26. Our Abandoned Youth

574 111 17
                                    

(Selasa, 10 Januari 2017)

Barang-barang yang telah kukemas ke dalam boks-boks raksasa sedang diangkut menuju Jalan Tukad Balian.

Brooklyn belum kuinformasikan mengenai tanggal pasti aku akan menempati rumah itu, karena setiap pagi dia selalu mengirimkan SMS yang berisi: Aku gsbr km balik ke Dps. Pagi ini dia juga mengirimkan SMS yang berbunyi sama dengan SMS-SMS sebelumnya, tetapi tidak sempat kubalas. Sebab pagi itu aku sibuk bersiap-siap dengan jaket kulit dan helm apakku. Aku melambaikan tangan kepada Papa yang sedang memanaskan mesin mobil sebelum bermotor duluan, dengan Papa mengikuti sebisanya di belakang.

Empat puluh menit kemudian, aku menghentikan motor di depan gerbang rumahku. Kurir yang mengantarkan barang sedang bercakap-cakap di bak truk pikap. Boks-boks raksasa berjejer di serambi rumah yang lebar, dengan sepasang kursi rotan tua dan meja bundar yang menjadi separatornya. Garase tetap dibiarkan antik, pintu kayu berlipatnya sudah dipelitur ulang. Aku menggeser gerbang untuk mengecek kondisi taman kecilku. Kolam ikan dan air terjun itu masih di sana.

Aku meletakkan kedua tangan di pinggang sembari mengedarkan pandangan, setengah tidak percaya aku akan menempati rumah ini lagi. Rumah ini penuh kenangan indah masa kecilku yang belum begitu lama berlalu. Masa-masa ketika Papa sangat sibuk dengan promosi ini-itu, ketika Mama mondar-mandir dengan loyang alumunium, ketika aku gemar bersepeda jauh-jauh untuk melancong ke rumah sepupuku. Kurasa ini tempat yang sempurna untuk melupakan hal-hal buruk dan mulai menggarap hidup baru.

Aku melangkah mendekati boks-boks yang berjejalan. Ada tulisan Papa di beberapa boks dan Agatha di boks-boks lainnya. Yah, belakangan Papa sadar kalau selama ini dia sedikit mengabaikanku. Dia sedang berusaha memperbaiki hubungan kami. Papa yang sekarang jauh lebih baik, meski dia masih mengizinkanku ngeluyur sesuka hidung. Itu pengecualian besar. Papa sudah terlalu percaya dengan kemampuan bermotor Putri Preman-nya ini.

Tidak lama berselang, mobil Papa tiba. Aku yang sedang bersiul dalam posisi istirahat melambaikan tanganku tinggi-tinggi. "Papa!" Papa membalas tidak kalah bersemangat. Dia lantas berbincang dengan kurir di depan gerbang.

Aku melanjutkan jalan-jalanku ke bagian belakang rumah. Rumah kami dulunya memiliki gudang di sisi garase yang kini tiada, digantikan oleh akses sempit menuju halaman belakang. Tidak ada perubahan yang terlalu berarti di sana. Kolam renang sudah dibenahi sirkulasi airnya. Dua pohon rindang menyejukkan ayunan santai dan patio kecil di seberang kolam. Cahaya matahari tertapis ke bawah melalui ukiran di atap patio.

Betapa aku mencintai setiap kesan dan detail dari rumah antik ini.

Aku kembali ke halaman depan ketika Papa menutup gerbang. Sementara itu, pintu utama terbuka lebar; mengundangku untuk masuk.

Bau cat menyeruak ketika aku menginjakkan kaki di dalam. Aku membulatkan mulut. Mataku menelusuri perubahan habis-habisan interior rumahku. Langit-langit mulus tanpa lumut. Ubin keramik telah disulap menjadi lantai pualam mengilat. Aku menghampiri meja kuno Mama yang tidak bergeser barang satu sentimeter dari tempatnya. Kolom-kolom meja yang dahulu dipenuhi oleh buku-buku resep kini kosong-melompong. Di belakang, aula makan dan dapur masih sama seperti terakhir kali aku mampir. Yang membuatnya berbeda hanya keberadaan kulkas mahabesar yang menjulang di dekat bar.

Aku menelengkan kepala, sedikit heran rupanya aku memiliki rumah yang lumayan besar. Fragmen-fragmen semu tentang masa kecilku menyatu perlahan. Aku mengingat gelas yang bergelantungan di atas konter. Mama yang selalu bekerja di sini, menyenandungkan lagu pujian, mengayak tepung, atau menyesap teh hangat. Sekarang konter kosong-melompong. Gelas-gelas itu pergi entah ke mana.

Kabar baiknya, lantai dua milikku seorang. Kamar yang luas dengan teve layar tipis, ranjang lebar, kamar mandi pribadi, dan rak buku. Kamar impian yang terwujud berkat kerja keras Papa. Aku mendorong boks raksasa yang menghalangi jalanku dengan tungkai dan turun. Tangga kayu yang masih bau pelitur berkelotak mengikuti langkah kakiku yang berderap-derap.

We're InvincibleWhere stories live. Discover now