29. We're Invincible

897 115 26
                                    

(Selasa, 7 Februari 2017)

Pagi buta.

Burung malam berkukur di puncak-puncak pinus. Kabut tebal yang bergulung membuat jarak pandang terbatas. Aku mengendap-endap melompati rerumputan tinggi dan basah di belakang asrama cowok sambil menyorotkan senter.

Jendela persegi di ujung bangunan itu berpendar kejinggaan. Aku berjinjit untuk mengetuk kacanya empat kali sebelum bersembunyi di balik tanaman perdu.

"Tunggu sebentar."

Aku mundur satu langkah. Kurapatkan tubuhku pada dinding, memastikan tetangga-tetangga Brooklyn tidak melihatku berkunjung. Aku sama sekali tidak berniat jahat. Aku hanya, seperti biasanya, datang untuk mengucapkan selamat pagi. Tidak ada yang berbeda. Yah, mungkin ada. Sedikit.

Aku menggosokkan telapak tanganku yang mulai kebas. St. Anna tiga kali lipat lebih dingin dibandingkan dua bulan lalu. Aku menempelkan pipiku pada jendela yang terasa seperti lempengan es raksasa. "Brooklyn..." panggilku. "Aku kedinginan..."

Kemudian, jendela terbuka.

Wangi lemon yang segar menyambutku.

"Selamat ulang tahun, Brooklyn Poseidon Giorgio Vandenberg!" Aku berbisik keras-keras. "Selamat ulang tahun yang kelima belas!"

"Agatha," ujarnya datar. Aku mengulurkan hadiah dari saku jaketku. "Dari mana kamu tahu tanggal ulang tahunku?" Brooklyn membantuku naik dan mendudukkanku di birai jendela. Di luar, hujan mulai menitik. "Kapan kamu beli ini, hm?" Brooklyn menelaah setiap inci kotak yang kuberikan.

Aku tercengir. "Tanggal ulang tahunmu: Facebook. Kapan aku membeli hadiah ini: di Beachwalk, tahun baru itu." Brooklyn memicingkan satu mata. Jemarinya sibuk menguraikan pita yang mengemas hadiahku. "Aku pernah izin sebentar untuk masuk toko, ingat? Kamu mungkin lagi bengong, makanya nggak sadar."

Brooklyn menarik lepas pita pembungkusnya. Aku menggigit bibir ketika kotak itu akhirnya terbuka sempurna. "Apaan, nih?" Dia melambaikan benda kecil berbulu hadiahku sambil mendengus. "Ini kan mainannya Spongebob yang dirusak Patrick!"

Aku menyeringai lebar-lebar.

Aku tidak benar-benar ingin membelikan Brooklyn mainan itu. Aku cuma sedang kehabisan ide. Aku tidak bisa memberikan atasan, jaket, atau aksesoris; Brooklyn tidak level dengan pakaian-pakaian siap pakai yang biasanya kubeli. Aku pun tidak yakin uangku waktu itu mencukupi. Mainan atau figur kedengaran sempurna. Jika pandai dan telaten merawat, mereka bisa bertahan selamanya. Siapa tahu saja, di tengah-tengah malam sepi, Brooklyn bisa memandangi mainan itu sambil cengar-cengir memikirkanku.

"Tapi, terima kasih banyak." Brooklyn menutup kotaknya. "Ini hadiah terbaik yang pernah kuterima," lanjutnya. "Setelah Range Rover."

Kami tergelak.

Brooklyn meregangkan tangannya. "Pokoknya, Agatha Harriet Kean; aku putuskan segala hal-hal jelek yang pernah dilakukan cowok pada ceweknya. Aku bakar garis-garis buruk yang terhubung dengan kita. Aku tidak akan mengabaikanmu. Aku tidak akan membuat kamu merasakan apa yang Kakak rasakan. Aku tidak akan menjadi orang itu. Yang membuat Agatha-ku sedih, siang itu, dengan sepeda putihnya."

Aku tersenyum.

Dia memang selalu ingat.

Setetes air langit jatuh ke ujung hidungku. Matahari di timur mulai mengudara. Sinarnya merajalela, menyeruak melalui celah-celah pinus, memusnahkan kabut tebal pagi buta yang menyelubungi St. Anna. Kurasakan pipiku menghangat seiring dengan meningkatnya temperatur.

Aku menarik napas dalam-dalam, memenuhi rongga dadaku dengan bau pinus yang sangat kusukai.

"Kita lahir kembali. Aku bukan lagi Brooklyn yang ditakuti Agatha. Bukan lagi Brooklyn yang takut pada Agatha. Bukan Brooklyn yang menghukum dirinya sendiri karena kematian kakaknya. Aku sudah menemukan misiku selama ini. Dan, aku telah menemukannya sejak lama."

Brooklyn melompat ke dalam.

"Aku tidak butuh pilihan lagi, Agatha," katanya.

Pipinya mengembang.

"Kita bukan main hebatnya."

Dia mengecup telapak tanganku secepat kilat sebelum mengusirku dari jendela kamarnya.

Sederet jendela di dinding asrama terbuka. Wajah-wajah mengantuk di baliknya memandangku dengan heran.

"Tunggu!"

Lantas aku berlari, seperti kijang, hingga kami kembali bertemu di selasar dan berlomba menuju kafetaria.

Perjalanan kami masih panjang.

***

Posted on: June 13, 2021.

We're InvincibleWhere stories live. Discover now