Bagian 12

25 4 0
                                    

Di kamar Gia, Mbak Tini sedang menyisir rambut Gia sementara Gia memulas make up sambil duduk di depan cermin. Mempersiapkan diri untuk berangkat ke kampus pagi ini.

"Non Gia, Mbak perhatikan sudah beberapa hari ini ceria terus. Mbak senang lihatnya," kata Mbak Tini.

"Hehe... masa sih?" Gia tersenyum.

"Iya, biasanya Non Gia kalau pulang kerja atau mau berangkat kuliah mukanya ditekuk, nggak semangat."

"Mbak Tini tahu nggak?" Gia menoleh ke belakang menatap Mbak Tini yang sudah berhenti menyisir rambutnya, "Sekarang Gia punya teman di kampus," Gia tersenyum lebar memamerkan barisan giginya.

"Wah, orangnya seperti apa, Non?" ucap Mbak Tini penasaran.

"Namanya Lisa, kami satu fakultas tapi be0da jurusan kuliah. Anaknya manis, dia suka pakai celana jin dan kaus polos yang dilapis jaket. Ramaaaaah banget, tapi cuek sama omongan orang. Aku merasa nyambung dan nyaman ngobrol sama dia," Gia menjelaskan tentang Lisa dengan perasaan senang, seperti anak kecil yang menceritakan hari pertamanya di sekolah.

"Mbak beryukur banget kalau begitu," kata Mbak Tini tulus.

"Ternyata betul kata Mbak Tini, Tuhan tuh selalu baik, ya?" ucap Gia.

Mbak Tini tersenyum.

"Kalau Aku mau melihat lebih luas, Tuhan juga mengirimkan orang-orang baik di sekitarku. Ada Mbak Tini, Pak Anto, Pak Amin, dan sekarang Lisa, juga Banyu," Gia bicara sambil menatap wajah Mbak Tini.

"Banyu?" Mbak Tini merasa asing dengan nama Banyu yang disebut Gia.

"Hm... temanku juga," kata Gia sambil tersenyum.

Mbak Tini mengangguk. Mbak Tini yang sudah bersama Gia hampir seumur hidup Gia sampai hari ini, paham bahwa senyum gadis yang diasuhnya sejak bayi ini menunjukan ekspresi berbeda ketika menyebut nama Banyu. Tapi Mbak Tini tidak ingin bertanya banyak. Melihat Gia tersenyum setulus itu saja hatinya sudah hangat dan senang.

"Aku belajar banyak tentang hidup dari Lisa dan Banyu, walaupun kami baru mengenal kurang lebih sebulan ini. Aku sadar, selama ini terlalu overthinking dan membuat hidupku terasa semakin berat. Mungkin overthinking ini nggak bisa hilang dalam semalam, tapi aku harus belajar membuat diriku lebih nyaman," Gia tersenyum, sambil menatap cermin lagi dan memulaskan lipcream warna peach tipis di bibirnya.

**

Gia sudah berangkat ke kampus di antar Pak Anto, hari ini ada kuliah pagi. Mbak Tini menunggu di depan rumah sampai mobil yang dikendari Pak Anto menjauh. Bertepatan dengan itu, seorang loper koran bersepeda melemparkan segulung surat kabar yang terbit hari ini. Mbak Tini segera mengambilnya sebelum menutup gerbang rumah.

Sekilas Mbak Tini membaca headline di koran:

Digadang Sebagai Calon Presiden Ternyata Terlibat Kasus Asusila pada Seorang Wartawan Wanita!

Mata Mbak Tini membulat membaca headline tersebut. Buru-buru koran itu dibawanya ke dapur dan dimasukkan ke dalam laci paling bawah tempatnya menyimpan bumbu dapur.

"Nyonya dan Non Gia jangan sampai baca koran ini," kata Mbak Tini sambil mengelus dadanya.

Baru juga pagi tadi melihat senyum merekah di wajah Gia, sekarang ujian baru apa lagi untuk keluarga ini? Mbak Tini dalam hati sambil membuang napas panjang.

Mbak Tini mengenal Tuannya dengan baik, Pak Prasaji memang sering bermain perempuan bahkan sejak Mama mengandung Gia. Perempuan silih berganti menjadi pasangan gelap Papa. Dengan uang yang melimpah Papa merasa bisa bermain dengan wanita mana saja yang dia suka untuk bersenang-senang.

Buku Harian BahagiaWhere stories live. Discover now