinya belum 100% memaafkan kesalahan Bima, tapi Kirana mulai sedikit bisa menurunkan ego. Demi buah hati yang sudah dinanti. Perempuan yang bekerja sebagai public relation di sebuah perusahaan consumer goods itu sudah mengajukan cuti besar selama satu bulan.

Selain untuk bedrest sesuai anjuran dokter, Kirana juga ingin menenangkan diri dari permasalahan yang ada. Perempuan berkulit kuning langsat itu ingin memutuskan sesuatu dengan tepat agar tak menimbulkan penyesalan di kemudian hari.

Usai berpamitan dengan Bi Nur, kini Kirana sudah berada di mobil yang akan membawanya pulang ke istana keduanya. Sepanjang perjalanan, perempuan berambut panjang itu membuka blokir pada nomor suamnya dan memberi akses pada Bima untuk bisa menghubunginya kembali.

Mobil sedan putih kini sudah terparkir di halaman rumah yang dihiasi pot bunga warna warni. Kirana mengernyit saat melihat mobil suaminya masih ada di carport. "Mas Bima nggak kerja?" gumam Kirana.

Ibu hamil muda itu kemudian turun dari mobil. Kirana menghela napas melihat beberapa tanaman serta bunganya layu dan kering. Menandakan bahwa selama beberapa hari terakhir mereka tak dirawat oleh si penghuni rumah.
Kirana mengernyit saat membuka handle pintu tak terkunci. Ia lalu masuk ke rumah yang lumayan ia rindukan. Dahi Kirana makin berkerut saat mendengar suara riuh dari arah dapur. Ibu hamil muda itu lalu berjalan perlahan menuju sumber aroma sedap.

Namun, langkahnya terhenti saat netranya melihat sosok perempuan berambut cokelat sedang berdiri membelakanginya. Kirana semakin terbelalak ketika mendapati seseorang yang sedang sibuk memasak itu memakai salah satu bajunya.

"KIRANA?!"

Mata lentik Kirana membulat, dadanya bergemuruh, jantungnya berdegub kencang, otaknya bekerja keras memindai pemandangan suami sahnya turun dari tangga dengan rambut basah yang sedang diusap handuk. Kirana menggeleng tak percaya dengan pemandangan di depannya, ia tatap tajam keduanya bergantian.

"Kirana, bisa aku je-"

PLAAK!

Satu tamparan keras kembali Kirana hadiahkan untuk Bima.

BEKU ✔️Where stories live. Discover now