bagian dua puluh tiga

2.2K 317 2
                                    

"Weh, akhirnya balik juga ke Jakarta lu!"

Arlan yang tengah menyimpan baju-bajunya ke dalam lemari kontan memutar mata. Seingatnya, Rezka baru saja menghubunginya dan menanyakan keberadaannya sekitar lima belas menit yang lalu, itupun saat Arlan masih dalam perjalanan. Dan sekarang, laki-laki itu sudah muncul di kosannya? Hebat sekali.

"Kenapa? Lo kesepian selama gue nggak ada di sini?" tanya Arlan dengan senyum miring yang tercetak di wajahnya, meskipun sebenarnya ia merasa geli juga setelah mengatakannya.

Rezka sontak mengernyit jijik. "Dih, homo banget anjir! Lagian geer amat lo, temen gue bukan lo doang ya, nyet."

"Ya emang bukan gue doang. Tapi kalo mereka nggak ada ujung-ujungnya juga lo bakal lari lagi ke gue."

"Astaga, Gusti, pas di Bandung kepala lo kebentur apa gimana, sih?"

Arlan kontan tertawa mendengarnya. "Kagak, kagak. Udah cepet masuk, ngapain lo berdiri di depan pintu terus?"

"Habis merinding gue liat lo tiba-tiba begini." Rezka akhirnya melangkah masuk dan seperti biasa, ia selalu menganggap kamar kos Arlan seperti kosnya sendiri, maka yang dilakukannya adalah langsung merebahkan diri di kasur. "Tapi biasanya, kalo lo jadi begini tuh karena mood lo lagi bagus."

"Hm? Mungkin aja."

"Ada apaan emang selama lo di Bandung? Bagi-bagi kali ceritanya ke gue."

Mau tak mau Arlan pun menceritakan semuanya yang terjadi selama ia di Bandung, dimana selalu ada nama Oliv di dalamnya. Mulai dari pertemuan tak sengajanya dengan Oliv di acara resepsi pernikahan, mereka yang memutuskan untuk "kencan", sampai saat Arlan memberanikan diri menyampaikan keinginannya untuk mendekati Oliv.

Oh, dan tak lupa percakapan sederhana di telepon saat Arlan berada di rumah sakit di Bogor, yang membuat laki-laki itu yakin bahwa ia tak perlu mencemaskan banyak hal soal hubungannya dengan Oliv.

Dan seperti dugaan Arlan, Rezka tampak tidak menyangka setelah mendengar seluruh ceritanya. Rupanya hubungan kedua manusia itu sudah mengalami kemajuan yang sangat pesat!

"Wah, gila, gila, gimana bisa gue kalah dari lo yang jelas-jelas belum lama kenal sama Oliv?!" seru Rezka tak percaya. "Ah ini nggak adil, bisa-bisa lo sama Oliv yang jadian duluan daripada gue sama Keisha."

"Nggak usah kebanyakan ngeluh lo. Kayak ada aja yang udah lo lakuin buat perkembangan hubungan kalian."

"Sialan, nggak usah songong lo ya!"

Lagi-lagi Arlan tertawa. "Nggak, gue nggak berani buat sombong dulu sekarang. Lagian gue masih nggak tau gimana kelanjutannya. Masih abu-abu."

Rezka mendecak. "Ya elah, lo mau nunggu apa lagi emangnya? Si Oliv udah ngasih lampu ijo, tuh."

Arlan menghela napasnya. Setelah selesai membereskan baju dan barangnya yang lain, ia memindahkan beberapa jenis camilan yang ia bawa dari Bandung ke dalam toples. Dan sudah bisa kalian tebak, tanpa diminta Rezka langsung saja memakan camilan-camilan tersebut.

"Nggak tau. Gue ngerasa masih ada yang ngeganjel aja," jawab Arlan pada akhirnya. "Gue pengin ngobrol lagi sama dia, tapi chat terakhir gue belum dibales sampe sekarang."

"Emangnya kapan lo terakhir nge-chat?"

"Dua hari lalu."

"Waduh. Kalo gitu sih, mending lo samperin aja langsung orangnya, Lan. Kali aja chat lo tenggelem atau dia lupa bales sampe sekarang."

Ah, Rezka ada benarnya juga. Kalau begitu apa sebaiknya Arlan pergi ke kosnya Oliv sekarang daripada terus menunggu yang tidak pasti?

"Kak, plis, gue udah bilang berapa kali kalo gue udah maafin lo? Sekarang gue cuma minta supaya lo nggak cari-cari gue lagi. Apa terlalu susah buat dilakuin?"

Tristan mengepalkan tangan kirinya yang bebas kuat-kuat.

Sudah penolakan yang ke berapa kalinya ini? Tristan bahkan tidak bisa mengingatnya lagi. Memang, Oliv berkata bahwa ia sudah memaafkan kesalahan-kesalahannya yang dulu. Tapi entah kenapa, Tristan masih merasa tidak puas jika belum mendengarnya secara langsung sari mulut Oliv sendiri.

Maka dari itu, beberapa hari ke belakang ia selalu mencoba datang ke kos Oliv, tapi saat itu Oliv tengah pulang ke kota asalnya. Tristan mencoba lagi, tapi Oliv sedang tidak ada di kosnya lagi. Sampai yang terakhir, hari ini, Tristan kembali datang dan malah mendapat kabar bahwa ternyata Oliv sudah pindah kos sejak kemarin.

Tristan tertawa pahit. Tentu saja Oliv sampai menghindarinya begini. Pertemuan terakhir mereka saja berakhir tidak baik karena ia lepas kendali. Saat itu pun ia juga akhirnya mengetahui kalau Oliv sudah punya pacar.

"Jadi, akhirnya begini aja, Liv? Lo tetep nggak mau bilang kalo lo udah maafin gue secara langsung di depan gue?" tanya Tristan lagi yang mulai putus asa. Jika ia terus memaksa, mungkin Oliv malah akan semakin membencinya.

"Ya," jawab Oliv lirih melalui telepon. "Gue mau setelah masuk kuliah nanti, gue udah beneran nggak ada urusan apa-apa sama lo."

"Ya udah kalo itu mau lo, gue juga berterimakasih karena lo udah mau maafin gue. Yang penting lo udah tau kalo gue bener-bener menyesali perbuatan gue dan minta maaf dengan sungguh-sungguh."

Sebelum telepon benar-benar ditutup, Tristan tiba-tiba saja melihat sebuah mobil yang berhenti di depan gerbang kos. Lalu tak lama setelahnya, sang penegemudi turun dari sana. Tristan sedikit terkejut saat mengetahui siapa orang itu. Pandangan mereka bahkan sudah bertubrukan sekarang.

Tristan tersenyum tipis. "Semoga lo bahagia, Liv." Dan setelahnya, ia pun memutuskan sambungan.

Kini, waktunya Tristan berurusan dengan pacar dari perempuan yang baru saja di teleponnya. Tapi sayang sekali, Tristan tidak mengetahui namanya.

"Ngapain lo di sini?" Adalah kalimat pertama yang terlontar dari pacar Oliv.

Tristan terkekeh sinis. "Cuma melakukan penebusan dosa, walaupun sebenernya gue masih belum bisa diampuni," jawabnya dengan kata-kata yang membuat laki-laki di hadapannya tak mengerti. "Tapi untungnya pacar lo berhati malaikat, gue jadi sedikit lebih lega sekarang."

Tristan maju selangkah lalu menepuk-nepuk lengan laki-laki itu. "Jagain Oliv, jangan sampe lo nyakitin dia. Dia udah sial duluan karena sempet deket sama cowok brengsek kayak gue. Jadi gue harap, ke depannya lo bakal terus bahagiain dia."

Laki-laki di depannya memandang Tristan datar. Tapi Tristan sadar betul bahwa di dalam dadanya, emosinya tengah terbakar. "Sebenernya apa yang udah lo lakuin ke Oliv?" tanya laki-laki itu kemudian.

"Oh, rupanya Oliv belum cerita apa-apa ke lo?" Tristan tersenyum misterius. "Bagus deh. Tapi sekarang gue mau pulang dengan selamat, jadi lo bisa tanya langsung ke Oliv nanti."

Sebelum benar-benar pergi, Tristan kembali melanjutkan kalimatnya, "Tapi omong-omong, apa hubungan lo sama Oliv lagi nggak baik?"

"Maksud lo?"

"Lo sebagai pacarnya nggak tau kalo Oliv udah pindah kosan apa gimana?"

(2 Juli 2021)

Hey, Olivia! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang