Target Pertama

147 11 0
                                    


Matahari begitu terik bersinar di udara yang lembap. Bulir keringat bercucuran dari ujung-unjung dahiku. Wajah yang sudah kurias sejak pagi tadi, kini terlihat berkilauan karena minyak-minyak kulit sudah keluar dari pori-pori wajahku, kusam. Aku mengeluarkan kertas esai fotokopi tugas bacaanku minggu ini. Namun, bukannya kubaca, kukibaskan kertas itu di hadapan wajahku. Tik-tok-tik-tok. Sudah hampir 10 menit aku duduk di depan halaman perpustakaan, menunggu seseorang. Pandanganku tak bisa diam di satu arah. Aku terus menengok ke sana kemari untuk mencari sosok perempuan berambut panjang dengan gaya berjalan seperti model di atas catwalk.

Oow ...! Akan tetapi, lihatlah siapa yang berhasil membuat pandanganku tak berkutik. Cowok dengan tubuh tinggi berjaket kanvas hitam, gayanya serampangan, rambutnya yang gondrong sebahu terlihat cuek tapi tetap rapi, sedang berjalan di seberang halaman parkir. Ia tersenyum pada seorang tua yang berpapasan dengannya. Rasanya ada bagian dari diriku yang meleleh ketika melihat senyumannya itu.

"WOY! Kamu liatin siapa sih?"

Jantungku meledak. "Iih... elo ngagetin gue aja sih!"

Makhluk berambut panjang ini kini ada di hadapanku. Ia tertawa terbahak-bahak melihat tingkah lakuku yang aneh. Aku memalingkan muka, dan mencari sosok cowok yang tadi kuperhatikan, tapi sepertinya dia sudah menghilang. Hufft!

"Abisnya, ya, kamu tuh kaya baru ngeliat malaikat turun dari langit, tau enggak?!"

"Emang iya. Dan gara-gara lo, malaikatnya jadi ilang!"

"Eeh ... seriusan?! Mana-mana-mana?"

Raisha ikut-ikutan mencari sosok yang aku anggap sebagai malaikat dunia. Halah lebay! Matanya mencari kesana- kemari diikuti oleh satu jarinya yang menunjuk-nunjuk, berusaha menebak dengan tepat.

"Gue bilang juga dia udah ilang. Gara-gara lo sih, Sha!"

"Yah, kok gara-gara aku sih? Aku kan baru juga dateng," belanya.

"Lagian bukannya dateng dari tadi, sih! Gue udah nungguin elo dari tadi, tau?!" kataku kesal, meski sebenarnya sih biasa saja.

"Jiaaah ... gitu aja kok ngambek!" godanya sambil mencolek daguku.

"Iih genit! Awas ntar disangka lesbong lho! Hiiiii ...!"

"Kyaaaa!"

"Yuk ah ke kantin, gue laper nih! Kelamaan nungguin lo, Sha!"

"Iya-iya, yuk cabut ah!"

***

Sekelompok mahasiswa mengantri di meja prasmanan sambil membawa piring-piring porselen di tangannya. Mata-matanya terlihat celingukan berkoneksi dengan gerakan mulut mereka. Sepertinya perut mereka lebih heboh mengadakan konser musik di dalam ruangan sempit sampai jingkrak-jingkrak.

PRANG!

Otomatis, kami menoleh ke tempat di mana suara itu berasal. Pecahan porselen tersebar di atas lantai, lengkap dengan butiran-butiran berwarna cokelat dan benda-benda lainnya terlihat seperti bubarnya sebuah pertunjukan musik ricuh. Seorang gadis berambut pendek sebahu membungkuk kemudian berdiri sambil mengibas-kibaskan tangannya di hadapan wajahnya. Ia membuat bibirnya membulat tampak seperti mini donat beberapa kali sambil menggembungkan pipinya. Gadis itu menjadi pusat perhatian selama beberapa detik, sebelum akhirnya Pak Diyat, salah satu petugas kebersihan, memunguti makanan dan pecahan piring yang berserakan di lantai kantin.

"Ah ... it's a bad day for her!" ujar Raisha sambil menyuapkan satu sendok nasi goreng seafood kesukaannya.

"Iya banget!" jawabku. Satu tegukan jus jambu merah membuat kerongkonganku terasa adem.

[END] An Ending OvercastWhere stories live. Discover now