Jilid. 27

32.5K 4.2K 182
                                    

Selepas wanita gila itu pergi, Sheryl tak henti-hentinya menangis. Hingga Kala menggendongnya kembali ke kamar. Wanita itu memilih membuka jendela kamar Sheryl yang besar. Mendudukkan anak itu di pinggir jendela—dengan beralas kasur lipat kecil, merasakan semilir angin. Juga membawa beberapa bantal dan selimut tebal takut-takut anak itu kedinginan.

Segelas susu hangat juga Kala siapkan. Saat kembali ke kamar, anak itu tak bergerak dari sana. Menekuk lulut dan bahunya masih bergetar walau pelan. Semakin sesak hati Kala melihat pemandangan seperti ini.

"Aku benci Tante Donita," kata Sheryl sembari mengusap laju air matanya yang masih belum mau berhenti.

Sheryl duduk setengah bersandar pada dada Kala, digelung selimut miliknya. Sesekali anak itu menggusak wajahnya pada kaus yang dikenakan pengasuhnya. Sheryl bisa mendengar dengan jelas degup jantung yang menurutnya seperti irama musik yang menenangkan. Rasanya hangat juga sangat nyaman berada di dekapan wanita yang kini menatapnya lekat-lekat.

"Non anggap ucapan itu enggak pernah ada, ya," mohon Kala sembari mengusap pelan air mata dari pipi sang gadis.

"Kenapa dia jahat sama aku, sih, Mbak?"

Kala pun tak mengerti alasan mengapa seorang wanita dewasa harus menyerang anak kecil yang ia sendiri yakin tidak terlalu paham arti kata-kata keji tadi.

"Di sini—" Sheryl menunjuk dadanya. "Rasanya sakit banget, Mbak. Bikin aku enggak mau berhenti nangis. Padahal... padahal aku udah capek nangis."

Tak ada yang bisa Kala lakukan selain kembali memeluk tubuh kecil itu. Mengusap dengan penuh kasih uraian rambutnya yang panjang. "Nangis malam ini aja, ya. Mulai besok, jangan anggap itu semua, ya. Non layak bahagia. Non itu berharga."

Anggukan kecil dirasa Kala sebagai jawaban dari nona mudanya. "Makasih tadi udah bilang kalau Mbak itu ibu aku. Rasanya senang banget punya ibu biarpun Mbak bukan ibu aku."

Kala mematung.

Lama mereka dalam posisi seperti itu. Ditemani malam yang cerah, bintang dan juga bulan tampak jelas dari jendela kamar Sheryl. Kala mengembuskan napas frustrasi. Ragu yang sudah menghadang sedari awal ia membuat keputusan, makin lama makin membesar. Hatinya, pikirannya, lebih condong pada sang anak. Berada di sini, menemaninya hingga setidaknya rasa sakit yang sedang dialami gadis kecil itu berkurang banyak.

Akan tetapi kesempatan itu tidak datang dua kali, kan?

"Non, kita pindah ya. Nanti Non sakit kalau tidur seperti ini."

Kala tidak mendengar sahutan apa-apa kecuali dengkur halus dari si anak. Ia pun tersenyum kecil. Perlahan ia bergerak untuk menggendong Sheryl kembali ke ranjang besarnya. Setelah memastikan; selimut yang menggelung tubuh kecil itu dengan benar, suhu ruang yang sejuk, jendela kamar yang sudah terkunci, Kala memilih menikmati wajah cantik itu yang terlelap damai.

Kerutan di kening Sheryl membuat Kala segera mengusapnya dengan lembut. "Jangan takut, Mbak di sini." Diciumnya dengan penuh kasih tangan Sheryl yang tanpa sadar air mata Kala ikut menetes. "Mbak harus bagaimana?" Runtuh sudah pertahanan yang Kala punya.

Lama Kala menemani Sheryl. Mungkin dirinya yang harus dipastikan, sudah merelakan Sheryl atau belum. Diembuskan napas perlahan sebelum memuruskan keluar kamar. Saat akan menutup pintu kamar, Kala hampir terjungkal saking terkejutnya. Daru ada di sana. Bersidekap dengan pandangan lurus ke depan.

"Sheryl sudah tidur?"

"Sudah, Pak." Langkah Kala otomatis berhenti. Ketika netra mereka saling mengudara, Kala langsung memutuskannya. Ia segera menunduk. "Saya permisi kalau begitu."

"Tunggu. Saya mau bicara."

***

"Saya mau berterima kasih dan juga minta maaf."

Kala mengerutkan kening. "Untuk?" Geraknya melambat dalam mengaduk cangkir teh lemon pesanan Daru.

"Berterima kasih karena membela Sheryl. Belum pernah ada seseorang yang membela anak saya seperti kamu tadi, Mbak."

Wanita itu hanya mengangguk pelan. "Sama-sama, Pak."

"Permintaan maafnya saya tujukan karena sepupu saya hampir menampar, Mbak. Itu sangat enggak etis bagi saya."

"Tangan itu enggak sampai melukai pipi saya pun karena Bapak. Harusnya saya yang berterima kasih."

Daru tersenyum.

Untuk beberapa moment yang sengaja Kala putuskan agar terus bersitatap, detik kali ini Kala enggan beranjak. Senyum itu berbeda baginya. Ia terkesima. Namun ketika kesadarannya menghantam, ia kembali menunduk.

"Saya permisi kembali ke kamar kalau begitu, Pak." Kala merasa sudah tak ada lagi yang harus dibicarakan. Toh, teh lemon itu sudah ia serahkan. Walau belum sedikit pun disentuh sang majikan, setidaknya, apa yang diminta pada Kala sudah dikerjakan.

"Saya tanya sekali lagi, kamu yakin mau pergi?"

Langkah Kala kembali terhenti untuk ke sekian kali. Ia menoleh dan mendapati Daru bertopang dagu. Menatapnya lekat-lekat seolah jawaban Kala kali ini sebagai penentu.

"Diamnya kamu saya anggap keyakinan kamu untuk pergi dari sini. Meninggalkan Sheryl." Daru bangkit. Suara gesekan ujung kaki kursi dengan marmer terdengar cukup nyaring memenuhi ruang dapur. Seleranya hilang akan teh lemon yang tadi begitu menggebu ingin ia nikmati.

"Besok akan ada orang baru peng—"

"Saya sudah membuat keputusan, Pak. Kali ini penuh keyakinan."

Alis Daru saling tertaut. "Jadi? Apa keputusan Mbak?"


**

Hari ini aku update 2 bab dehh. Hhehehehhe

(Repost) KALA MANTARIOnde histórias criam vida. Descubra agora