BAB 1 : Surat Cinta Kalila

2 0 0
                                    

"Di gurun pasir tanpa batas, aku kehilangan jiwaku, dan menemukan bunga mawar ini.
Kamu"

Aku tak pandai berpuisi cinta atau menuangkan kalimat romantic, apalagi bersyair.. Bait pertama syair di atas adalah milik Jalaludin Rumi. Bukan milikku. Hanya kutambahkan “kamu” di bawahnya. Berharap kamu benar kamu.

Aku memalukan, kan?
Hufft..

Bagaimana harus kulanjutkan surat ini. Semoga masih mau kamu membacanya. Meski kuawali dengan menyalin syair seorang sufi, kuharap syair itu akan tepat sasaran. Bisakah?
Setidaknya jika tak mengenai hatimu,  harapan tipisku, syair itu bisa mengenai pikiranmu. Kemudian pikiranmu akan merayu hatimu untuk melihatku.

Ah!
Apa aku terlalu bertele-tele?
Ini memang aku.

Selalu banyak bicara basa-basi sebelum pada tujuanku karena hatiku berubah tak karuan.
Sejak petir muncul di hadapan kita dua bulan lalu, aku menjadi bodoh.

Ya, bukan petir langit pelakunya.
Wajah takutmu saat halilintar bersinar di langit mengambil seluruh kecerdasanku.
Aku bodoh.

Senyumku merekah melihat ekspresi wajahmu. Tapi nahas, jantungku berdegup lebih cepat dari kilat saat itu.
Akibatnya, rumus matematika, fisika, dan kimia bersembunyi entah di mana, karena aku hanya memikirkanmu.

Aku benar-benar bodoh, bukan?
Maukah kau menjadi mawar itu dalam kegersangan jiwaku?
Aku cinta kamu.
Bolehkah?

***

“Wah! Ini surat cintanya?”tanya Ratu dengan mata berbinar. Wajahnya menunjukkan ketertarikannya yang luar biasa. “Kamu yang tulis ini, La?”

“Iyalah! Siapa lagi?” sungutku . Kantuk membuatku tidak nyaman dengan pertanyaan sahabatku yang seolah tak percaya bahwa surat cinta itu selalu aku yang buat. Padahal kalau dipikir-pikir tak perlu kubertingkah sesinis itu. Ratu hanya terpesona oleh isi surat itu.

“Ya ampun sinis banget, sih, Lady Amor kita. Woles, honey, woles,” ucap Ratu menanggapi kesinisanku dengan santai. Selain terbiasa dengan segala sifat dan sikapku yang di luar dugaan menurutnya, gadis berambut panjang itu juga paham segala situasi yang menimpaku.

“Aku ngantuk,” keluhku sambil menguap. Benar-benar harus kunaikkan beberapa senti kecerdasanku menulis surat cinta itu semalam. Kalimat di surat itu harus berbeda dengan surat-surat cinta lain yang pernah kutulis.  Sampai tak kusadari cacing diperutku meronta-ronta minta asupan gizi dan waktu telah naik sangat pekat.

“Sudah kerjaan PR?” tanya Ratu.

“Ya Allah!” pekikku. Dua mataku terbuka lebar saking terkejutnya mendengar pertanyaan Ratu. Aku tak ingat masih punya PR yang harus dikselesaikan. “Aku lupa.” Tanganku bergegas menyibukkan diri mencari buku PR Kimia di dalam tas punggung hitam kesayangan.  “Gawat, gawat, gawat,” ucapku panik.

“Kamu belum kerjain PR-nya, La?” Ratu ikut panik melihatku kacau.

“Aku benar-benar menjadi orang bodoh macam surat yang kutulis itu. Kacau, deh.” Kubuka halaman demi halaman buku paket Kimia dengan tergesa-gesa agar segera kutemukan lembaran tugas itu. “Gara-gara tergoda upah gede si surat cinta, PR Kimia tersayangku terlupakan.”

“Sini, salin jawaban PR-ku biar cepat selesai, gak perlu mikir.” Ratu mengambil buku PR-nya dan menyodorkannya kepadaku.

Mataku berhenti membaca soal Kimia. Kulihat wajah Ratu dengan serius. “Ratuku sayang, aku memang bodoh. Tapi nyontek begini bukan gayaku, ya. Biar dapet nol kalau hasil sendiri tetap aja bikin puas,” ucapku. Kepala pusingku cepat sekali menaikkan darahku. Terkadang aku tidak suka saat Ratu menawarkan contekkan. Harga diri kecerdasan angka limaku turun drastis ke angka nol. Benar-benar.

Love Letter Of Lady AmorWhere stories live. Discover now