Hello!

76 8 0
                                    


"Mama!" teriakku di dalam kamar. Sementara orang-orang di luar kamarku menghampiriku.

"Kenapa, Neng Karin?" tanya Nenek Inah, nenek tetangga di belakang rumah yang suka membantu membereskan rumah.

"Ini Nek, sepatunya ketinggian, enggak suka pakenya!" kataku cemberut.

"Ooh, itu toh! Coba tanya sama mbak-mbak yang ngerias Neng Karin tadi," saran Nenek Inah sambil pergi keluar dari kamarku.

Aku menjinjing sepatu high heels berwarna emas dengan kilauan permata di setiap lekukan permukaan atasnya.

"Kenapa sih, Rin? Rempong banget!" tanya Mama dengan nada kesal sambil membetulkan riasan kerudung yang membelit kepalanya.

"Ada sepatu lain enggak, Ma? Tinggi banget ini! Susah jalan jadinya." Kataku meletakkan sepatu itu sembarangan.

"Enggak ada, Sayang! Udah pake aja, cuma sebentar ini." Jawab Mama, tidak menoleh ke arahku sama sekali.

Ah, tidak membantu! Aku tidak terbiasa dengan high heels atau pun sepatu wedges. Aku lebih memilih flat shoes yang nyaman dipakai atau sepatu pantofel dengan hak rendah. Kuambil kembali sepatu itu dan kucari flat shoes baru milikku yang kebetulan warnanya senada dengan kebaya yang kupakai untuk menghadiri resepsi pernikahan sepupuku, Danisha.

***
Wangi semerbak bunga melati khas pesta resepsi pernikahan ala Indonesia tercium seketika aku turun dari mobil. Tirai satin berwarna merah dan gold dihias dengan beberapa buket bermacam-macam bunga lengkap pula dengan red carpet menyapa kami, keluarga mempelai dari pihak perempuan. Aku tersenyum terkagum-kagum dengan dekorasi ruangan resepsi ini.

Imajinasiku mulai terbang melayang. Jika tahun ini aku jadi menikah, kira-kira seperti apa konsep pesta pernikahanku nanti ya? Apakah aku mengambil tema warna yang sama, mengingat aku sangat suka sekali dengan warna merah. Ah, tetapi nanti dikira mencotek konsep warna. Sebaiknya aku memilih warna lain.

"Karin!"

Warna di dalam imajinasiku seketika itu pun buyar dan melebur.

"Kenapa, Pa?"

"Kamu pegang kamera untuk dokumentasi keluarga ya?"

"Iya!" jawabku.

Aku mengambil kamera mungil bermerk terkenal itu dari tangan papa. Sebenarnya aku tidak terlalu handal dalam memegang alat dokumentasi. Entah kenapa, baik di keluarga atau di kampus, aku selalu diandalkan untuk melakukan sesi dokumentasi.

Aku berjalan menuju ruangan belakang aula resepsi. Kulihat beberapa orang tengah sibuk memilih-milih aksesori dengan permata berkilauan. Seorang wanita yang telah mengenakan gaun pengantin putihnya duduk di depan cermin besar sambil memperhatikan riasannya.

"Wuih ... pengantin hari ini cantik banget!" kataku memuji melihat penampilan Danisha dengan eyeshadow berwarna silver dan lipstick semu merah. Ia tampak sempurna hari ini. Tentu saja, hari ini adalah hari bahagianya.

"Makasiii, Karin cantik! Kapan nyusul nih?"

Wow pertanyaan bagus.

"Hehe, doain aja secepatnya. Hihi!" kataku tersipu-sipu.

"Iya, sip lah! Moga cepet nyusul aku ya."

"Amiin, amiin! Eh mana Mas Handi?"

"Tadi sih aku lihat dia ada di luar deket mushola. Kenapa emang?" tanya Danis penuh curiga.

"Ada perlu sebentar."

"Perlu atau perlu? Ahh, aku mencium sesuatu yang mencurigakan," ujarnya penuh selidik.

[END] An Ending OvercastOù les histoires vivent. Découvrez maintenant