Jilid 37

10.9K 1K 105
                                    

Kala mengembuskan napas panjang. Ia mengeratkan pegangan pada tali tote bag miliknya. Dirinya keluar mobil perlahan, memantapkan diri kalau ini adalah inginnya terakhir kali. Setelah mengucapkan banyak terima kasih karena pria paruh baya itu mau meluangkan waktu untuknya.

"Bapak khawatir sama Mbak Kala. Saya juga enggak repot, kok," katanya yang semakin membuat Kala tak enak hati. Seharusnya minggu adalah waktu liburnya. Pak Ahmad diminta mengantar dan menunggu Kala, sesuai dengan perintah sang majikan. Tadinya ia menolak, namun Daru selalu punya cara agar Kala bungkam.

Daru bilang, "Jakarta luas. Nanti Mbak Kala nyasar. Lebih baik diantar dan ditunggu. Enggak lama, kan, bertemu Pak Janu?"

Belum lagi ia harus membujuk Sheryl agar tidak ikut. Bukan hal yang mudah mengingat hampir setiap hari Kala bersamanya. Persis seperti perangko, lengket tak bisa dipisahkan. Ia berjanji setelah selesai dengan urusannya, ia akan menemani Sheryl berenang. Juga membuat cookies dengan taburan choco chips warna warni.

Sheryl akhirnya setuju dan melepas pengasuhnya pergi dengan mata berkaca-kaca.

Diedarkan pandangan menikmati interior resto steak pilihan Janu. Seperti yang masih Kala ingat, pria itu selalu menyukai hal-hal berbau modern termasuk pemilihan tempat makan. Kala diarahkan pada satu spot yang cukup nyaman. Berada di sudut sesuai dengan tempat yang sudah direservasi oleh Janu.

Ia meneguk ludah lamat-lamat saat melihat dari kejauhan, sosok itu sudah ada di sana. Kala mengucapkan terima kasih pada pelayan yang mengantarnya setelah jarak dirasa aman untuk sekadar menguatkan hati sekali lagi.

Bismillah.

Saat Janu menoleh, ia mendapati wanita yang akhir-akhir ini memenuhi kepalanya. Kala Mantari. Dulu, Janu selalu mengingat bibir tipis berwarna merah muda itu selalu tersenyum manis ketika mata mereka saling bersitatap. Belum lagi rona kemerahan akibat malu yang selalu muncul di kedua pipi wanita itu saat dirinya memuji, betapa cantik paras wanita itu.

Akan tetapi, senyum itu kali tak ada. Rona di pipinya pun pudar.

"Maaf kalau tunggu lama." Kala duduk tanpa perlu dipersilakan.

"Kamu mau makan apa? Saya sudah pesankan Tenderloin well done with barbeque sauce. Juga orange juice seperti yang kamu suka. Iya, kan?"

"Enggak perlu." Kala memejamkan mata sebentar. Menormalkan semua aliran darah yang amblas meninggalkan raganya. Pria itu masih juga ingat tentangnya. Apa ia sebercanda itu dengan hidupnya?

"Tapi kamu bilang, kamu mau bicara sama aku. Seenggaknya, kita makan si—"

Kala mendengkus dan segera menyela. "Hal yang mau saya bicarakan enggak sampai membuat minum Anda habis, Pak Janu."

Janu terkesiap. Suaranya yang lembut hilang sudah. Berganti dengan nada demikian dingin juga tegas. Mendadak Janu merasa, Kala seperti berganti kepribadian. Sepanjang perjalanan ke tempat ini, ia sudah merancang banyak pertanyaan untuk Kala. Namun semua hal yang ingin ia lontar, lindap dimakan harap.

Pria itu berdeham pelan. "Apa yang mau kamu bicarakan, Tari?" Matanya kini menatap wanita itu lekat-lekat. Netra yang dulu bersinar hangat juga meneduhkan itu, sudah tak tersisa lagi. Janu benci hal ini terjadi. Namun kebenciannya semakin besar karena ia sadar, dirinya lah yang membuat wanita itu redup.

Lalu sebuah amplop besar disodorkan sang wanita. Membuat Janu mengerutkan kening. "Ini apa, Tari?" Tangannya segera membuka dan mengeluarkan isinya. Matanya hampir loncat saking terkejutnya. "Maksudnya apa, Tari?"

Sertifikat rumah yang dibangun sesuai keinginan sang wanita. Janu menghadiahinya sebagai bentuk cinta akan pernikahan mereka.

"Tari, tolong jelaskan maksud semua ini apa." Janu merapikan kembali isi amplop dan menyodorkan balik pada sang wanita.

"Saya kembalikan semuanya, Pak Janu."

Janu mengerjap pelan.

"Seperti saya kembalikan semua yang pernah kamu beri pada hidup saya. Kecuali kesakitan dan patah hati, saya enggak memiliki itu."

Tangan Janu terkepal kuat hingga buku jarinya menutih di balik meja. Napasnya megap-megap. "Tapi ini milik kamu."

Kala berdecih pelan. "Milik saya? Dengan segala kenangan yang membuat saya rasanya mau mati?" Ia menggeleng pelan. "Saya enggak butuh."

Ada jeda sejenak di antara mereka sebelum Janu akhirnya berani bersuara. "Tapi ini benar-benar saya buat untuk kamu, Tari. Dengan cinta."

Kala memberanikan diri tersenyum walau sekali lagi hatinya dihantam telak karena kata-kata tadi. Dengan cinta katanya?! "Saya sudah enggak butuh cinta Anda, Pak. Saya sanggup kembalikan semua yang pernah Bapak beri bagi hidup saya. Termasuk cinta Anda. Tanpa terkecuali."

"Karena saya yakin, Anda enggak akan sanggup mengembalikan apa yang sudah saya beri pada hidup Anda." Kala bangkit. Sebelum pertahanannya runtuh karena terlalu lama berada di depan Janu. Ia takut, lemahnya akan memberi pengampunan pada sosok pria yang pernah bertahta dalam hatinya.

Janu kehilangan kata-kata.

Dirinya hanya bisa menatap punggung Kala yang kian menjauh. Tanpa sadar, air matanya menitik. Menyisakan penyesalan yang menyeruduknya tanpa ampun. Tidak. Tidak. Ia tak boleh menyerah sekarang. Pengampunan Kala adalah prioritasnya. Tanpa berpikir, ia bergegas menyusul wanita tadi.

Akan tetapi, Tuhan sedang tidak berbaik hati padanya. Kala hilang ditelan sedan mewah yang langsung melesat pergi.

***

Selama dua tahun, hari-harinya lebih sering banjir air mata walau disembunyikan dengan rapi oleh Kala. Tangisnya hanya digelar di atas sajadah yang setiap waktu ada dalam kewajibannya. Simpuhnya lebih mengharap agar Tuhannya menegarkan hati yang ia miliki.

Akan tetapi kali ini, semuanya sirna. Pertahanannya roboh. Dalam perjalanan pulang, Kala menangis. Tak peduli jika seandainya nanti pria yang menyetir untuknya meluncurkan tanya. Yang ia pedulikan adalah bagaimana cara agar sesak yang mencekiknya mereda. Segala kilas kenangan manis, pahit, terputar dalam kepalanya.

Bagaimana Janu memperlakukannya dengan manis, lembut dan membuatnya terbuai hingga dirinya jatuh sedalam-dalamnya pada pesonanya. Dunianya Kala beri. Pengampunan atas kesalahan-kesalahan Janu ia kasih. Namun semuanya tidak pernah cukup bagi Janu.

Egonya demikian besar hingga ia lupa, Kala bukan Tuhan. Yang bisa dengan ajaib memberi satu anak untuk mengisi kekosongan yang ada. Hati Kala hancur nyaris tak berbentuk ketika dengan lantang ia lah yang paling bersalah atas semuanya. Membuat semua yang pernah Kala banggakan yang ada dalam dirinya, kehilangan sinarnya.

Ingin rasanya memaki, tapi perasaan itu sudah lama mati. Ingin menyumpah pun, bibirnya kelu. Semua yang Janu beri sungguh membuat Kala mati rasa.

"Hamil itu bukan kuasa aku, Mas. Bukan. Juga bukan dijadikan alasan untuk selingkuh dari aku," lirih Kala sembari mengusap lelehan air matanya. Sisa warasnya masih ada untuk mendengar deru mesin mobil ini berhenti. Kala mendongak, menatap lurus jalan di depannya. Perasaannya tidak enak. Mobil ini berhenti?

Matanya langsung menatap kursi pengemudi yang sudah berganti.

"Bapak?!"


****

Aku repost sampai bab 40, ya.

Selebihnya di Karya Karsa, ya, Kakak sekalian.

Awal tahun, perkiraan pertengahan januari insyaallah, aku OPEN PO kembali untuk Bu Kala di mana dengan cover baru.

Bisa dilihat sekarang covernya pasti sudah berganti. Cantik tidak? Hhehehhehehe

(Repost) KALA MANTARITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang