Jilid. 33

34.4K 4.2K 251
                                    

"Harus banget?" Daru mengernyit heran dengan kabar yang Denny bawa. Sepanjang berangkat dari rumah, mood-nya jika dibuat dalam skala persen, ada di nilai seribu. Lalu dihancurkan dengan informasi yang baru saja dibagitahu Denny.

Dirinya harus mengikuti sesi perkenalan calon ambassador baru perusahaan mereka. Kontraknya tidak main-main, selama satu semester. Biasanya pemilihan wajah baru hanya untuk satu kuartal.

"Dia masuk jajaran top model terkenal, sih."

Gerak Daru yang sedang membubuhkan tinta pada salah satu kontrak terhenti. "Model? Biasanya artis."

"Big bos kalau punya mau beda, Aria."

Daru mengedikkan bahu. "Jam berapa? Kita ada jadwal apa saja seharian ini?" Padahal ia ingin menetap di ruangannya. Sembari nanti saat senggang, membuat panggilan video pada sang putri kesayangan adalah cara terlicik yang ia punya untuk sekadar mendengar suara Kala.

Dirinya masih mengingat dengan jelas obrolan santai saat menyusuri pantai dua malam lalu. Hanya perbincangan santai yang Kala tanggapi dengan singkat. Yang membuat Daru malu, ketika tujuan mengajak Kala menghabiskan malam diketahui dengan telak oleh wanita berambut sebahu itu.

"Bapak sedang mencari tahu mengenai saya pada bagian apa?"

Daru bungkam dan memilih mengalihkan topik ke arah lain, seputar makanan. Namun sepetinya itu tidak berhasil. Kala hanya tersenyum kecil lalu memilih kembali ke resort. Padahal ia hanya ingin tahu dan memastikan kalau dugaannya benar mengenai Janu dan Kala. Sepertinya Daru salah memilih lawan untuk diajak berinterogasi.

Rasanya Daru ingin menenggelamkan diri sekarang!

"Dua jam lagi, sih. Setelah itu lo free."

Daru mengangguk kecil. Baiklah, mungkin hanya pertemuan kecil dan membahas inti promo yang akan diluncurkan sebulan lagi. Ia hanya tinggal menyimak karena konsepnya sudah jelas dan juga matang. Ia memilih menyibukkan diri selain agar pikirannya teralih pun pekerjaan di hari Senin seolah ingin memakannya hidup-hidup. Begitu banyak dan bertumpuk. Daru sendiri sampai mengorganisir mana saja yang harus didahulukan dan mana yang bisa dikerjaan setelahnya.

Tanpa sadar, Denny sudah kembali duduk di hadapannya. Daru mengerutkan kening, bingung.

"Ck! Kita sudah ditunggu tim lain."

Daru tepuk jidat. "Oh. Lupa gue." Buru-buru Daru mengambil blazer yang ia sampir di sandaran kursi, mengenakannya dengan gegas sembari melirik pada pantulan kaca dekat pintu ruangannya.

Ada kalanya, masa lalu adalah hal yang bisa merobohkan prinsip yang sudah terlanjur dikumandangkan. Saat pintu besar bertuliskan ruang meeting itu terbuka dan Daru dengan langkah percaya diri masuk, dunianya runtuh saat itu juga.

Keana Grizelle ada di sana.
***

Dulu, aroma fruity floral dicampur ekstra kayu pada parfum Channel Sensuelle Alurre menjadi favorit Daru ketika bersama gadis yang ia cintai. Parfum itu dibelinya hasil menang lomba di kampus mengenai strategi dasar marketing yang ia kuasai di luar kepala. Ia hadiahkan sebagai wujud cintanya pada sang gadis pun karena Daru merasa, aroma ini begitu cocok dikenakan olehnya.

Semesta yang Daru punya dibuat jungkir balik karena mengenal seorang Keana Grizelle. Masih jelas dalam ingatannya bagaimana tujuh tahun ia lalui hanya bersama Sheryl. Juga dukungan dari sang ibu. Entah akan jadi apa jikalau dirinya tanpa seorang Anna Susetyo. Bayang bahagia, rumah tangga harmonis, pertengkaran yang berakhir dengan makan malam romantis, dan banyak cerita seputar anak juga pekerjaan. Semua itu lenyap tanpa sisa.

Kali ini ia tak mau merasakan hal itu. Lagi. Ia tabuh genderang peringatan dengan sangat keras. Memperingati hati, otak, juga tubuh agar selalu singkron dalam menyikapi pertemuan ini. Walau di hadapannya nyata duduk dengan senyum manis khas Keana yang menatapnya lurus-lurus.

Tadinya Keana mengenakan coat cream yang menenggelamkan sebagian dirinya. Namun dilepas dan menyampirkan pada kursi yang ada di sampingnya. Coat itu cukup berguna untuk menutupi dress ketat berwarna hitam tanpa lengan yang ia padu dengan knee length boots berhak hampir sepuluh senti. Semua yang dikenakan Keana masih mencirikan wanita itu dengan sempurna.

Cantik dan seksi secara bersamaan.

"Kamu apa kabar?"

"Baik." Daru hanya menjawab singkat. Makan siangnya tertunda pun rencananya buyar seketika.

"Kamu enggak mau tanya kabar aku?"

Pandangan Daru beralih dari cangkir kopi miliknya. "Untuk apa? Kamu ada di depan saya. Sehat. Bisa minum dengan tenang. Bagi saya kabar kamu baik."

Keana mengulum senyum tipis. "Aria dengan ketelitiannya."

Mendengar bibir itu mengucapkan namanya dengan nada yang masih jelas terekam di hati, membuat Daru ingin segera kembali ke ruangannya. Bekerja. Ia benci jika harus terdikstrasi akan hadirnya seseorang dari masa lalu yang sudah ia coba hapus dari memorinya.

"Aku pikir ketelitian kamu bakalan berkurang."

Daru mendengkus tidak suka. "Karakter dasar enggak mungkin berubah begitu saja." Lalu ia menyesap kopinya perlahan. "Termasuk sikap pengecut, Keana."

Ucapan itu sukses membuat wanita cantik itu membeliakkan mata. Ia berusaha sekali menjaga ekspresinya walau Daru yakin, apa yang ia katakan telak memukulnya.

"Saya permisi. Banyak kerjaan." Daru memilih meninggalkan wanita itu ditemani suasana kafe yang cukup ramai.

"Apa aku bisa bertemu kamu lagi?"

Pertanyaan itu membuat Daru menghentikan langkah sejenak. "Saya rasa enggak perlu." Tanpa perlu banyak pertimbangan ia sudah membuat keputusan.

Beberapa staff yang ia kenal nampak berkunjung ke sana—mungkin memesan kopi mungkin juga sekadar membeli camilan, Daru tak peduli. Semua mata itu mengarah ke mereka. Tetapi Daru abai.

"Lo kenal Grizelle?" Denny kesulitan mempercayai apa yang memenuhi indera penglihatannya. Ia sengaja menunggu Daru di salah satu sudut kafe. Memperhatikan gerak gerik mereka. Ketika sahabatnya itu bangkit dari duduk, ia pun melakukan hal yang sama.

"Gila! Dia, kan, terkenal banget. Siapa yang enggak kenal Grizelle. Kiprahnya di du—"

"Sejak kapan lo alih profesi jadi paparazzi?"

Denny mulai kewalahan mengimbangi Daru yang berjalan cepat. Kepalanya masih sesekali melihat ke arah wanita berambut kecokelatan itu sehingga membuatnya tidak fokus melangkah.

"Asli, gue masih enggak nyangka lo bisa kenal dia. Dia siapa lo, sih"

Daru malas menjawab.

"Bos, ayo lah. Gue enggak bakalan tanya lagi, deh."

Mereka kini berdiri menunggu lift terbuka. Denny segera menekan angka yang menunjukkan lantai tempatnya bekerja setelah pintu kotak besi itu terbuka. Beruntung, hanya ia dan Daru yang berada di dalamnya.

"Bos," desak Denny penasaran. Ia benar-benar tak menyangka setelah meeting tadi, wanita yang menjadi pusat perhatian di ruangan itu langsung mneghampiri Daru. Meminta waktunya agar bisa sekadar menghabiskan satu cangkir kopi.

"Ibunya Sheryl."

Denny ternganga lebar. Rahangnya hampir jatuh. Wajahnya super jelek dalam pantulan kaca yang ada di lift.

"Sialan! Kalau mau bohong kira-kira dong! Kalau lo bilang itu gebetan masa lalu, gue ma—"

"Lo pernah bertanya tentang ibu dari anak gue, kan? Sekarang gue kasih tau, lo malah skeptis."

(Repost) KALA MANTARIWhere stories live. Discover now