Ujung Penantian

60 10 4
                                    


Fajar masih mengintip di balik bukit belakang rumahku. Suara ayam yang menyambut sang pagi terdengar saling sahut-menyahut samar. Awan-awan tipis menyapu langit yang masih terlihat kelabu. Udara segar masuk melalui jendela yang sengaja sudah kubuka. Aku melipat mukena yang baru saja kupakai untuk shalat subuh. Alhamdulillah, aku tidak pernah terlambat bangun untuk menunaikan shalat subuh seperti dulu lagi.

Hari ini aku berencana menemui Jingga di masjid kampus. Kebetulan sekali, pagi ini ia tidak memiliki agenda jadi kami bisa berbincang setidaknya sampai adzan dzuhur tiba. Hatiku sudah menemukan jawaban untuk semuanya. Ternyata Allah memberikan jawaban lebih cepat dari waktu yang kuminta pada Jingga. Semoga saja ini adalah jawaban yang terbaik.

Ponselku berdering keras, aku lupa mengecilkan volume setelah alarm berhasil membangunkanku. Siapa yang meneleponku sepagi ini? Adam? Ya Allah, ternyata dia menghubungiku. Haruskah kujawab?

"Assalamu'alaikum," sapaku.

"Wa'alaikumsalam. Karin, maaf ya pagi ini udah nelponin lo."

"Ya, ada apa ya?"

"Gue mau ngomong soal topic pembicaraan kita terakhir itu."

DEG.DEG. Apa yang harus aku lakukan?

"Ohh ya ... gimana?" tanyaku dengan nada datar dan kaku.

"Gue udah pikirkan semuanya dan gue siap untuk ngambil konsekuensi. Gue juga udah tanya sama temen gue yang lebih ngerti agama dibanding gue. Insha Allah, gue siap untuk menjalin hubungan serius sama lo. Rin! Apa lo bersedia? Kalau lo bersedia, gue akan datengin orang tua lo segera untuk ngelamar lo," suaranya terdengar tegas dan yakin.

HUWAAAA!!! Apa yang harus aku jawab?

Seolah kamarku menjadi kulkas tiba-tiba, sekujur tubuhku dingin dan kaku, mungkin sepertinya akan pecah berkeping-keping sebentar lagi. Tubuhku gemetaran, bahkan lidahku begitu kelu. Hampir saja aku mematikan panggilan. Langkah kakiku berjalan mondar-mandir. Aku begitu panik.

"Rin, Karin! Kamu masih disitu?"

Kenapa? Kenapa baru sekarang? Kenapa?!

Aku pura-pura terbatuk.

"Ya ..."

"Apa lo bersedia untuk jadi calon istri gue?"

Aduh!

Aku bergumam panjang. "Nanti malam aku kasih jawabannya ya?"

"Ohh ... oke deh!" nada suaranya melemah.

"Aku juga harus mempertimbangkan semuanya. Aku harap kamu bisa mengerti."

"Baiklah. Kok tumben, gaya berbicaranya berubah. Lo biasanya pake lo-gue. Apa karena ini lo udah berubah?"

Oh ya? Aku tidak pernah menyadarinya.

"Ya, sudah kubilang, aku sedang dalam proses hijrah."

"Mungkin gue juga harus ngelakuin hal yang sama kaya lo. Oke deh, gue tunggu jawabannya nanti malem ya? Sorry gue baru ngehubungin lo sekarang-sekarang."

"Oke, gapapa."

"Makasih ya Rin. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam."

HUWAAAAAA!! Akhirnya aku bisa berteriak setelah aku memastikan percakapan telah selesai.

"Kenapa Rin?" teriak Mama dari lantai bawah. Ternyata teriakanku terdengar dari bawah.

"Nggak apa-apa, Ma!" balasku.

Mungkin Mama sedikit terkejut dengan teriakanku tadi. Aku harus segera memberitahu Jingga.

[END] An Ending OvercastDonde viven las historias. Descúbrelo ahora