bagian tiga puluh (tamat)

4.1K 355 25
                                    

Selama perjalanan menuju kos, tidak ada percakapan yang terjadi antara Oliv dan Arlan. Bukannya canggung, tapi Oliv betul-betul tidak tahu harus berkomentar seperti apa setelah menyadari bahwa apa yang dikatakan oleh Arlan justru adalah kisahnya sendiri. Kisah yang berakhir dengan meninggalkan luka mendalam bagi Arlan.

Bagaimana bisa laki-laki itu tetap terlihat baik-baik saja seolah cerita itu tidak membangkitkan memori lama yang sesungguhnya sangat ingin dilupakan?

Kini mereka sudah sampai di kos Oliv. Perempuan itu tidak langsung masuk, Arlan sendiri pun tidak menyuruhnya begitu, seolah keduanya masih membutuhkan waktu untuk berdua tetapi tak ada satupun dari mereka yang mengatakannya.

Ayo Liv, ngomong sesuatu dong, batin Oliv, mendorong dirinya sendiri agar tidak hanya berdiam diri saja seperti itu, meskipun ia tak tahu kata-kata seperti apa yang ingin Arlan dengar saat ini. Sebab laki-laki itu tampak tak perlu dihibur sama sekali mengingat kejadian itu sudah terjadi beberapa yang bulan.

"Arlan," panggil Oliv ragu-ragu. "Gue ... boleh nanya sesuatu?"

Arlan tersenyum tipis, lalu mengangguk. Jika dilihat dari wajahnya, laki-laki bertubuh tinggi itu sepertinya menunggu Oliv melakukan hal tersebut sejak tadi. "Boleh, tanya aja," tukas Arlan kemudian.

Oliv menghirup napas sejenak seraya menatap Arlan lamat-lamat. "Kalo emang itu alasan lo putus sama Friska, kenapa kalian bisa tetep berhubungan baik seolah nggak ada apa-apa? Bukannya ... apa yang Friska lakuin itu pasti nyakitin banget ya, buat lo?"

Sejenak Arlan tergeming, tampak memikirkan sesuatu. Lalu laki-laki itu pun membalas, "Apa yang dia lakuin emang nyakitin. Awalnya gue bahkan berpikir kalo gue nggak akan bisa maafin dia. Tapi gue harus, karena itu salah satu cara supaya gue bisa move on," jelas Arlan dengan pandangan menerawang. "Lagipula, sebelum jadi pacar dan mantan, Friska itu salah satu temen baik gue. Seenggaknya, karena hal itu, gue jadi nggak sampe membenci dia. Sayangnya, gara-gara itu Friska malah jadi mikir kalo setelah itu gue sama dia bisa balik kayak dulu lagi. Tapi gue nggak bisa. Jadi gue tetap berusaha buat membatasi diri, mau seberapa besar usaha dia buat deketin gue lagi. Tapi ternyata keliatannya malah sebaliknya, ya?"

Oliv mengangguk pelan. "Iya, lo sama dia malah kelihatan akrab kayak nggak ada masalah apa-apa," ungkapnya dengan jujur. "Em, gue nggak ada maksud apa-apa nih ya. Tapi kalo lo kayak gitu, bukannya malah jadi meninggikan harapan dia buat balik lagi sama lo, ya?"

"Mungkin," kata Arlan. Kemudian senyum masamnya terpatri di bibir. "Tapi gue tetep nggak akan mau. Seenggaknya Friska harus tau diri sedikit lah, karena dia sendiri yang udah ngancurin semuanya. Gue bahkan masih berbaik hati buat nutupin kesalahan dia di depan orang-orang. Kalo mereka pada tau alasan gue putus sama Friska gara-gara dia selingkuh, mungkin dia nggak akan bisa hidup tenang sekarang. Gue bisa aja pake senjata itu seandainya dia berharap lebih."

"Lo udah terlalu baik kalo sampe segitunya sih, Lan."

"Itu hal terakhir yang bisa gue lakuin sebagai temannya. Liat dia jadi bahan omongan orang nggak akan bikin gue jadi lega juga, Liv."

"Apa jangan-jangan itu karena lo masih sayang sama dia, ya?"

Arlan langsung terdiam, begitu pula dengan Oliv yang langsung menyadari bahwa ia telah melontarkan kalimat yang tidak seharusnya ia suarakan begitu saja. Perempuan itu sontak melotot panik. "Eh, ng-nggak, maksud gue bukan kayak gitu!" elaknya dengan cepat.

Sementara itu, Arlan tak kuasa menahan senyumnya. Kedua tangannya lalu terangkat untuk mencubit pipi Oliv. Wajah panik itu membuat Arlan jadi gemas sendiri. "Kalo bukan kayak gitu, terus maksud lo gimana, hm?" tanya Arlan. Laki-laki itu terkekeh mendengar Oliv yang mengaduh dan menggerutu sebal, kemudian ia pun melepaskan cubitannya. "Jujur aja, waktu itu mungkin iya, karena gue masih sayang sama dia. Lo pasti tau move on itu nggak gampang, 'kan? Tapi sekarang, itu murni cuma karena rasa simpati gue terhadap seorang teman aja."

Hey, Olivia! [END]Onde histórias criam vida. Descubra agora