Jilid. 12

34.6K 4K 107
                                    

Kala tak mungkin tak bercerita mengenai apa yang terjadi pada nona mudanya. Terutama ini sudah kedua kalinya, hal yang sama terjadi. Beruntungnya Sheryl hari ini, ia tak mengikuti intra renang. Hanya mengisi essai sebagai pengganti seperti yang dikatakan gadis itu pada pengasuhnya.

Mungkin karena cerita itu lah, kini Kala berada di sini. Setelah dipersilakan masuk oleh si pemilik ruangan, Kala berjalan perlahan. Ruangan yang menjadi ruang pribadi seorang Anna Susetyo. Sering Kala melewati pintu besar berukir ini namun, baru sekarang ia memasukinya.

Kala disuguhi pemandangan surgawi di sini. Taman di dalam ruangan dengan banyak bunga, rak susun sukulen, juga kolam ikan yang gemericik airnya menenangkan jiwa. Mungkin jika Kala berlama-lama di sini, ia bisa terlelap tidur tanpa ada keinginan untuk bangun lagi. Saking menyenangkannya sudut ini dibuat.

"Duduk sini, Nak."

Kala tersenyum. Suara itu demikian hangat, seolah sedang ingin bicara dengan orang terdekatnya. Padahal siapa Kala? Hanya pengasuh. Tak lupa nampan berisi camilan memang sengaja Kala bawa sebagai sajian. "Teh melati juga cookies rendah gula untuk Ibu."

"Terima kasih. Ibu akhirnya nyobain juga kue buatan kamu." Anna terkikik geli. "Biasanya Sheryl langsung bawa toples kuenya ke kamar. Enggak mau berbagi."

Kala canggung dengan bagaimana keramahan ini menyapanya.

"Sheryl sedang apa?" Anna menyesap pelan teh hangat kesukaannya itu. Rasa sedikit manis dan aroma melati yang pas membuatnya memejamkan mata. Menikmati rasa teh itu.

"Tidur siang, Bu."

Dari sudut matanya, Kala memperhatikan bagaimana wanita paruh baya yang masih tegas kecantikannya, menikmati cangkir teh yang disuguhkan. Saat cangkir itu diletakkan, Kala tahu saat itu lah pembicaraan tak lagi santai.

"Miss Rina sudah saya beri tahu. Beliau terkejut dengan cerita dan bukti yang saya dapat dari kamu." Anna membasahi bibir. "Siang tadi saya ke sana. Jumat jadwal Miss Rina enggak terlalu padat. Kami bicara banyak. Sudah lama juga saya enggak ke sekolah Sheryl." Anna menatap pengasuh cucunya lekat-lekat. Seolah informasi ini harus ia bagi pada sosok wanita berambut sebahu itu.

Ada desah pelan lolos dari Anna. "Saya merasa kecolongan dengan kejadian ini, Nak."

"Maafkan saya enggak memberitahu Ibu segera. Saya... Saya..."

"Enggak apa. Saya mengerti. Membuat sebuah tuduhan itu enggak baik. Sekarang, kita menunggu tindakan sekolah seperti apa."

Kala mengangguk walau ragu. "Saya hanya berharap semoga pelakunya segera ditemukan."

Anna menyetujui kata-kata Kala. Begitu tiba di rumah setelah mendapat kabar dari Kala, ia meminta pengasuh cucu tersayangnya menceritakan semuanya tanpa terkecuali. Anna jelas terhenyak mendapati kenyataan seperti itu terjadi pada Sheryl di sekolah. Selama ini? Segala yang telah ia beri?

"Sakit rasanya ada kata-kata yang seharusnya Sheryl enggak perlu tahu. Kamu tanya tentang hal itu pada Sheryl, Nak?"

Kala menggeleng lemah. "Non belum mau bicara lebih jauh. Hanya bilang teman-temannya saja. Enggak menjurus pada satu nama." Dirinya memilih menatap ujung jemari kakinya ketimbang terus bersitatap dengan Anna. "Lagi pula, sikap Non baru melunak, Bu. Sepertinya Non marah pada saya."

"Marah?" tanya Anna cukup heran. "Kenapa?"

Senyum Kala tertarik sedikit, "Saya enggak tepati janji untuk bicara ke Pak Daru, kalau Non memang benar-benar enggak mau ke pesta ulang tahun Anka . Saya enggak mungkin melakukan hal itu."

"Kamu pasti kerepotan, ya, mengimbangi Sheryl?"

Wanita berambut sebahu itu hanya meringis. "Enggak apa, Bu. Lebih baik Non Sheryl keluarkan emosinya ketimbang diam. Saya bingung kalau Non diam."

Entah mengapa Anna mengulurkan tangannya menyentuh rambut pengasuh cucunya itu. Menyematkan sebagian rambut itu pada belahan telinganya. Membuat si pengasuh terkejut dan menatapnya penuh pertimbangan. "Terima kasih sudah mau sabar dengan cucu saya."

Kala menelan ludah besar-besar. "Sama-sama, Bu." Tak ada kata yang pantas terucap selain itu. Suara kucuran air dan riaknya menemani hening yang menyapa mereka. Kala pun Anna tenggelam dalam pikirannya masing-masing.

"Saya undur kembali ke kamar, ya, Bu. Sekalian tengok apa Non Sheryl sudah bangun atau belum." Kala merasa sudah tak ada hal yang mesti dibicarakan. Dirinya bangkit perlahan namun urung dilakukan saat pertanyaan Anna membuatnya beku seketika.

"Kamu sudah punya anak, Nak?" tanya Anna.
***
Kala sudah menyelesaikan serangkaian doa pada Sang Pencipta malam ini. Saat melirik jam dinding, ia menghela napas pelan. Hari ini menjadi hari yang panjang untuk Kala. Akan tetapi, ada bongkah syukur yang benar-benar terucap. Mendapati Sheryl sudah kembali ceria, tertawa riang, pun sikap manja yang tak sungkan Sheryl tunjukkan di depannya. Hingga membuat dirinya menyerah pada permintaan agar setelah membeli komik, mereka menghabiskan sedikit waktu di area bermain.

Wanita itu tersenyum sembari menengadah pada langit kamarnya. Lalu teringat, dirinya belum meminum susu seperti kebiasaannya sebelum tidur. Sedikit bergegas, ia menuju dapur. Satu hal yang tidak ia persiapkan, majikannya ada di sana. Duduk di kursi yang biasa diduduki pria itu setiap kali makan bersama keluarganya. Ingin kabur dengan segera namun, keburu dipanggil.

"Lho, Mbak... kok, berbalik?"

Kala memejamkan mata sejenak.

"Mau buat susu?"

Tak ada yang bisa dilakukan kecuali mengangguk.

"Kebetulan kalau gitu. Saya mau teh lagi, Mbak. Boleh?"

Dirinya tak bisa menghindar, kan? Selain menuruti perintah sang majikan, pun sudah tertangkap basah berada di area dapur. Kala akhirnya melangkah mendekat sementara Daru memilih duduk tenang di meja makan. Ia hanya berharap segera menyelesaikan apa yang diminta lalu kembali ke kamar. Tidur.

"Silakan, Pak." Kala menyodorkan dengan cukup hati-hati cangkir teh pesanan majikannya. Membuat sang majikan menoleh ke arahnya.

"Terima kasih."

Kala hanya mengangguk sebagai jawaban. "Saya permisi kalau be—"

"Duduk sebentar, Mbak Kala. Saya mau bicara."

Entah kenapa aura yang terpancar dari Daru berbeda dari saat Kala biasa melaporkan kegiatan Sheryl padanya tiga jam lalu. Kala menggeser kursi dengan perlahan agar tidak menimbulkan suara ribut berlebih, juga untuk menutup gugup yang tiba-tiba menyelimuti.

"Saya minta kamu melaporkan semua tentang Sheryl, kan?"

Kala menjawab dengan anggukan.

"Itu bagian tugas Mbak, benar?"

"Benar, Pak." Kala memberanikan diri menjawab dengan kata-kata.

"Sepertinya Mbak masih belum paham arti semuanya." Daru sengaja menekan ucapan 'semua' saat matanya menatap si pengasuh anaknya dengan tajam.

"Saya baru diberitahu tentang kejadian yang menimpa Sheryl di sekolah oleh Mama. Bukan kah itu tugas seharusnya tugas Mbak, ya? Benar?"


****

Oiya, cuma mau kasih tau berhubung ini repost, enggak akan aku up sampai tamat. Mungkin sampai part 39 saja. Karena KALA MANTARI sudah tersedia dalam bentuk cetak maupun ebook. Untuk pemesanan kalian bisa DM IG aku di ; cha.riyadi8888

Harga bukunya Rp. 95,000

Harga Ebook kurleb Rp. 65, 000 (belum ppn)

***

Sebagai hadiah di mana enggak pernah bisa aku lupakan wajah Papa Daru



Sebagai hadiah di mana enggak pernah bisa aku lupakan wajah Papa Daru

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
(Repost) KALA MANTARIWhere stories live. Discover now