Scene 13 : Om Lucu

211 37 11
                                        

“Kak Lona.”

“Ya?”

“Kak Lona punya Om Lucu juga gak?”

“No, but I know someone better than him.”

Rona, mencari warnanya.

Pasca terjadinya dua insiden mantap jiwa tempo hari, Divya selaku tetua mengajak kumpul cantik di rumah Rahma. Alasannya? Tempatnya asri, sejuk, tidak akan ada tuh yang namanya tukang ember pas siang-siang atau seruan berisi umpatan dari jamet-jamet ibu kota, dan pastinya dia sekalian mau memergoki oknum Om Lucu yang Sachi maksud.

Pukul satu siang, enam ibu muda lainnya bersama anak mereka datang ke kediaman keluarga Rahma. Lengkap pokoknya. Soja mengajak Sona dan Saka, Divya mengajak Rona, Nayla mengajak si kembar Sunny dan Luna, Ashita mengajak Adya dan Kirana, yang terakhir Thala mengajak Athena, putri semata wayangnya.

Sebetulnya tadi Rona menolak ikut, beralasan ada kerja kelompok dan mau ketemu sang ayah. Namun, karena ibunya sudah bertitah maka apa mau dikata selain ikut serta? Dengan wajah terlipat, anak perempuan yang sebentar lagi menginjak masa remaja itu hanya bisa mengekori Divya tanpa kata.

Ada alasan mengapa Rona malas ikut ke rumah Rahma. Bukan dia gak suka sama Rahma atau karena rumahnya terlalu jauh, tetapi Rona ogah sebab dia pasti jadi penjaga anak-anak kecil kala ibu-ibunya kongkow. Usianya tahun ini sebelas tahun sementara anak-anak dari teman ibunya masih balita. Paling besar hanya dirinya dan Luna. Sunny mah gak usah dihitung, soalnya menurut Rona anak itu bisa lebih bocah dari anak kecil mana pun.

Luna juga sama. Dia lebih suka menghabiskan waktunya di perpustakaan mini yang papanya buat persis di samping kamarnya. Demi lusinan buku baru yang mamanya iming-imingkan, dia terpaksa ikut ke sana.

“Kak Rona.”

Rona menoleh ke kanan, ada Luna yang barusan memanggilnya. “Apa, Lun?”

“Kakak gak bosen?”

Mendengar pertanyaan tersebut, Rona mendengus keras-keras hingga Luna takut kalau-kalau kotoran hidung gadis itu melompat mengenai dirinya.

“Kamu tuh nanya sesuatu yang sia-sia, Lun. Emang dari muka aku gak kelihatan udah sebosen apa?”

Luna diam, lalu kembali memperhatikan gerombolan balita yang tengah main kereta-keretaan dengan Sunny sebagai masinis. Anehnya bocah lelaki itu justru terlihat seperti raksasa yang hendak memangsa kurcaci di sekitarnya.

“Si Sunny,” ucap Rona sembari menunjuk objek pembicaraannya dengan dagu, sangat songong. “Emang selalu kelebihan energi kaya gitu ya?”

Kembarannya menangguk. “Dia gak bakal berhenti bergerak selain tidur atau sakit. Baru bangun tidur aja dia langsung salto sampe papa kaget dan hampir kepeleset.”

“Ohiya sih, kebayang. Kalo aku jadi kakaknya Sunny, kayaknya dia udah abis aku omelin terus,” balas Rona sepenuh hati. “Aku liat dia aja udah capek, boro-boro mau nemenin bocil-bocil itu main hadeh.”

Luna sih terkekeh saja, malu mau menyangkal toh kata-kata Rona benar semua. Kakaknya itu memang aktif sekali, tidak bisa diam. Ada lahan sedikit dia pasti jejingkrakan. Ada benda di dekatnya, pasti dijadikan alat musik dadakan.

Sedangkan Luna, anak perempuan itu lebih senang menghabiskan waktu bersama buku-buku atau sekadar menyusun lego juga puzzle di kamarnya. Dia juga terbilang tenang, selalu kalem menyikapi banyak hal yang terjadi. Pengecualian untuk insiden kemarin, dia amat syok melihat Sunny berbusa dan tak sadarkan diri ketika sedetik lalu mereka masih ribut soal mainan balok kayu.

Get Ready With Us : FamancyWhere stories live. Discover now