8 - Laut Tengah

29.8K 5.2K 296
                                    

"Setiap manusia memiliki masa lalunya. Hanya saja, tak semua kenangan itu sama. Ada yang membekas indah, tapi tak jarang ada yang menoreh luka."

-Laut Tengah-


Jakarta, lima tahun yang lalu

"Udah berapa kali gue bilang sama lo? Jangan ganggu gue!" maki seorang anak perempuan dengan seragam batik dan bawahan putih rimpel panjang. 

"Gue nggak ganggu kok. Gue cuma mau kenalan sama lo," sahut laki-laki dengan sepatu sneakers putih cengengesan.

Haia mempercepat langkah, bahkan setengah berlari menelusuri lorong sekolah. Untuk kali ini dia menyesal mendapatkan beasiswa di SMA bertaraf internasional terbaik se-DKI Jakarta. Karena dengan sekolah di sini, dia harus bertemu anak laki-laki yang sangat menyebalkan! Dia adalah Zidan Gibraltar, siswa laki-laki kluster sosial dengan mata belo, berhidung mancung, beralis tebal khas anak laki-laki keturunan Timur Tengah pada umumnya. 

Sejak hari pertama sekolah, anak itu selalu mengganggunya. Mulai dari  buku tulis Haia yang disembunyikan sampai mengikuti kemana pun gadis mungil itu pergi saat jam istirahat. Dan semua Zidan lakukan hingga hari ini, yaitu tahun kedua masa SMA.

"Berhenti, Ayla! Nanti lo capek kalau lari terus!" teriak Zidan tersenyum simpul.

"Bodo amaaaaat!!!" timpal Haia tergopoh-gopoh membawa tumpukan buku, sedangkan embusan angin mengganggu rambutnya yang tergerai bebas. Hal ini membuat Haia harus menyeka rambut berulang-ulang dengan lengannya.

Semakin Haia kesal, maka jiwa jahil dalam diri Zidan juga membesar. Haia yang marah-marah selalu terlihat cantik di matanya. Apalagi pipi Haia memerah karena kepanasan di siang bolong jam istirahat kedua.

Dua anak manusia itu masih terus berkejaran meski si anak laki-laki sengaja tidak benar-benar mengejarnya. Beberapa orang menatap Zidan dengan tatapan heran. Apa yang menarik dari gadis penerima beasiswa itu? Sepatu hitam bertali dengan tambalan di beberapa sisi, menunjukkan kalau Haia tidak dapat mengikuti tren yang sedang berkembang. Rambut lepek karena keringat pada bagian depan dan potongan rambut sebahu model rata, jelas menunjukkan anak itu tidak mengenal salon, catokan, atau blow rambut.

"Jangan lari-lari, Ayla! Nanti lo jatuh dan itu bikin gue sedih!"

"Beriiisssiiikkk!!!"

Haia semakin mendengus kesal. Dia malu karena banyak orang melihat ke arahnya. Zidan terlalu populer untuk berdekatan dengan seorang Haia--gadis penerima beasiswa yang bekerja paruh waktu sebagai pengasuh bayi, membantu bibinya setiap pulang sekolah.

Tiba-tiba dari arah yang berlawanan, ada anak-anak tim basket sekolah mereka yang berlari terbirit-birit karena peluit pelatih telah berbunyi nyaring di lapangan.

"Buruan, woi! Gue nggak mau dihukum!" teriak salah satu anak dengan pengikat kepala dan bola basket di tangan. 

Seolah ucapan Zidan adalah doa, salah satu anak dengan jersey warna abu-abu menabrak Haia cukup keras. 

BRUK!

Kalau saja tangan Haia tidak spontan memegang tembok, dia pasti sudah jatuh bersama dengan buku-bukunya yang terlepas dari genggaman. 

"Eh, Ma-maaf, gue buru-buru," ucap anak laki-laki yang menabrak Haia. 

Haia mendecak sebal. Ini semua gara-gara Zidan, batinnya. Kalau saja Zidan tidak terus membuntutinya, Haia pasti lebih hati-hati dan dapat berjalan dengan santai.

"Jatuh, kan? Gue bilang juga apa," ujar Zidan menghampiri Haia. 

"Bukunya kali yang jat-- Aw!" Haia meringis saat ingin mengangkat tangan untuk membereskan buku. Haia mengangkat tangannya perlahan, sedangkan Zidan terkejut melihat lengan Haia yang sedikit tersingkap berwarna merah kebiruan seperti habis dipukul oleh benda tumpul.

LAUT TENGAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang