bagian sembilan belas

2.5K 331 4
                                    

"Lo suka nonton film nggak, Lan?" tanya Oliv pada Arlan yang tengah mengemudi di sebelahnya.

Sudah bermenit-menit berlalu tanpa memiliki tujuan dan entah sudah ke berapa kalinya mereka memutari kawasan Braga dan sekitarnya. Oliv benar-benar merasa bersalah kala melihat tampang bosan Arlan yang tak sengaja dilihatnya, dan Oliv tahu Arlan hanya berusaha menutupinya sejak tadi.

Oliv memang bukan tipe orang yang suka mengeksplor tempat-tempat seperti tempat wisata, tempat yang berhubungan langsung dengan alam, dan semacamnya. Dan jika melihat dari foto-foto yang Arlan post di Instagram-nya, laki-laki itu justru adalah kebalikannya.

Oleh karena itu, Oliv tidak bisa memberi rekomendasi tempat seperti yang Arlan suka. Lagipula, di sini Arlan yang akan menemaninya, 'kan? Jadi seharusnya hal tersebut bukanlah masalah.

"Suka," balas Arlan tanpa menoleh pada lawan bicaranya. "Tapi gue jarang nonton aja dan nggak terlalu update sama film-film terbaru."

Oliv kontan menjetikkan jari. "Nah. Udah, fix, mending ke bioskop aja daripada muter-muter terus dari tadi. Nggak papa, 'kan?"

"Ya nggak papa, gue ngikut lo aja."

"Oke, caw!"

Tujuan telah ditentukan, Oliv pun segera memberitahukan jalan menuju mall terdekat yang juga terdapat bioskop di dalamnya. Setelah memutar untuk yang terakhir kali, akhirnya mereka sampai di mall yang berada di kawasan Jalan Merdeka. Arlan segera membawa mobil ke basement setelah mengambil tiket, lantas memarkirkan mobil di tempat yang masih kosong.

Berjalan bersebelahan memasuki area mall, Oliv mendapati beberapa pengunjung mencuri pandang ke arahnya dan juga Arlan. Yah, kalau begini, bagaimana mungkin takkan menimbulkan salah paham. Oliv saja sudah merasa aneh saat tadi Arlan ke rumahnya. Rasanya seperti tengah dijemput oleh pacar untuk pergi berkencan.

Oliv menoleh pada Arlan yang tampak fokus melihat ke depan dengan kedua tangan berada dalam saku celana.

Apakah yang tengah mereka lakukan kini bisa disebut sebagai kencan?

Sayangnya, belum sempat Oliv mendapat jawaban, tubuh perempuan itu tiba-tiba limbung karena seseorang menyenggol bahunya dari arah berlawanan. Secara refleks tangan Oliv meraih apapun yang ada di dekatnya, yakni kemeja hitam yang dikenakan oleh Arlan sebagai luaran. Dan laki-laki itu pasti akan ikut terjatuh jika ia tidak lebih dulu menahan bahu Oliv.

"Ya ampun, maaf téh, saya lagi buru-buru soalnya," ujar seorang wanita muda yang tadi tak sengaja menabrak Oliv dengan cemas. "Tapi kayaknya tétéh-nya juga tadi lagi ngelamun, makanya nggak bisa menghindar."

Oliv meringis pelan. Apa yang dikatakan wanita itu memang sangat tepat pada sasaran. "Iya nggak papa, salah saya juga berarti," aku Oliv , kemudian ia membungkuk sekali. "Saya minta maaf, ya."

Setelah memastikan bahwa urusan ini tidak perlu diperpanjang, Oliv dan Arlan akhirnya bisa melanjutkan kegiatan mereka.

"Lo nggak papa?" tanya Arlan kemudian dengan sebelah tangan yang masih setia bertengger di bahu Oliv, entah sadar atau tidak. "Kenapa bisa ngelamun lagi di tempat rame gini?"

Oliv lekas menggeleng. "Nggak papa kok," balas perempuan itu dengan senyum canggung. "Sori ya, gue tiba-tiba kepikiran sesuatu aja tadi."

"Nggak usah mikirin hal lain dulu, kan tujuan lo ke sini bukan buat itu," pungkas Arlan.

"Iyaaa."

Helaan napas Arlan terdengar oleh Oliv. Lalu setelahnya, selama perjalanan ke bioskop yang berada di lantai paling atas, Arlan benar-benar memastikan Oliv aman dari orang-orang sekitar yang berpotensi akan membuatnya nyaris terjatuh, serta memastikan Oliv takkan melamun seperti tadi.

Oliv memejam sejenak seraya berusaha menormalkan detak jantungnya dengan menghirup udara sebanyak mungkin dan membuangnya secara perlahan.

Bagaimana mungkin Oliv tak semakin terbawa oleh perasaan jika Arlan terus bersikap demikian padanya?

Film yang mereka pilih pada akhirnya jatuh pada sebuah film bergenre horror yang baru naik layar sejak seminggu lalu. Alasannya cukup simpel, karena aktor dan aktris yang bermain peran dalam film tersebut sudah tak diragukan lagi kemampuan aktingnya. Keduanya pun cukup yakin bahwa film tersebut memiliki peminat paling banyak jika dibandingkan dengan film lain yang juga tayang pada hari ini.

Oliv memilih jam terdekat agar mereka tak perlu menunggu lama, dan Arlan setuju dengan hal itu. Kemudian keduanya membeli popcorn dan soda untuk menemani mereka nonton nanti.

Studio masih cukup kosong kala Arlan dan Oliv masuk ke sana. Mereka pun segera mencari kursi sesuai dengan yang dipilih saat membeli tiket tadi, tepatnya berada di tengah-tengah. Lalu tak lama setelahnya, penonton lain mulai berdatangan hingga semua kursi nyaris terisi sepenuhnya.

Saat layar besar di depan sana masih menampilkan trailer dari film-film yang akan tayang dalam waktu dekat, Arlan menoleh pada Oliv yang tampak asyik memakan popcorn karamel miliknya. Senyum miring pun terbit di bibirnya. "Lo laper apa gimana?" tanya laki-laki itu. "Filmnya aja belum mulai."

Oliv mencebikkan bibirnya. "Ya emang kenapa sih? Kan dibeli juga emang buat dimakan."

Arlan hanya terkekeh dan tak membalasnya sebab film akan segera dimulai.

Film yang mereka tonton kini sebenarnya memiliki alur cerita yang cukup klise. Ada sebuah keluarga yang mulai merasakan kejanggalan di rumah baru mereka karena terdapat 'penunggu' yang menempatinya, dan setelahnya teror-teror hantu terus terjadi hingga mengganggu ketenangan keluarga tersebut.

Arlan suka dengan film horror, sehingga ia tak merasakan takut sama sekali karena sudah terbiasa. Begitu pula dengan Oliv--yang mulanya sama sekali tak disangka oleh Arlan. Perempuan itu hanya dibuat terkejut oleh jumpscare saat hantu tiba-tiba memunculkan diri, lalu ia melontarkan sumpah serapah yang mampu membuat Arlan tersenyum geli.

Namun, keadaan berubah ketika cerita mulai memasuki adegan penting, di mana salah satu anggota keluarga mereka dirasuki oleh hantu yang berada di rumah tersebut, dan masa lalu sang 'penunggu' rumah pun terkuak. Hantu wanita tersebut pernah dibunuh secara sadis di rumah itu, dan setelah ia berhasil merasuki manusia, ia berniat untuk balas dendam pada pelaku--yang sebenarnya sudah muncul sejak awal film dimulai.

Banyak adegan berdarah terjadi, dan wajah Oliv yang kian memucat tak luput dari pandangan Arlan, yang membuat laki-laki itu mengetahui fakta baru bahwa Oliv tidak suka melihat darah.

"Ah, sumpah ya, gue nggak bisa liat yang beginian!" seru Oliv dengan nada ketakutan yang sangat kentara seraya menutupi wajah menggunakan kedua tangan. Suaranya teredam oleh teriakan penonton lain yang tengah menyaksikan adegan pembunuhan di depan sana. "Astaga, gue kira ini pure horor doang ...."

Sungguh, kalau begini Arlan sendiri jadi bingung harus melakukan apa.

"Apa udahan aja nontonnya? Lo mau keluar sekarang?" tanya Arlan cemas. Tubuhnya bahkan kini sudah menghadap Oliv sepenuhnya, dan ia tak memedulikan lagi film yang masih berlangsung itu.

Oliv menggeleng-geleng sambil memejam. Kemudian perempuan itu tiba-tiba saja menelungkupkan kepala pada lipatan tangan yang ia letakkan pada lengan kursi--antara kursinya dengan Arlan. "Kasih tau gue aja kalo udah aman," ujar Oliv dengan suara parau. "Sayang tiketnya kalo nggak nonton sampe abis."

Arlan tak menyangka Oliv lebih memikirkan tiket nonton daripada diri sendiri. Tapi pada akhirnya ia tetap menuruti perkataan perempuan itu.

Dengan ragu, Arlan mengangkat tangannya untuk ia letakkan ke kepala Oliv, lantas mengusapnya pelan. Setelahnya ia turun pada punggung perempuan itu dan menepukinya pelan.

Arlan hanya berharap Oliv dapat merasa lebih baik setelahnya.

(9 mei 2021)

Hey, Olivia! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang