7 - Laut Tengah

28.7K 5.3K 169
                                    

"Biarkan aku yang menjadi wasilah ketaatanmu pada-Nya. Hanya dengan cara itu aku dapat mengharap surga-Nya."

-Laut Tengah-


"Ayo, dong, Suriah ... ini sudah jam berapa ...?"

"Suri enggak mau pakai kerudung!" Sejak satu jam yang lalu Aisa merayu putrinya untuk mengenakan kerudungnya. Sehelai kain itu selalu menjadi sumber permasalahan Suriah setiap berangkat sekolah.

"Kenapa sih, Sayang? Bunda aja pakai kerudung," tunjuk Aisa pada kain yang menutupi rambut indahnya. Suriah memang tidak sekolah di taman kanak-kanak yang menggunakan kurikulum agama Islam. Apalagi di Korea hanya hitungan jari sekolah Islam didirikan dan semuanya jauh dari tempat tinggal mereka. Akan tetapi, Aisa ingin Suriah mengenal perintah Tuhannya sejak dini. Dengan harapan saat nanti Suriah menginjak usia baligh*, dia sudah terbiasa menjalankan kewajibannya yang satu ini.

Aisa berjongkok dan menangkup bahu Suriah. "Suri sudah mulai besar, harus dibiasakan, ya ..." ujar Aisa.

Suriah terus menggeleng dengan mata yang sudah berkaca-kaca.

"Kalau selama ini kita salat, Suri kan juga pakai mukena. Ini sama aja, Nak." Aisa mencoba pelan-pelan mengikat rambut panjang anaknya lalu mulai memasangkan kerudung warna salem di kepala Suriah.

"Tuh, lihat deh di cermin. Anak Bunda cantik pakai kerudung," ujar Aisa memutar badan Suriah menghadap cermin.

Suriah tidak tersenyum sedikit pun mendengar pujian sang Bunda. Ada rasa kesal melihat kain di kepalanya. Suriah melepas kerudung yang belum ada beberapa menit bertengger di kepala dan melemparnya. "Hijab eul shireo! Jinja shireo!" (Aku tidak suka pakai kerudung!)

"Astaghfirullah, Suriah!" teriak Aisa dengan mata membulat dan mengelus dada. 

"Siapa yang ajarin Suriah kayak gitu? Jawab Bunda!" seru Aisa menatap lekat kedua mata putrinya.

Seketika tangis Suriah pecah. Melihat bulir-bulir air mata membasahi pipi chubby Suriah, hati Aisa melunak meski emosi terus mendesak dadanya.

"Bunda cuma minta Suri pakai kerudung, apa susahnya, Nak?" tanya Aisa dengan suara yang ia lembutkan berharap hati anaknya melunak. Bukannya membaik, tangis Suriah semakin kencang.

"Suri enggak mau, Bunda! Aku enggak suka!" seru Suriah sambil melepaskan kedua tangan Aisa yang menangkup bahunya.

Aisa hanya memejamkan mata, menarik napas panjang, dan mengembuskannya perlahan. Setetes cairan bening membasahi pipinya. Melihat perilaku Suriah, sebuah adegan kembali berputar di otanya. Momen di mana ia melahirkan Suriah empat tahun setengah yang lalu. Sekarang bayi kecil itu mulai tumbuh dewasa dan sedikit demi sedikit sudah bisa menyatakan pendapat untuk melawannya.

"Astaghfirullah hal 'adzim ...."

"Astaghfirullah hal 'adzim ..." ucap Aisa berulang kali.

Aisa memungut kerudung mungil yang terjatuh di lantai sambil terus mengucap permohonan ampun. Lupakan soal kerudung dan mobil jemputan sekolah Suriah yang sebentar lagi akan datang. Aisa memutuskan untuk keluar dari kamar Suriah mencari ketenangan. 

***

"Terima kasih sudah mengantarkan saya sampai sini," ujar Haia.

"Sama-sama. Kalau begitu, saya duluan karena sudah ada janji dengan seseorang," ujar Haneul.

"Oh ... iya. Saya juga ada janji dengan seseorang di Kantor Urusan Internasional," timpal Haia.

Haneul menatap Haia bingung. "Kebetulan yang aneh ... tapi saya juga ingin ke sana. Kalau begitu, ayo kita ke sana bersama," ajak Haneul.

LAUT TENGAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang