Jilid. 30

33.9K 4K 143
                                    

Di kamar, Kala membuka satu map merah besar yang berisi dokumen penting mengenai identitasnya. Bukan yang asli namun semuanya terlegalisir menunjukkan keabsahan dari dokumen tersebut. Hanya ada satu lembar yang asli, yang akan ia serahkan hingga waktunya tiba. Menyerahkan pada mantan suaminya dan ini pasti akan berujung pertemuan. Ia tak menyangka waktu yang diminta dalam tiap sujudnya dikabulkan Allah demikian cepat.

Kala sudah seharusnya siap, kan? Walau tak bisa ia pungkuri lagi, perasaan itu masih demikian mencekik. Hingga membuat Kala sukar bernapas normal. Ia harus menyiapkan hati untuk segala kemungkinan yang ada. Semua kenangan yang terpatri jelas dalam dirinya, terputar tanpa bisa ia kendalikan walau hanya mengingat namanya. Nama yang dulu ia semat dalam lantun doa di setiap waktunya bersama Sang Pencipta.

Kenangan indah bersama Janu Wirabrata sebanding dengan rasa sakit yang ditoreh pria itu padanya. Dua belas tahun usia pernikahannya yang karam dengan dua tahun ia berusaha menyembuhkan dirinya sendiri. Tidak ada yang menopang kecuali ia memperlama sujud, memperdalam dzikir dan mengadu hingga lelah pada pencipta-Nya.

Kedua orang tuanya hanya bisa bicara sabar, sabar dan sabar. Namun sesekali tak urung membuat hati Kala terasa dirampas dengan paksa.

"Coba mau nurut, Nduk, ke Mbok Saritem. Diurut, minum jamu, siapa tau kamu bisa punya anak."

Bukan satu atau dua dokter kandungan yang menjadi tempat Kala berikhtiar. Hingga rasanya, dirinya kelelahan sendiri. Kala memejamkan mata jika mengingat suara sang ibu saat menemaninya masak di satu waktu. Kala tahu dan paham, ibunya pasti menginginkan cucu mengingat ia anak tunggal dalam keluarga. Namun pernah kah ibunya bertanya bagaimana hati Kala?

Remuk.

"Kamu enggak membantah suamimu, kan, Nduk? Kalau dinasehati, nurut. Seperti ibumu itu. Penurut biarpun cerewet. Jangan kebanyakan nuntut. Nanti suamimu jengah."

Suatu ketika sang ayah memberi arahan ketika Kala menginap tanpa Janu. Padahal dirinya pulang sementara karena ingin sedikit membagi getir yang ia punya saking sudah tak lagi bisa ia bendung. Ia pikir, kedua orang tuanya memiliki seujung jalan keluar. Mendengar kata tersebut dari sang ayah, Kala menyingkirkan asanya dengan senyum hambar. "Iya, Pak. Tari nurut sama Mas Janu, kok."

Berbekal chat dan juga telepon diam-diam sekali waktu pada sahabatnya lah ia belajar menguatkan hati. Belajar untuk tidak lagi menyimpan air mata ketika mengenang Janu walau sangat berat. Risa bilang, "Kamu ingat saat kamu pergoki Janu di kamar hotel? Setengah telanjang dengan perempuan lacur itu?"

"Jangan sisakan hati kamu untuk orang seperti dia, Tari. Jangan."

Diusapnya dengan kasar air mata yang semena-mena turun.

"Ya Allah, kuatkan aku dengan jalan ini. Beri hamba kekuatan lebih, karena hanya kepada-Mu hamba berserah. Maafkan khilaf hamba yang mencintainya lebih besar ketimbang cinta hamba ini terhadap Engkau. Ampuni hamba-Mu ini, ya Allah."

***

"Gue enggak tau sampai se-detail itu, lah. Pertanyaan lo mirip banget sama tim investigasi. Sumpah." Denny menatap Daru dengan pandangan curiga. "Lagian kenapa lo jadi tertarik pengin tau hidup Mbak Kala, sih."

"Ya wajar, lah. Kan dia kerja sama gue."

Gelak Denny hadir dengan dramatis. "Lo yang enggak wajar. Kenapa lo enggak tanya langsung sama orangnya? Lo lebih sering ketemu dia ketimbang gue."

"Enggak guna lo."

"Bos... Kalau naksir bilang."

Daru melempar tisu bekas mengelap alat makannya tadi. Tepat mengenai wajah Denny yang sontak melotot tidak terima. "Bicara sama lo emang enggak guna." Lalu pria itu bangkit. Menyudahi sesi makan siangnya tanpa menunggu sahabatnya selesai.

Dua hari sudah berlalu sejak pertemuan aneh itu namun bukan ketenangan yang ia dapat, hanya risau yang makin membesar bercokol di hatinya. Daru berjalan cukup cepat kembali ke gedung perkantoran yang letaknya lumayan jauh dari kafetaria. Pikirannya melalang entah ke mana. Ah, tidak. Pikirannya masih ada, terpusat pada satu info yang menurutnya cukup krusial.

"Yang gue tau, Mbak Kala itu sudah menikah. Gosip beredar di kampus dulu, suaminya bukan dari kalangan biasa. Hubungan gue juga enggak seakrab sekarang. Dapat nomor ponselnya aja dulu udah kayak nemu berlian. Makanya gue beruntung banget sekarang. Gue malah kaget banget Pak Janu dan Mbak Kala sepertinya kenal. Mungkin Pak Janu kenalan suaminya. Gue bukan enggak mau bertanya lebih jauh, Aria. Itu sudah privasi menurut gue."

Pikir Daru, Denny tak pernah tahu status asli seorang Kala Mantari. Berbeda dengannya. Dalam kartu identitas juga kartu keluarga yang menjadi arsip para pekerjanya di rumah, jelas tertulis kalau pengasuh anaknya berstatus cerai hidup. Artinya Kala single.

Pertanyaannya, apa Janu mantan suaminya? Masalah anak, Daru yakin seratus persen pendengaran dan memorinya tak salah. Wanita itu tidak memiliki anak. Seguk tangis Kala masih tersimpan rapat dalam benak Daru.

Pada dasarnya ia tidak mempermasalahkan apa status Kala. Ia hanya tergelitik dengan ekspresi wajah yang sudah dua hari ini mengganggunya. Raut wajah kecewa, benci, dendam juga sakit hati yang diperlihatkan Kala benar-benar sukses mencuri semua kewarasan Daru. Ingin bertanya lebih jauh namun selalu urung dilakukan olehnya. Wanita itu sudah membangun benteng dengan sangat kokoh hanya dengan senyum kecil dan jawaban singkat.

Obrolan mereka hanya seputar Sheryl. Tidak ada sangkut pautnya dengan pribadi masing-masing. Ini sungguh membuat Daru frustrasi. Tapi kenapa ia harus merasa hal ini? Andai ia memiliki jawaban yang masuk akal atas semua hal yang bergemuruh dalam hatinya.

"Lho, Pak Janu sudah menunggu dari tadi?" Daru cukup terkejut mendapati partner kerjanya sudah ada di ruanganya.

"Ah, baru kok."

"Sudah makan?"

"Sudah, Pak." Janu menjawab diiring deham kecil.

Daru hanya mengangguk kecil. "Silakan duduk, Pak." Setelah memastikan lawan bicaranya duduk, ia melanjutkan bicara. "Hasil meeting kemarin sudah di-forward sebelum makan siang tadi oleh Denny. Nanti kalau ada penyesuaiannya kita rombak lagi. Saya masih tunggu keputusan final katalog mana saja yang akan dijadikan halaman utama. Saya juga dengar akan ada wajah baru untuk menaikkan promosi."

Janu mengulum senyum. "Saya ke sini bukan untuk bicara mengenai hal pekerjaan."

Ucapan barusan membuat Daru membuat perhitungan dalam tatapannya. Wajah pria yang ada di depannya terlihat tenang, berwibawa dan tidak mudah terintimidasi. "Lantas?"

"Saya meminta izin untukbicara dengan Tari."

***

Komentarnya ya kakak sekalian.

Jangan lupa baca kisah aku yang lainnya, yaaa.

Oiya kalau suka dengan tema perselingkuhan, karakter cewek yang kuat enggak menye-menye, aku punya rekomendasi.

Judulnya JAGAD UNTUK SEMESTA punya Canis_Majornis

Bagus kok.

(Repost) KALA MANTARIDonde viven las historias. Descúbrelo ahora