Chapter 27 : Terkonfimasi

11.6K 1.6K 59
                                    

JOVITA

Aku menyelesaikan pekerjaan terakhir hari ini, mendistribusikan siswa-siswa PKL sesuai divisinya.

Rumah sakit ini memang bekerja sama dengan beberapa instansi pendidikan sebagai sarana praktek dan setelah sekian lama terhalang pandemi, akhirnya bulan ini mereka kembali mengirim siswa-siswi mereka.

Kali ini ada empat divisi yang mendapat bantuan dari anak PKL. Laboratorium, perawat, apotek dan radiologi.

Setelah mendapat pengarahan dan tata tertib, kini aku mulai mengantar mereka ke divisi sesuai jurusan mereka dan terakhir di perawat. Karena sudah tempat terakhir, akhirnya aku mampir ke UGD dan ikut duduk sebentar karena kebetulan Rafa yang sedang bertugas.

"Mbak, minta tolong ditensi dong!" pintaku pada salah seorang perawat yang berjaga.

Rafa dengan pakaian hijaunya lengkap dengan penutup kepala dan masker nya, berjalan mendekat. "Kenapa lo?"

"Lemes rasanya, perut sakit sampai mual kayaknya asam lambung gue kumat, dan biasanya jadi ngerasa agak sesak napas."

Rafa yang semula santai langsung menaruh perhatian lebih ke aku. "Tenggorokan sakit nggak? Pilek?"

"Enggak sih, cuma tenggorokan emang agak serak tapi aku nggak batuk dan pilek."

Rafa mengambil pengharum ruangan dan sengaja menyemprotkannya di sekitarku. "Lo masih bisa nyium bau ini nggak?"

Aku malah semakin takut dengan pertanyaan Rafa, maksudnya aku dicurigai kena covid?

Tapi hatiku langsung lega luar biasa karena walaupun memakai masker, aroma pengharum ruangan itu masih tercium sampai hidungku. "Lavender," jawabku.

"Oke!" sahut Rafa kemudian dia beralih ke perawat bertanya tensiku.

"Tekanan darahnya 108/82 Dok,"

"Saturasinya, Mbak!" titah Rafa pada perawat kemudian ditariknya telunjukku untuk dipasang sebuah alat.

Sementara perawat mengukur sesuatu lewat telunjukku, Rafa mengambil termometer dan mengukur suhuku.

"Saturasinya 90%, Dok!" ujar perawat itu.

Rafa hanya menoleh kemudian beralih menatapku dengan lebih serius, tidak seperti tadi. "Suhu kamu 37,7 Vi! Tes Antigen ya!" ujar Rafa.

Yang semula tenang, kini aku mulai khawatir apalagi melihat ekspresi Rafa yang tiba-tiba berubah. Akhirnya aku hanya bisa pasrah ketika Rafa mengajakku ke laboratorium. Dia yang mengurus segala sesuatunya dan aku tinggal duduk, menunggu giliran dicolok hidungnya.

Tak lama kemudian datang seseorang yang berpakaian sama dengan Rafa, dia juga memakai penutup kepala, masker, ditambah Google.

Lila menaikkan googlenya ke kepala. "langsung PCR aja gimana?" tanyanya pada Rafa.

"Tadi gue tanya PCR masih antre banyak, mending di antigen dulu aja." jawab Rafa.

Aku semakin ngeri melihat wajah mereka yang terlihat panik namun berusaha santai di depanku.

Kemudian Lila beralih menatapku. "Udah dibilangin jangan ngelayap aja! Kemana kamu dua hari berturut-turut sama Adrian?"

Sebelum menjawab aku memukul lengan Lila dengan map yang masih aku bawa. "Biasa aja tanyanya, nggak usah kayak dokter gitu!"

Lila mencibir sedangkan Rafa tertawa.

"Aku nggak kemana-mana cuma makan doang, udah gitu pulang. Sesuai pesan anda bu dokter!" jawabku yang membuat Lila kembali mencibir.

Sejak dua hari kemarin memang aku selalu pergi makan bersama Adrian setelah pulang kerja. Tapi beneran habis itu langsung pulang, nggak kemana-mana lagi.

Informed ConsentWhere stories live. Discover now