WHY WHY WHY

1.4K 244 100
                                    

"Rosie.."

Baru saja Rosé hendak meninggalkan kamar mandi saat Jennie tiba-tiba saja menahannya. Ketika ia memutar tubuhnya, ia mendapati Jennie yang tengah menunduk. Rosé lebih tahu dari siapapun jika Jennie memiliki sesuatu untuk dibicarakan dan sedikitnya Rosé sudah tahu apa itu.

"Ada apa, sayang?" Ucap Rosé dengan tenang sembari merapihkan rambut Jennie.

Jennie menggigit bibir bawahnya. Ia dilanda keraguan, apa ia harus mengutarakan pikirannya sekarang atau tidak? Tapi jika bukan sekarang, kapan lagi? Rosé adalah orang yang sangat sibuk. Bahkan Jennie tidak dapat memastikan apa ia bisa mencuri sedikit waktu Rosé besok. Memang sesibuk itu menjadi seorang penyanyi. Dan menjadi istrinya adalah perkara yang sulit. Harus mengerti, memaklumi, sabar, dan menahan diri untuk tidak membicarakan hal yang akan berujung pada pertengkaran.

"I- Itu.."

Rosé tersenyum tipis. Ia tahu jika Jennie sedang ragu tapi tetap ingin mengutarakan.

"Kita akan bicara setelah kau mandi, oke?"

"Huh? Oh baiklah."

Lagi. Rosé melakukannya lagi.

Jennie berpikir, Rosé sedang menghindar. Lagi. Tidak tahu sudah ke berapa kalinya ia merasa jika Rosé memang benar-benar menghindari obrolan yang entah sejak kapan menjadi pembahasan yang sensitif di antara mereka. Dan Jennie yakin, kali ini pun begitu, Rosé sudah bisa membaca apa yang akan Jennie utarakan. Maka dari itu dia menghindarinya 'kan?

Tapi kali ini Jennie ingin menjadi sosok yang egois. Ia merasa dirinya perlu bicara dengan Rosé malam ini juga, terlepas dari bagaimana perbincangan mereka akan berakhir malam ini. Entah akan menemukan titik terang atau justru membawa mereka pada sebuah pertengkaran.

Selagi Jennie memantapkan hati dan mendinginkan kepala dengan mandi, Rosé pergi ke dapur untuk menenangkan dirinya. Sampai di sana, ia membuat kopi, berharap cairan hitam pekat itu mampu menemukan jawaban yang tepat agar Jennie mau mengerti dan kembali memakluminya. Ia tahu dirinya tidak bisa terus-terusan menghindar karena hal itu akan memicu kecurigaan Jennie dan Rosé sangat amat tidak menginginkan hal itu terjadi.

"Tuan."

Rosé menoleh ke arah sumber suara, tepatnya ke arah bibi Jung. Bibi yang sudah sedikit berumur itu mendekatinya untuk sekedar bertanya, "Apa Tuan dan Nyonya ingin makan malam?"

"Tidak Bi, kami sudah makan di luar. Apa Bibi sudah makan?"

"Kalau Bibi sudah."

Rosé tersenyum simpul kemudian mendekati Bibi Jung untuk mengelus bahunya.

"Kalau begitu, Bibi bisa istirahat sekarang."

Sebelum bibi Jung pergi dari sana, ia membungkukkan tubuhnya sedikit sebagai tanda hormat kepada orang yang sudah memberinya pekerjaan. Setelah itu, ia segera meninggalkan Rosé di dapur sendirian dan pergi ke kamarnya untuk segera beristirahat. Beruntungnya, ia tidak bekerja sendirian. Masih ada beberapa pelayan lain namun hanya dirinya yang sangat dipercaya oleh Rosé untuk memberi arahan kepada pelayan lainnya. Bisa dikatakan, bibi Jung adalah kepala pelayan di rumah ini.

Beberapa saat kemudian, bayangan Jennie yang sedang mendekatinya terlihat. Setiap langkahnya berhasil membuat jantung Rosé bekerja dua kali lipat, ia juga gugup, tapi tidak bisa melarikan diri. Sebelum Jennie benar-benar sampai, ia menyempatkan diri untuk menghela napasnya panjang.

"Honey," panggil Jennie.

Setiap kali Rosé melihat Jennie, ia selalu mendapati dirinya sedang tersenyum. Begitu juga yang terjadi saat ini. Anak tupai itu tersenyum ketika melihat Jennie yang sudah berada di sebelahnya. Ikut duduk di kursi depan meja pantry.

P R A G M AWhere stories live. Discover now