Bab 29: A Lie?

3.8K 451 48
                                    

Aku mencintaimu, Jeonghan.

Jika ucapan itu adalah kebohongan, berarti Seungcheol adalah aktor yang hebat.

Bagaimana mungkin dia bisa mengutarakan cinta seperti seorang penyair menyuarakan kalbu? Bagaimana bisa kedua mata itu berpendar bagaikan angkasa malam berbintang setiap kali menatapnya?

Jeonghan tak bisa berkutik. Pelipisnya berkedut memikirkan ucapan Dongguk. Meski tak ingin memercayai pria itu, entah mengapa ucapannya terdengar sangat meyakinkan, seolah Choi Seungcheol memang merupakan penipu ulung yang berhasil membodohinya.

Melihat Jeonghan membisu, Dongguk mengerahkan keberanian untuk mendekat. "J-Jeonghan, ada alasan mengapa aku menguntitmu dulu. Aku...aku menyukaimu sejak pertama kali melihatmu. Perasaanku tulus, dan..dan aku yakin bisa membahagiakanmu lebih dari Seungcheol. Jadi, tolong biarkan aku--"

Namun ternyata perkiraan Dongguk meleset. Belum sempat ucapan itu tuntas, sebuah layangan tinju kembali menghempas tubuhnya ke permukaan tanah.

"Kau memang sinting. Bagaimana caranya kau merekam pembicaraan itu? Dasar penguntit menjijikkan!" hardik Jeonghan penuh amarah.

Dongguk yang syok kehabisan kata-kata. "J-Jeonghan...itu...aku..."

"Mulai sekarang jangan muncul lagi di hadapanku. Atau aku akan membunuhmu!" bentak Jeonghan keras sebelum berbalik meninggalkan tempat itu.

Niatnya untuk bersenang-senang telah lenyap. Dia memilih melangkah kembali ke parkiran dan memasuki mobilnya. Namun dia tidak menjalankan mobil itu, melainkan hanya duduk bergeming dalam keheningan mencekam.

Jeonghan menyandarkan kepalanya pada bangku mobil. Nafasnya berhembus berat. Entah apa dan siapa yang harus dia percaya saat itu. Entah apa yang harus dia lakukan setelah ini. Bagaimana dia harus berhadapan dengan Seungcheol dan meminta penjelasan darinya? Bagaimana jika yang dikatakan Dongguk adalah kebenaran?

Mendadak ponsel di saku celananya berdering nyaring. Rasa takut menyerang saat dia melihat nama yang tertera di layar ponsel itu: Choi Seungcheol menghubunginya.

"Halo...?" Jeonghan menjawab panggilan dengan canggung.

"Jeonghan, kau sudah pulang?"

Kalau saja tadi dia tidak mendengar bualan Dongguk, mungkin saat ini dia tidak perlu menyembunyikan getaran pada suaranya. "Belum...kau sendiri?"

Terdengar samar suara keramaian dari panggilan seberang. Jeonghan menduga pria itu tidak berada di kantor. Dan benar saja dugaannya. "Aku sepertinya akan pulang larut malam. Sekarang aku berada di bandara bersama Eunjung."

Nama gadis itu terucap pada saat yang salah. Memperparah kegundahannya. "Bandara? Kalian sedang apa...?"

"Begini, Eunjung harus segera pulang ke Daegu karena mendadak ibunya meninggal dunia. Kebetulan aku sedang bersamanya, jadi sekalian saja aku mengantarnya ke bandara."

Tanpa Jeonghan sadari kedua tangannya mengepal kuat, namun dia tidak berkomentar dan tetap bergeming.

"Besok aku akan menyusul ke Daegu untuk melayat. Kau mau ikut?" Seungcheol menawarkan.

Jeonghan menahan nafas. Dia menyingkap poninya dan beranjak gelisah memikirkan jawaban. Lagi-lagi takdir tidak berpihak padanya. Besok ada meeting penting yang sama sekali tidak bisa dibatalkan. "Besok...aku ada meeting dengan client."

"Oh, sayang sekali. Ya sudah kalau begitu."

"Jadi besok... kau akan berangkat sendiri?"

"Hmm...mungkin bersama Mingyu. Ada apa?"

My Long Time AdmirerWhere stories live. Discover now