BAB - 26

5.5K 412 13
                                    

SELAMAT MEMBACA

"Jika pergi adalah jalan terakhir, maka aku hanya berharap satu, agar dapat mengulang kembali waktu kala bertemu."

Malam itu adalah malam yang cukup menarik bagi Nada.

Malam yang tak bisa ia gambarkan dengan kata-kata. Mencekam, prihatin sekaligus menyedihkan. Namun ia tak bisa berbohong, ia cukup senang karena bisa bersama Fadil lagi.

Beruntung, kini Fadil sudah membaik. Lebih baik dari sebelumnya, kepalanya sudah tidak merasakan pusing, meskipun sedikit masih terasa.

Di bawah lampu jalan yang sudah tua dan remang, menerangi jalan raya serta pohon besar di sampingnya, Fadil dan Nada berjalan berdampingan.

Beruntung imam masjid membolehkan Fadil untuk meminjam sarung dan baju kokoh, sehingga penampilan Fadil tidak terlalu buruk.

Sekarang tujuan mereka berdua adalah kembali ke club malam itu, bukan tanpa alasan, mereka hanya ingin mengambil mobil yang tertinggal di sana. Itu saja.

Keadaan cukup canggung, tidak ada yang berbicara antara satu sama lain. Namun sudah menjadi keahlian bagi Nada untuk membuat celah pembicaraan.

"Ehem, Pak?"

Fadil menoleh, namun kakinya masih setia melangkah. "Iya?" jawabnya tersadar dari lamunan kecilnya.

"Bapak, sudah sadar beneran?"

Pria itu kembali memalingkan wajahnya ke depan, seraya mengangguk. "Iya, sudah mendingan, masih pusing sedikit," ujarnya sambil mengacungkan jari kelingking.

Nada mengangguk. "Owhh ... alhamdulillah, masih mau ngulang?" tanya Nada dengan gaya bicara mengejek.

"Kalo ada kesempatan, kenapa tidak?"

Mendengar jawaban itu, sontak membuat Nada mengerutkan dahinya sebal. "Ihh Bapak, untung tadi saya lewat, jadi bisa nolongin Bapak, kalo saya gak lewat, gak tau deh gimana kabar Bapak sekarang," pungkas Nada dengan menyilangkan kedua tangannya ke dada.

Fadil terkekeh pelan dibuatnya, kini senyumannya merekah lebar. "Iya-iya, saya gak akan ngulangin kesalahan yang sama," ucapnya.

"Janji?" tanya Nada berusaha meyakinkan sambil mengacungkan jari kelingkingnya ke arah Fadil.

"Iya, janji," jawab Fadil, namun tidak mengaitkan jari kelingkingnya dengan jari Nada.

"Loh? Kok gak dikaitin jarinya?" tanya Nada heran.

"Bukan muhrim," jawab Fadil singkat.

"Ya halalin dong ... HEH? Eng–anu, maksudnya ... alhamdulillah, sudah sampe, ayo Pak naik mobil, udah malem nih." Tanpa melihat raut wajah Fadil, Nada langsung berlari menghampiri benda putih di hadapannya.

Di belakang, Fadil yang terhenti langkahnya, hanya menggeleng-gelengkan kepalanya sambil terus-terusan tersenyum. "In syaa Allah," gumamnya pelan.

Dikhitbah Pak DosenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang