BAB - 32

5.8K 392 9
                                    

SELAMAT MEMBACA

"Sial, kenapa harus mimpi yang sangat indah?"

Setelah memakan semuanya. Serta menghabiskan waktu selama satu jam, kini giliran mereka untuk berkeliling sekitar mall sejenak.

Sebenarnya ini bukanlah kehendak Fadil, melainkan Nada. Fadil hanya pasrah menuruti. Toh, tidak ada kerjaan lagi yang perlu ia selesaikan.

Nada berjalan lebih dulu di depan, langkahnya tampak sangat senang, sedikit berjingkrak dan tangan yang tak berhenti berayun layaknya anak kecil.

Fadil hanya menggeleng melihat tingkah muridnya, sangat gemas.

"Pak, saya mau pergi ke toko buku sebentar, boleh?" tanya Nada hati-hati, takut kalau Fadil melarangnya.

Sejenak Fadil menghela napasnya pelan, lalu mengangguk. "Silakan."

Nada tersenyum girang mendengarnya.

Kini tumpukan buku mengelilingi mereka berdua, baik itu buku fiksi maupun non fiksi.

Mata Nada tak berhenti dari pandangannya yang lekat pada barisan novel yang berjejer di rak buku besar.

Kakinya melangkah begitu saja, seolah ada angin yang membawanya ke sana.

"Woah, perasaan baru kemarin deh dicetak novelnya, udah best seller aja." Tangan Nada mengelus buku bersegel tersebut.

"Beli saja, saya yang bayar."

Kaget, Nada menoleh ke belakang. "Serius, Pak?" tanyanya memastikan.

Fadil mengangguk. "Iya."

"Serius?" tanya Nada sekali lagi, ia takut jika telinganya salah mendengar.

Fadil tampak memejamkan matanya, lalu membuang napas pelan, dan tersenyum singkat. "Iya, Nada, silakan ambil."

"Eh?" Nada tampak aneh, bukan tanpa sebab, tidak biasanya Fadil bersikap seperti ini.

Tapi karena rasa senangnya yang sudah membara, ia mengangguk dan mengambil beberapa buku yang ingin ia bawa pulang, tanpa memikirkan sikap Fadil yang berubah.

***

"Totalnya dua ratus lima puluh ribu, Kak."

"Ini," ujar Fadil sembari memberikan uang pas.

"Terima kasih," ucap kasir tersebut dengan ramah.

Fadil mengangguk. Setelah selesai membayar semuanya, kini Fadil kembali menoleh ke Nada yang tampak sibuk dengan novel-novel barunya.

"Seneng?"

Nada medongakkan kepala menatap dosennya yang tentu lebih tinggi sepuluh senti darinya. "Banget!" serunya seraya mengangguk.

Fadil ikut tersenyum tipis, sangat tipis, bahkan orang pun tak kan mengetahui jika itu adalah sebuah senyuman.

"Mau ke mana lagi?" tanya Fadil basa-basi.

Dikhitbah Pak DosenWhere stories live. Discover now